Sefia masih sibuk dengan ponselnya sehingga dia berjalan semakin jauh, tidak mengetahui bahwa Zavier memerlukan bantuan.
Seorang perawat yang masuk, tampak kaget melihat Zavier yang baru saja bangun. “Tuan Zavier, bagaimana keadaan Anda?”
“Saya merasa sangat sakit,” jawab Zavier. “Tapi... mengapa aku tidak bisa menggerakkan kedua kakiku? Aku tidak bisa merasakannya sama sekali.”
Perawat mengangguk, “Baiklah, aku akan memanggil Dokter untuk mengecek keadaanmu.”
Namun sebelum sang perawat pergi, Zavier Kembali bertanya, “siapa yang menjaga saya selama ini? Saya ingat ada seseorang...”
Perawat tersenyum lembut. “Anda mendapat perawatan terbaik dari tim kami dan beberapa orang terdekat Anda. Istri Anda adalah salah satu dari mereka.”
“Siapa?”
“Nyonya Sefia,” kata perawat dengan nada yang penuh perhatian. “Dia sering datang untuk mem
Michael merasa tersudutkan. Pria itu menghela napas panjang dengan kecewa. Selama ini, dia selalu berada di sisi mereka, namun kehadiran Zavier yang ditunggu-tunggu oleh gadis kecil yang amat disayanginya tersebut.Nayla berdiri di samping ranjang, matanya berusaha menahan air mata. Dia menatap Joen dengan hati yang hancur, namun kata-kata tak kunjung keluar dari bibirnya.Rasa tak berdaya mengisi seluruh dirinya. Dia tahu bahwa menjelaskan situasi kepada anak kecilnya adalah hal yang sangat sulit, dan saat ini, dia merasa tidak ada kata-kata yang cukup untuk menghibur atau memberikan jawaban yang tepat."Mana Papa Puzzle?"Melihat betapa lelah dan hancurnya Nayla, Michael, yang ikut bersama Nayla, merasakan kesedihan mendalam. Dia mendekati Nayla dan meletakkan tangan di bahunya dengan lembut. "Nayla, kamu terlihat sangat lelah," katanya dengan suara lembut. "Bagaimana bila aku membawamu pulang untuk istirahat?"Nayla menoleh ke arah Michael, kele
Sepanjang jalan, Nayla menatap keluar jendela dengan pikiran yang melayang jauh, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan emosional yang melanda hidupnya.Keheningan tercipta di dalam mobil, Michael berusaha membuka topik pembicaraan, tetapi Nayla terlihat tidak tertarik untuk menjawab terlalu banyak."Bagaimana bila kita singgah ke toko untuk membeli puzzle sebentar?" tanya Michael."Terserah, tapi puzzle Joen sudah banyak sekali," sahut Nayla dengan singkat. Wanita itu lebih memilih segera sampai di rumah daripada singgah untuk membeli sesuatu."Apakah kamu lapar? Bagaimana kita membeli cemilan atau es krim?"Nayla menggeleng pelan dan menghela napas dengan berat.Akhirnya Michael merasa kalah dan meneruskan perjalanan tanpa berniat berbicara lebih banyak lagi.Meskipun keputusasaan dan kesedihan masih membebani hati Nayla, dia berusaha untuk tetap kuat demi Joen dan untuk dirinya sendiri.Michael, di sisi lain, berusah
Dia terlalu tenggelam dalam percakapan, senyumnya penuh kemenangan saat dia melaporkan kepada Kayla tentang pencapaiannya.“Kayla, kamu tahu, aku benar-benar berpikir bahwa semua ini bisa membantuku,” kata Sefia dengan nada ceria. “Zavier benar-benar percaya padaku sekarang.”Kayla menjawab dengan nada antusias, “Itu hebat, Sefia. Jadi, kamu benar-benar berhasil meyakinkan dia?”Sefia tertawa pelan. “Tentu saja. Aku harus menjaga penampilanku di hadapan Zavier agar dia tetap merasa aku yang selalu ada untuknya.”Di saat itulah, Joen menggerakkan kursi roda ke dalam kamar dengan dibantu oleh perawat. Dengan penuh tekad dan semangat anak kecil, dia memasuki ruangan dengan perlahan, matanya mencari sosok yang sangat dirindukannya.Melihat Zavier terbaring di ranjang, Joen segera mengenali ayahnya meskipun dalam kondisi yang kurang ideal.“Papa Puzzle!” Joen berseru dengan nada penuh ha
“Tapi, ini waktunya untuk kembali ke kamarmu. Papa butuh istirahat dan kamu juga.”Joen menatap Sefia dengan mata sedih. “Tapi aku belum selesai berbicara dengan Papa.”Zavier menatap Joen dengan penuh kasih sayang. “Joen, sayang. Kamu harus kembali sekarang. Tapi ingat, Papa selalu berpikir tentangmu dan akan segera sembuh.”Joen mengangguk perlahan, walaupun air mata hampir jatuh dari matanya. “Baiklah, Papa. Aku akan kembali. Tapi tolong cepat sembuh, ya?”Zavier mengangguk dengan penuh harapan. “Aku akan berusaha. Terima kasih sudah datang, sayang.”Sesaat kemudian, seorang perawat masuk ke dalam ruangan Zavier.Perawat dengan lembut memindahkan Joen kembali ke kursi rodanya dan membantunya keluar dari kamar. Joen menoleh sekali lagi ke arah ayahnya sebelum pintu kamar ditutup.Zavier, terbaring di ranjang, menatap pintu dengan rasa haru dan kerinduan yang mendalam. Dia m
