Pagi hari menyambut Nayla dengan cahaya lembut yang meresap melalui tirai kamar. Saat ia perlahan membuka matanya, rasa pusing yang mengganggu mulai mereda, dan ia menyadari bahwa dirinya terbaring di tempat tidur.
Ruangan itu terasa tenang, kecuali suara lembut dari napas seseorang yang ada di dekatnya. Nayla berusaha bangkit, merasa sakit di tangannya karena jarum infus dan ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia melihat Michael duduk di kursi samping tempat tidur, wajahnya terlihat khawatir namun penuh kasih.
Nayla terkejut melihat Michael di sana. Sepertinya pria itu menjaganya sepanjang malam. “Michael?” suaranya masih serak dan lemah. “Apa yang terjadi?”
Michael segera berdiri dan meraih tangan Nayla dengan lembut. “Kamu akhirnya sadar. Kamu pingsan semalam setelah mendengar berita semua tentang Zavier. Aku khawatir sekali,” katanya dengan nada lembut, mencoba menenangkan Nayla.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Nayla mengangguk, merasa lebih tenang mendengar dukungan Michael. “Terima kasih, Michael. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Aku ingin memastikan Joen mendapatkan perlindungan yang terbaik. Kita akan memenangkan pertempuran ini!”Michael tersenyum. “Nah, ini baru benar. Kita akan memastikan itu. Jangan khawatir, Nayla. Kita akan mencari solusi terbaik untuk Joen. Aku percaya kita bisa melewati ini semua bersama.”"Lihat Nadira, dia juga sedang berjuang bersama dengan keponakanmu. Kamu tidak boleh kalah karena Joen ditakdirkan mengenal Ayahnya tetapi dia tetap milik Ibunya, mengerti?"Nayla mengangguk, merasakan rasa lega yang mendalam. Michael telah memberikan dukungan dan pengertian yang sangat berarti baginya. Ia menyadari betapa berartinya memiliki teman sejati di tengah-tengah kesulitan ini. Dan meskipun ia tahu bahwa perasaan Michael tidak dapat terbalas, ia tetap merasa bersyukur atas kehadiran dan dukungan yang tulus.Be
Joen mengangguk dengan penuh kepatuhan, meskipun rasa sedih di matanya tampak jelas. “Baik, Tante.”Joen dengan antusias menceritakan tentang mimpinya. Papa dan Mamanya bersama mereka dalam sebuah taman yang indah. Sebuah mimpi yang biasa aja, namun perkataan Joen membuat hati Zavier berdesir. Dia ingin sekali mimpi itu menjadi nyata, tetapi melihat keadaan hubungan mereka saat ini, semuanya menjadi tidak mungkin."Nanti kalau Papa Puzzle sudah sembuh, kita piknik bersama dengan Mama ya? Seperti mimpi Joen," ucap Joen dengan lugu.Zavier mengangguk dengan terpaksa, menyadari tidak ingin membuat putrinya kecewa dengan penolakan. Gadis kecil itu pasti tidak tahu menahu bagaimana hubungan dia dengan Nayla saat ini.Setelah sejenak bertemu, Joen akhirnya diantar kembali ke kamarnya oleh perawat yang dipanggil oleh Sefia. Zavier, dengan hati yang penuh perasaan, melihat anaknya pergi dengan rasa haru yang mendalam. “Joen... hati-hati ya, saya
Petugas rumah sakit mengangguk. “Ya, dia meninggalkan rumah sakit dengan semua izin yang diperlukan. Kami tidak bisa menghentikannya.”"Dia membawa pengacara dan mereka membahas masalah hukum. Pihak Rumah Sakit tidak ingin terlibat terlalu dalam hal ini.""Ini juga Rumah Sakit milik Abraham," lanjut petugas rumah sakit tersebut dengan berat hati."Apa?!""A-aku beli Rumah Sakit ini!" geram Nayla dengan suara bergetar karena marah. Dia kalah sekali lagi oleh Zavier.Mendengar itu, pelayan yang diutus menjaga Nayla segera menarik tangannya, "Nyonya, ingat kata dokter. Anda harus menjaga tingkat stress Anda atau Anda akan pingsan sekali lagi!""Stress! Ya, aku marah!"Nayla duduk di kursi besi panjang dengan napas menderu-deru.Nayla merasa campur aduk antara marah dan khawatir. Dia segera mencoba menghubungi Michael, yang sedang berada di kantor, untuk memberitahukan situasi terbaru.“Michael, kamu tidak
Zavier duduk di kursi yang disediakan, berusaha untuk membuat dirinya lebih nyaman. “Kami pindah ke sini agar kita bisa lebih dekat dan memiliki tempat yang nyaman untuk kita berdua. Aku tahu ini mungkin terasa berbeda, tapi aku ingin kamu tahu bahwa ini adalah tempat di mana kita bisa mulai baru. Dan yang terpenting, kita bisa bersama-sama.”"Lalu Mama?""Hmm, Mama akan menyusul sesudah ini." Zavier mengelus lembut rambut Joen.Joen berhenti sejenak dari menyusun puzzle dan melihat ke arah ayahnya dengan penuh perhatian. “Tapi, Tante Sefia? Bagaimana dengan Tante? Dia tidak boleh kemari, dia galak sekali.”Joen mengkerucutkan bibirnya tanda tidak suka."Dia tidak akan kemari, Sayang."Joen mengangguk dengan senyum penuh kemenangan, "tapi Mama pasti akan datang sebentar lagi, bukan?"Zavier menghela napas, merasa berat untuk menjelaskan situasi tersebut. “Mama dan Papa sedang menghadapi beberapa masalah,
Nayla memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit langsung untuk berbicara dengan Zavier secara pribadi.Dia meninggalkan rumah dengan penuh harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa mendapatkan waktu untuk berbicara dengan Zavier dan mencari solusi bersama.Sesampainya di rumah sakit, Nayla dengan cepat menuju ke ruang rawat inap Zavier, dimana pria itu harus melakukan serangkaian test di kepalanya. Namun, ketika dia tiba di sana, dia mendapati bahwa Zavier telah menolak semua kunjungan dan permintaan untuk bertemu. Petugas rumah sakit memberitahunya dengan nada penuh penyesalan.“Maaf, Nyonya Nayla,” kata seorang petugas rumah sakit, “Tuan Zavier tidak menerima tamu saat ini dan juga tidak menjawab telepon atau pesan. Kami tidak dapat memaksa dia untuk bertemu dengan siapa pun.”Nayla merasakan hatinya hancur mendengar kabar tersebut. Dia mencoba bersikap tenang meskipun rasa frustasi dan kekhawatiran menghantui pikirannya. &ld
Zavier mengizinkan Fernando untuk mengunjungi mereka karena merasa dua anak itu adalah anaknya. Setidaknya mereka harus saling mengenal.Joen melihat kehadiran Fernando, berusaha untuk menyambutnya dengan ramah. “Halo, aku Joen! Aku baru pindah ke sini. Kamu mau bermain puzzle bersama aku?”Fernando mendengkus, dengan wajah yang tidak menunjukkan ekspresi ramah, hanya menatap Joen dengan tatapan dingin. “Puzzle? Aku tidak suka puzzle. Permainan orang kurang kerjaan.”Zavier baru saja keluar dari kamar dan melihat situasi tersebut, mencoba untuk menjembatani ketegangan. “Fernando, ini Joen, anak dari Papa. Dia baru saja pindah ke sini dan mungkin butuh teman. Mungkin kalian bisa bermain bersama.”Fernando mengerutkan keningnya dan menjawab dengan nada ketus, “Aku tidak mau main dengan anak baru. Aku sudah punya teman-temanku sendiri.”Joen terlihat sedikit terkejut dan kecewa dengan respons Fernando. D
Fernando, yang awalnya enggan, akhirnya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Puzzle itu terlihat sulit. Aku tidak yakin kita bisa menyelesaikannya.”Joen tersenyum lebar. “Ayo coba saja. Aku yakin kita bisa melakukannya bersama. Lagipula, aku suka sekali bermain puzzle, dan aku pikir akan lebih menyenangkan jika kita melakukannya bersama.”Itu adalah puzzle potongan pesawat. Fernando menyukai pesawat, sehingga rasa ingin tahunya semakin membuatnya mau menyentuh puzzle tersebut.Fernando mulai merasa tergerak oleh semangat Joen, akhirnya duduk di meja puzzle dan mulai membantu. Meskipun dia masih terlihat dingin, sikapnya mulai melunak sedikit demi sedikit. Joen, yang sangat ahli dalam menyusun puzzle, menunjukkan keterampilannya dengan penuh percaya diri, dan Fernando mulai terlibat dalam kegiatan tersebut.Selama beberapa hari berikutnya, Joen terus berusaha mengajak Fernando bermain berbagai jenis puzzle dan permainan lain. Di
Fernando awalnya merasa bingung dan agak tidak nyaman melihat Joen yang berbicara sendiri, berdiri di pintu dan memerhatikan dengan rasa ingin tahu. Dia tidak bisa memahami sepenuhnya mengapa Joen berbicara sendiri, dan merasa canggung karena tidak tahu bagaimana merespons.Namun, seiring waktu, Fernando mulai merasa tertarik. Dia melihat betapa serius dan bersemangatnya Joen saat menyusun puzzle, dan dia menyadari betapa banyak usaha yang Joen lakukan. Fernando memutuskan untuk duduk di dekat Joen dan memperhatikan dengan lebih teliti, berharap bisa memahami lebih baik tentang apa yang sedang dilakukan Joen.Joen yang tiba-tiba menyadari kehadiran Fernando, merasa malu dan berhenti sejenak. Dia menoleh dan melihat Fernando duduk di dekatnya, tatapan Fernando yang penuh perhatian membuatnya merasa canggung. “Oh, hai, Kakak Fernando. Kamu sudah lama di sini?”Fernando merasa sedikit ragu namun berusaha untuk berbicara dengan sopan, menjawab, “Iy
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu