Akhirnya Kenang menikah dengan Shaga. Tak ada tamu yang diundang, pernikahan itu terkesan tertutup. Pernikahan itu dilaksanakan di rumah megah Shaga. Dan Devan pun tidak hadir.
Pernikahan mereka terlihat baik-baik saja diawal, bahkan terlihat harmonis. Tak diduga semingggu setelahnya. Pada malam hari, Shaga membawa seorang perempuan ke rumahnya, ia terlihat mabuk cukup parah.
"Siapa dia, Mas?" tanya Kenang.
"Tanpa kamu jawab seharusnya kamu sudah tahu." jawab Shaga.
"Maksud kamu apa, Mas?"
"Gak usah pura-pura polos."
"Udahlah minggir." Shaga menghempaskan tubuh Kenang "Ayo sayang kita bersenang-senang."
"Mas kamu sudah punya istri. Kamu gak bisa seperti ini."
"Saya pikir saya bego, anak dalam kandungan kamu itu bukan anak saya, kan? Berapa banyak laki-laki yang sudah tidur dengan kamu. Saya ini juga pemain, kenang. Jadi saya tahu dunia malam itu seperti apa."
"Mas saya gak pernah ridur dengan laki-laki mana pun selain kamu. Saya juga kan pernah minta sama kamu untuk lakukan tes pek terlebih dulu sebelum kamu menikahiku tapi kamu menolaknya.
"Omong kosong. Sudah sana masuk kamar."
Shaga melenggang pergi masuk ke dalam kamar yang berada di lantai dua meningalkan kenang yang luruh di lantai dengan tangis yang sesak.
Hatinya begitu hancur, sangat hancur. Shaga yang terlihat lembut dan baik diawal ternyata menyimpan kekejaman di dalamnya. Sebenarnya kalau saja ia tidak mengandung anak Shaga tak mungkin ia ingin menikah dengannya. Kekacauan di Kepala Kenang mengantarnya pada sosok laki-laki bernama Devan. Ia menyesal telah memilih Shaga dibandingkan Devan yang tulus mencintainya.
Kenang perlahan bangkit, dan langkahnya begitu rapuh untuk menuju kamarnya. Begitu tiba di dalam kamar, Kenang menelpon Devan.
[Halo, Kenang.] kata Devan di seberang sana.
Hanya suar isak yang terdengar.
"Kamu menangis? Ada apa kenang? Kamu baik-baik saja, kan?" Devan terlihat khawatir.
Sebelum menegeluarkan kata-kata. Kenang justru mematikan telponnya. Ia memilih tenggelam dalam tangisnya. Ia tak ingin membebani Devan. Ia tak ingin laki-laki itu khawatir akan kondisi rumah tangganya.
"Tak ada gunanya kamu menangis." Kata Shaga yang tak diketahui kehadirannya, tiba-tiba sudah terduduk di atas kasur dengan bertelanjang dada.
"Kenapa kamu tega sama aku?" tanya Kenang.
"Salah kamu sendiri. Kenapa kamu masih tetap maumenikah dengan saya. Kamu seharusnya sudah tahu dari awal kalau saya bukan laki-laki baik."
Kenang terdiam."Tenang saja saya pakai pengaman jadi semua wanita yang saya kencani tidak akan hamil. Entah, kenapa saya dulu sama kamu tidak menggunakan pengaman. Mungkin karena kamu berbeda dengan wanita yang pernah saya kencani. Dan bodohnya kamu mau. Jadi tidak sepenuhnya itu salah saya, lan?"
"Kamu jahat, Mas. Asal kamu tahu bayi dalam kandunganku ini benar-benar darah daging kamu. Aku gak pernah tidur dengan laki-laki mana pun selain sama kamu."
"Terserah." Shaga lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut.
"Di mana perempuan itu?"
"Sudah pulang." jawab Devan dari dalam kamar mandi.
Perlahan tangis Kenang mereda, ia menyiapkan pakaian tidur untuk suaminya yang sedang mandi. Ditengah sakit hatinya, ia berusaha untuk tetao menjadi istri yang baik.
Tiba-tiba di luar terdengar ketuk dari pintu utama dan bunyi bel. Kenang langsung melangkah ke depan untuk membuka, siapa yang bertamu tengah malam begini.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Devan begitu melihat Kenang sambil memegang ke dua bahunya.
"Aku baik-baik saja, Van." jawab Kenang menutupi kesedihannya.
"Benar?"
"Iya, Van."
Shaga datang dengan mengenakan pakaian yang disiapkan Kenang tadi.
"Ngapain malam-malam menemui istri saya."
"Saya cuma mau memastikan kalau Kenang baik-baik saja."
"Di sini dia hidup dengan layak. Jadi dia akan aman dan baik-baik saja."
"Kalau gitu saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu." Devan pamit.
Begitu Devan pergi, Shaga menarik lengan Kenang dengan paksa.
"Sakit, Mas. Lepaskan."
"Kamu ngadu sama dia?"
"Maaf, Mas. Tapi aku gak jadi cerita sama dia."
"Terus kenapa dia datang ke sini kalau kamu gak ngomong."
"Mungkin dia khawatir."
"Khawatir? Itu artinya kamu sudah ngadu sama dia."
"Maaf, Mas."
"Awas sekali lagi kamu ngadu sama dia atau pun sama yang lain." Kecam Shaga.
Shaga mengunci kamarnya, sehingga Kenang pun tidak bisa masuk. Dan ia memilih untuk tidur di sofa padahal masih ada beberapa kamar yang bisa dijadikan untuknya tidur malam ini.
Pagi datang, kenang meringkuk di sofa bagai anak kucing yang kehilangan induknya. Matanya sembab, Begitu dibangunkan oleh Bi Suti, ART rumah ini. Jelas guratan-guratan tangan mengecap di pipinya yang semalaman menjadi bantal untuk menopang wajahnya.
Setelah membasuh tubuhnya di kamar mandi tamu. Kenang langsung menuju meja makan masih dengan pakaian semalam. Terlihat Shaga sedang sarapan.
"Gimana tidurnya, nyenyak?" tanya Shaga sambil memotong roti berisikan selai coklat lalu memasukkan ke dalam mulutnya dengan garpu.
Kenang tak membalas, ia memilih duduk di samoing Shaga lalu mengambil roti dan selai coklat.
"Bibi permisi ya Bu, Pak." kata Bi Suti menjinjing tas gembolan bersama satu temannya.
"Mau ke mana, Bi? Pake bawa tas segala?" tanya Kenang.
"Pulang, Bu." jawab Bi Suti.
"Oh, pulang kampung. Tapi entar ke sini lagi, kan?"
"Nggak, Bu."
"Maksudnya?" Kenang melihat ke Arah Shaga.
"Mulai hari ini kamu sendiri yang harus mengurus rumah ini. Mulai dari masak bersih-bersih, dan lain sebagainya."
"Termasuk tukang kebun juga?" tanya Kenang.
"Ya sudah kalau gitu bibi pergi dulu, Pak, Bu." kata Bi suti.
"Bi, jangan pergi tetap di sini."
"Kamu siapa? Kamu yang bayar mereka."
"Tapi, Mas,"
"Mereka semua sudah aku kasih uang pensiunan yang cukup buat kehidupan mereka di kampung dan buat buka usaha di sana."
"Permisi Pak, Bu." Bi Suti pun pergi. Kenang bangkit dari duduknya lalu menyusul Bi suti di depan.
"Maaf ya, Bi." Kata kenang.
"Iya Bu, Gak apa-apa. Ibu yang sabar ya." kata Bi suti menenangkan.
Kenang mengangguk pelan.
"Ya sudah Bibi pergi dulu."
"Hati-hati, Bi."
Bi suti dan temannya melangkah keluar, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir sedari tadi. Mereka saling melambaikan tangan tanda perpisahan.
Bersambung...
"Tolong saya, Mas. Bawa saya pergi dari tempat ini!" Pinta Kenang Kinanti, perempuan berusia 27 tahun kepada Devan Angkasa, laki-laki yang baru ditemuinya yang usianya juga sepertinya sama dengannya, seorang vokalis band.Devan yang sedang membasuh wajahnya di wastapel toilet klub malam, terlihat bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, begitu dihampiri Kenang. Perempuan asing yang tiba-tiba hadir dan meminta bantuan kepadanya. "Tolong, Mas." Kenang kembali memohon kepada Devan sambil memegang erat tangannya.Dalam ketakutan yang menaungi wajah Kenang, terdengar sayup-sayup dari arah luar seorang pria bersuara berat dan serak berteriak memanggil-manggil namanya."Cewek sialan, jangan kabur. Saya sudah bayar kamu mahal." teriak orang itu."Tolong saya." pinta kenang meratap kepada Devan yang masih terpaku dalam kebingungannya. Suara Kenang lirih dan melemah seiring air mata yang jatuh.Langkah orang itu semakin dekat dan suaranya semakin therdengar jelas, ia tak berhenti mer
Malam telah berlalu dengan segala kelam dalam hati Kenang Kinanti. Kini, pagi menyelinap hangat di antara langkah Kenang menuju Klub tempatnya bekerja, Klub itu bernama Flower Garden atau taman bunga yang memiliki makna sebagai seolah klub itu adalah sebuah taman dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di dalamnya yang tak lain bunga-bunga itu adalah para wanita yang siap menarik kumbang-kumbang atau para pria yang haus akan kasih sayang agar jatuh ke dalam pelukan sang bunga."Maaf Mam, saya belum siap." kata Kenang kepada perempuan yang senantiasa dipanggilnya Mami. Namanya Mami Rose, usianya sekitar 40 tahun namun tetap terlihat cantik dan juga kulitnya tetap kencang di usianya yang segitu sebab perawatan mahal yang kerap dilakukannya."Duduk." kata Mami Rose yang tengah memegang gelas berisikan minuman beralkohol dengan kaki menyilang. "Ini sudah kedua kalinya kamu kabur. Kalau kamu memang gak butuh uang, lebih baik kamu pergi saja. Gak usah lagi kerja di sini." "Gak Mam, saya b
Malam telah berlalu dengan segala kelam dalam hati Kenang Kinanti. Kini, pagi menyelinap hangat di antara langkah Kenang menuju Klub tempatnya bekerja, Klub itu bernama Flower Garden atau taman bunga yang memiliki makna sebagai seolah klub itu adalah sebuah taman dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di dalamnya yang tak lain bunga-bunga itu adalah para wanita yang siap menarik kumbang-kumbang atau para pria yang haus akan kasih sayang agar jatuh ke dalam pelukan sang bunga."Maaf Mam, saya belum siap." kata Kenang kepada perempuan yang senantiasa dipanggilnya Mami. Namanya Mami Rose, usianya sekitar 40 tahun namun tetap terlihat cantik dan juga kulitnya tetap kencang di usianya yang segitu sebab perawatan mahal yang kerap dilakukannya."Duduk." kata Mami Rose yang tengah memegang gelas berisikan minuman beralkohol dengan kaki menyilang. "Ini sudah kedua kalinya kamu kabur. Kalau kamu memang gak butuh uang, lebih baik kamu pergi saja. Gak usah lagi kerja di sini." "Gak Mam, saya b
Setelah kematian ibunya. Kenang terlihat sangat terpukul, hidupnya dihabiskan di dalam kamar dengan air mata dan lamunan. Nafsu makannya dicuri oleh kesedihan yang menimpanya. Ketegarannya menipis bagai kabut disiram hujan badai.Devan lantas mencoba mengajak Kenang pergi ke luar. Dengan menggunakan motor, sebab mobilnya sudah dijual karena sepi job manggung. Mereka melaju ke sebuah danau yang indah dan tenang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Siapa tahu Kenang bisa melepaskan sejenak kesedihannya. Selain itu, Devan memiliki tujuan lain selain ingin membuat Kenang sedikit tersenyum dan ini harus segera disampaikan kepada Kenang. Masalah perasaan."Bagaimana, kamu suka tempat ini?" tanya Devan membuka obrolan, begitu mereka duduk di bangku panjang mengarah ke danau."Indah." jawab Kenang sambil menatap langit biru dihiasi awan-awan cerah. Matahari pukul 4 sore terasa teduh. Di bawah langit yang beranjak senja. "Aku sengaja ajak kamu ke sini supaya kamu gak terus-terusan bersedih. Aku m
Akhirnya Kenang menikah dengan Shaga. Tak ada tamu yang diundang, pernikahan itu terkesan tertutup. Pernikahan itu dilaksanakan di rumah megah Shaga. Dan Devan pun tidak hadir.Pernikahan mereka terlihat baik-baik saja diawal, bahkan terlihat harmonis. Tak diduga semingggu setelahnya. Pada malam hari, Shaga membawa seorang perempuan ke rumahnya, ia terlihat mabuk cukup parah."Siapa dia, Mas?" tanya Kenang."Tanpa kamu jawab seharusnya kamu sudah tahu." jawab Shaga."Maksud kamu apa, Mas?""Gak usah pura-pura polos.""Udahlah minggir." Shaga menghempaskan tubuh Kenang "Ayo sayang kita bersenang-senang.""Mas kamu sudah punya istri. Kamu gak bisa seperti ini.""Saya pikir saya bego, anak dalam kandungan kamu itu bukan anak saya, kan? Berapa banyak laki-laki yang sudah tidur dengan kamu. Saya ini juga pemain, kenang. Jadi saya tahu dunia malam itu seperti apa.""Mas saya gak pernah ridur dengan laki-laki mana pun selain kamu. Saya juga kan pernah minta sama kamu untuk lakukan tes pek te
Setelah kematian ibunya. Kenang terlihat sangat terpukul, hidupnya dihabiskan di dalam kamar dengan air mata dan lamunan. Nafsu makannya dicuri oleh kesedihan yang menimpanya. Ketegarannya menipis bagai kabut disiram hujan badai.Devan lantas mencoba mengajak Kenang pergi ke luar. Dengan menggunakan motor, sebab mobilnya sudah dijual karena sepi job manggung. Mereka melaju ke sebuah danau yang indah dan tenang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Siapa tahu Kenang bisa melepaskan sejenak kesedihannya. Selain itu, Devan memiliki tujuan lain selain ingin membuat Kenang sedikit tersenyum dan ini harus segera disampaikan kepada Kenang. Masalah perasaan."Bagaimana, kamu suka tempat ini?" tanya Devan membuka obrolan, begitu mereka duduk di bangku panjang mengarah ke danau."Indah." jawab Kenang sambil menatap langit biru dihiasi awan-awan cerah. Matahari pukul 4 sore terasa teduh. Di bawah langit yang beranjak senja. "Aku sengaja ajak kamu ke sini supaya kamu gak terus-terusan bersedih. Aku m
Malam telah berlalu dengan segala kelam dalam hati Kenang Kinanti. Kini, pagi menyelinap hangat di antara langkah Kenang menuju Klub tempatnya bekerja, Klub itu bernama Flower Garden atau taman bunga yang memiliki makna sebagai seolah klub itu adalah sebuah taman dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di dalamnya yang tak lain bunga-bunga itu adalah para wanita yang siap menarik kumbang-kumbang atau para pria yang haus akan kasih sayang agar jatuh ke dalam pelukan sang bunga."Maaf Mam, saya belum siap." kata Kenang kepada perempuan yang senantiasa dipanggilnya Mami. Namanya Mami Rose, usianya sekitar 40 tahun namun tetap terlihat cantik dan juga kulitnya tetap kencang di usianya yang segitu sebab perawatan mahal yang kerap dilakukannya."Duduk." kata Mami Rose yang tengah memegang gelas berisikan minuman beralkohol dengan kaki menyilang. "Ini sudah kedua kalinya kamu kabur. Kalau kamu memang gak butuh uang, lebih baik kamu pergi saja. Gak usah lagi kerja di sini." "Gak Mam, saya b
Malam telah berlalu dengan segala kelam dalam hati Kenang Kinanti. Kini, pagi menyelinap hangat di antara langkah Kenang menuju Klub tempatnya bekerja, Klub itu bernama Flower Garden atau taman bunga yang memiliki makna sebagai seolah klub itu adalah sebuah taman dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di dalamnya yang tak lain bunga-bunga itu adalah para wanita yang siap menarik kumbang-kumbang atau para pria yang haus akan kasih sayang agar jatuh ke dalam pelukan sang bunga."Maaf Mam, saya belum siap." kata Kenang kepada perempuan yang senantiasa dipanggilnya Mami. Namanya Mami Rose, usianya sekitar 40 tahun namun tetap terlihat cantik dan juga kulitnya tetap kencang di usianya yang segitu sebab perawatan mahal yang kerap dilakukannya."Duduk." kata Mami Rose yang tengah memegang gelas berisikan minuman beralkohol dengan kaki menyilang. "Ini sudah kedua kalinya kamu kabur. Kalau kamu memang gak butuh uang, lebih baik kamu pergi saja. Gak usah lagi kerja di sini." "Gak Mam, saya b
"Tolong saya, Mas. Bawa saya pergi dari tempat ini!" Pinta Kenang Kinanti, perempuan berusia 27 tahun kepada Devan Angkasa, laki-laki yang baru ditemuinya yang usianya juga sepertinya sama dengannya, seorang vokalis band.Devan yang sedang membasuh wajahnya di wastapel toilet klub malam, terlihat bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, begitu dihampiri Kenang. Perempuan asing yang tiba-tiba hadir dan meminta bantuan kepadanya. "Tolong, Mas." Kenang kembali memohon kepada Devan sambil memegang erat tangannya.Dalam ketakutan yang menaungi wajah Kenang, terdengar sayup-sayup dari arah luar seorang pria bersuara berat dan serak berteriak memanggil-manggil namanya."Cewek sialan, jangan kabur. Saya sudah bayar kamu mahal." teriak orang itu."Tolong saya." pinta kenang meratap kepada Devan yang masih terpaku dalam kebingungannya. Suara Kenang lirih dan melemah seiring air mata yang jatuh.Langkah orang itu semakin dekat dan suaranya semakin therdengar jelas, ia tak berhenti mer