"Iya. Aku akan menyuruh Mando untuk melanjutkan prosesnya. Dia akan mengantarkan dokumen yang dibutuhkan. Wanita itu sudah menandatanganinya sejak lama.""Jadi mengapa kamu belum memprosesnya juga? Bukankah kalian hanya perlu menghadiri persidangan?"Zavier mengangguk kecil dengan senyum penuh misteri meskipun Pak Adrian tidak dapat melihatnya.Bagaimana mungkin dia meninggalkan rasa ego yang tinggi dan mengatakan bahwa dia tidak siap untuk bercerai dengan Nayla. Setidaknya sampai hari ini. Dia merasa harus memiliki kembali anaknya.Joen akan menjadi sempurna di bawah hak asuh yang dia miliki. Membayangkan Michael menjadi ayah bagi Joen membuatnya mulai marah dan kesal.“Aku siap. Aku ingin melakukan apa pun untuk memastikan Joen bisa bersama denganku," ucap Zavier sesaat kemudian.Sementara itu, Nayla, yang belum sepenuhnya sadar tentang keputusan Zavier, sedang menjalani rutinitasnya sehari-hari dengan penuh kesedihan. Michael yang s
Pagi hari menyambut Nayla dengan cahaya lembut yang meresap melalui tirai kamar. Saat ia perlahan membuka matanya, rasa pusing yang mengganggu mulai mereda, dan ia menyadari bahwa dirinya terbaring di tempat tidur.Ruangan itu terasa tenang, kecuali suara lembut dari napas seseorang yang ada di dekatnya. Nayla berusaha bangkit, merasa sakit di tangannya karena jarum infus dan ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia melihat Michael duduk di kursi samping tempat tidur, wajahnya terlihat khawatir namun penuh kasih.Nayla terkejut melihat Michael di sana. Sepertinya pria itu menjaganya sepanjang malam. “Michael?” suaranya masih serak dan lemah. “Apa yang terjadi?”Michael segera berdiri dan meraih tangan Nayla dengan lembut. “Kamu akhirnya sadar. Kamu pingsan semalam setelah mendengar berita semua tentang Zavier. Aku khawatir sekali,” katanya dengan nada lembut, mencoba menenangkan Nayla."Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Nayla mengangguk, merasa lebih tenang mendengar dukungan Michael. “Terima kasih, Michael. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Aku ingin memastikan Joen mendapatkan perlindungan yang terbaik. Kita akan memenangkan pertempuran ini!”Michael tersenyum. “Nah, ini baru benar. Kita akan memastikan itu. Jangan khawatir, Nayla. Kita akan mencari solusi terbaik untuk Joen. Aku percaya kita bisa melewati ini semua bersama.”"Lihat Nadira, dia juga sedang berjuang bersama dengan keponakanmu. Kamu tidak boleh kalah karena Joen ditakdirkan mengenal Ayahnya tetapi dia tetap milik Ibunya, mengerti?"Nayla mengangguk, merasakan rasa lega yang mendalam. Michael telah memberikan dukungan dan pengertian yang sangat berarti baginya. Ia menyadari betapa berartinya memiliki teman sejati di tengah-tengah kesulitan ini. Dan meskipun ia tahu bahwa perasaan Michael tidak dapat terbalas, ia tetap merasa bersyukur atas kehadiran dan dukungan yang tulus.Be
Joen mengangguk dengan penuh kepatuhan, meskipun rasa sedih di matanya tampak jelas. “Baik, Tante.”Joen dengan antusias menceritakan tentang mimpinya. Papa dan Mamanya bersama mereka dalam sebuah taman yang indah. Sebuah mimpi yang biasa aja, namun perkataan Joen membuat hati Zavier berdesir. Dia ingin sekali mimpi itu menjadi nyata, tetapi melihat keadaan hubungan mereka saat ini, semuanya menjadi tidak mungkin."Nanti kalau Papa Puzzle sudah sembuh, kita piknik bersama dengan Mama ya? Seperti mimpi Joen," ucap Joen dengan lugu.Zavier mengangguk dengan terpaksa, menyadari tidak ingin membuat putrinya kecewa dengan penolakan. Gadis kecil itu pasti tidak tahu menahu bagaimana hubungan dia dengan Nayla saat ini.Setelah sejenak bertemu, Joen akhirnya diantar kembali ke kamarnya oleh perawat yang dipanggil oleh Sefia. Zavier, dengan hati yang penuh perasaan, melihat anaknya pergi dengan rasa haru yang mendalam. “Joen... hati-hati ya, saya
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu