Arvan sedang berada di sebuah cafe, dia terlihat menengok pintu cafe beberapa kali mencari seseorang. Dia sedang menunggu Johan, ada yang ingin dibicarakannya. Sebenarnya bukan hal penting, hanya saja dia butuh sedikit saran dari sahabatnyaTidak lama Johan muncul, dengan setelan yang cukup formal. Dengan jas dan celana bahan. Berbeda dengan Arvan yang hanya mengenakan kaos polo dan celana denim. Arvan cukup terkejut melihat penampilan sahabatnya."Sorry bro lama,,, gimana nih," tanya Johan sembari duduk di hadapan Arvan."Ada yang ingin gue omongin. Sekalian tanya pendapat loe," balas Arvan sambil menyeruput minuman dinginnya."Yaudah cerita aja. Tapi gue udah keren belum?? Gue mau ajak Tasya dinner. Udah lama nggak keluar berdua," ucap Johan dengan mata berbinar."Lo ada janji sama Tasya? Mestinya lo bilang.. gue jadi nggak enak," Mendengar itu Arvan jadi merasa tidak enak sudah meminta Johan untuk menemuinya."Sejak kapan lo nggak enak gitu sama Tasya? Biasanya juga lo masa bodoh,"
"Jangan berpikir aku akan menganggapmu sebagai menantuku," ucap Sinta dengan ketus. Wajahnya sama sekali tidak bersahabat.Amanda ada di dapur sambil mengatur buah yang tadi dibawanya bersama Arvan. Sinta tiba-tiba muncul di hadapannya dan langsung memakinya. Amanda sadar diri akan hal itu, walaupun dia tidak menyangka Sinta akan mengatakannya secara terang-terangan."Aku sungguh tidak mengerti apa yang dilihat Arvan darimu, hingga dia terlalu keras kepala untuk menikahimu, kamu pasti sudah menjebak anakku," tuduh Sinta tidak beralasan.Amanda hanya terdiam mendengar makian ibu mertuanya. Seandainya ibu mertuanya tahu bila perlakuan anaknya juga tidak baik terhadapnya, Amanda yakin Sinta pasti akan menertawakannya.Disana juga ada mbok Sri yang mendengar dengan ketakutan melihat nyonya besarnya tampak marah dan tidak suka pada menantunya. Wanita paruh baya yang sudah bekerja cukup lama dengan keluarga Baskoro memang menghafal sifat nyonyanya yang sedikit keras kepala namun dia jarang
Siska berjalan mengitari ruang tengah apartemennya, sambil menyentuh dinding ruangan yang berwarna putih gading. Ditangan sebelahnya sebuah botol minuman digenggamnya dengan kuat. Perasaan kesal dan marah yang dirasakannya pada Arvan membuatnya ingin memaki siapapun. Namun apa daya hanya ada dia sendiri di tempat tinggalnya sekarang.Siska tiba-tiba berhenti dan mengambil bingkai foto yang menampakkan wajahnya yang sebelumnya dipajang di dinding. Sambil melihat wajah sendiri di dalam foto itu, dia tersenyum. Lalu tiba-tiba Siska melempar bingkai foto itu ke arah seberang hingga bingkai itu menabrak tembok di sisi lain. Lalu dia juga melakukan hal yang sama pada beberapa pajangan yang ada di dinding apartemennya.Tidak hanya itu dia bahkan menghancurkan sofa dan meja yang ada disana. Kegilaan siska tidak berhenti sampai disitu. Dia lalu masuk ke kamarnya dan memporakporandakan isi kamar tidurnya. Lalu dia kembali keluar dari kamarnya. Dan mencari sesuatu di antara ruangan yang sudah ter
Keesokan harinya seperti biasa Amanda sudah selesai menyiapkan menu sarapan untuk dirinya dan Arvan. Dia juga sudah memanggil Arvan untuk sarapan bersama. Mereka lalu sarapan dalam diam. Memilih untuk larut dalam pikiran masing-masing. Semuanya terlihat normal walaupun kenyataannya tidak. Pikiran Amanda masih melayang memikirkan sikap Arvan terhadap Siska, apa dia akan melakukan hal yang sama seandai Amanda yang menelpon. Lalu jika Siska memang berada di hati suaminya mengapa Arvan segetol itu memilih untuk menikahinya. Dia bisa saja hidup bahagia bersama siska sekarang. Apa kebencian sudah menutupi mata Arvan sampai dia tidak sadar ada Siska dihatinya.Jika Amanda memikirkan tentang wanita idaman lain suaminya, maka Arvan justru sedang memikirkan obrolannya dengan Tasya di cafe kemarin malam. 'Pajangan rumah? Aku memang jarang mengajaknya keluar, tapi aku juga tidak mengurungnya. Aku hanya memintanya untuk ada di rumah saat aku pulang, Lagipula kemanapun dia pergi itu bukan urusank
Hari ini Arvan sudah membuat janji untuk bertemu dengan Harris dan membahas tahap akhir pembangunan outlet baru miliknya. Dia harus memastikan tidak ada masalah lain yang perlu dikhawatirkan sebelum outlet resmi dibuka. Arvan sudah menunggu hampir satu jam namun batang hidung Harris belum muncul juga. Arvan merasa jengkel. Waktunya terbuang percuma satu jam hanya untuk menunggu rival masa lalunya itu. Bagaimana Harris bisa bekerja profesional bila dia membiarkan kliennya menunggu hingga satu jam. Dasar Harris brengsek. Apa dia mencoba menguji kesabaranku?Arvan yang terlihat gusar, menghela nafasnya kasar saat dilihatnya Harris memasuki restoran yang mereka sepakati dan berjalan ke arahnya sambil melambaikan tangan seolah mereka teman akrab dan tidak ada masalah dengan 'keterlambatan' yang baru saja dilakukannya."Kau membuatku menunggu cukup lama," ucap Arvan dengan nada sarkas."Tadi jalanan macet. Aku mencoba menghubungimu, namun ponselku mati, aku minta maaf," ucap Harris santai.
"Boleh aku masuk," ucap Johan sambil menyundulkan kepalanya di antara pintu ruang kerja Arvan dan hanya di balas anggukan oleh Arvan. Setelah mendapat izin Arvan, Johan kemudian melangkahkan kakinya masuk setelah sebelumnya memberikan senyuman kepada Siska.Siska memang sudah mulai kembali bekerja setelah libur tiga hari. Dia meminta Arvan menemaninya kembali ke apartemen. walaupun masih kesal karena kebohongan Siska, Arvan tetap menyempatkan diri untuk mengantarkan Siska ke Apartemennya. Di mengatakan ingin kembali kesana dan Arvan tidak melarangnya. Arvan pura-pura tidak tahu kalau kejadian waktu itu hanya kebohongan yang dibuat Siska. Namun hal itu semakin mengikis kepercayaan Arvan pada Siska dan dia juga mulai mempertanyakan etos kerja Siska hingga tanpa sadar Arvan justru semakin menjaga jarak dengan Siska.Johan datang sambil membawa berkas hasil rapat dengan timnya dan berniat menyerahkannya kepada Arvan. Johan berjalan perlahan seperti sedang mempertimbangkan sesuatu namun k
Beberapa hari sudah berlalu sejak hari Siska kembali bekerja. Semakin hari Siska semakin menyadari perubahan sikap yang ditunjukkan Arvan. Bila beberapa hari sebelumnya Siska berpikir bila perubahan sikap itu hanya perasaannya saja namun tidak kali ini. Siska sangat yakin Arvan sedang menghindarinya.Siska yang tidak mengetahui aladan Arvan mrnghindarinya menjadi geram dan kesal. Sesungguhnya dirinya dilanda kekhawatiran Arvan akan meninggalkannya ditambah rasa cemburu yang dirasakannya pada Amanda karena pernikahannya dengan Arvan.Siska menunggu dibalik meja kerjanya hingga Arvan keluar dari ruangannya. Dia berniat meminta Arvan mengantarnya pulang. Bagaimanapun insiden yang terjadi di apartemennya akan membuat Arvan berpikir bahwa dirinya membutuhkan perlindungan."Bapak akan pulang sekarang?" Tanya Siska saat Arvan melewati meja kerjanya."Iya Siska. Lagipula jam kerja kita sudah berakhir. Terima kasih untuk hari ini," ucap Arvan sambil menatap Siska."Maaf Pak,, bolehkah saya men
Arvan berjalan menyusuri lorong apartemennya dengan wajah kesal dan sedikit pengumpat. Sementara Amanda mengikutinya di belakang sambil berusaha menahan senyumnya. Arvan mengomel sepanjang jalan sambil membersihkan celananya yang nampak kotor. Rencana menonton gagal karena pakaian yang dia kenakan sedikit kotor terkena es cream."Orang tua mana yang membelikan anaknya ice cream di jam segini, kalau anak itu sampai sakit bagaimana?" Omel Arvan sambil memperhatikan celananya yang kotor."Karena cuaca agak panas hari ini, lagipula kalau hanya satu ice cream tidak akan membuatnya jatuh sakit," ucap Amanda yang dibalas dengan tatapan kesal oleh Arvan. Amanda menutup mulutnya. Sepertinya bukan waktu yang tepat menjawab Arvan. Lebih baik diam daripada membangunkan macan tidur.Arvan membuka pintu apartemennya dan segera berjalan ke kamarnya. Wajahnya masih kesal karena insiden yang dialaminya di lobby apartemen tadi. Seorang anak kecil yang sedang berlari kecil sambil memegang ice cream me
Keesokkan harinya,"Baiklah, ada dua tim yang akan mempresentasikan konsep 'taman impian" untuk kami, kami persilahkan kepada Bapak Arvan dan tim untuk melakukan presentasi," ucap Moderator mempersilahkan Arvan dan timnya maju.Arvan yang mengenakan jas berwarna biru gelap maju dengan penuh percaya diri. Dia sangat yakin akan memenangkan projek ini."Baiklah konsep taman impian kami adalah taman yang ramah bagi semua kalangan. Dengan harapan, taman ini akan menjadi tempat berkumpul keluarga baik anak, ibu, ayah bahkan kakek dan nenek mereka," arvan menjelaskan presentasinya dan audiensi mendengarkan."Karena itu kami berencana menciptakan sebuah lahan hijau yang cukup luas dan disekitarnya terdapat rute untuk pejalan kaki dan pesepeda. Setiap jarak tiga sampai empat meter akan disediakan kursi untuk beristirahat. Selain itu juga akan ada batu refleksi bagi pejalan kaki," arvan masih menjelaskan dan audiens masih memperhatikan."Lalu di sisi selatan akan dibangun sarana gym sederhana, b
Lima Tahun yang lalu“sabar,, sebentar lagi juga aku sampai, sayang,” ucap Amanda pada seseorang di seberang. dia sedang telponan dengan Arvan. Amanda sedikit berlari hingga tanpa sengaja dia menabrak seseorang yang baru keluar dari dalam taksi sambil membawa sebuah maket yang terbuat dari kertas. Mereka bertabrakan dan maket yang sudah disusun di atas sebuah benda bidang menyerupai miniatur sebuah tempat menjadi hancur berantakan."Yah.. Tuhan.. maafkan aku," ucap Amanda kaget.Amanda secara refleks memutus panggilannya dengan Arvan dan di layar handphonenya menampilkan gambar dirinya dan Arvan dalam pose konyol. Dengan segera Amanda membantu mengumpulkan maket yang berserakan di trotoar.Sedangkan pria yang membawa miniatur untuk bahan presentasinya itu hanya bisa menjambak rambutnya. Hancur sudah hasil lemburnya selama dua hari. Ternyata pria itu adalah Harris namun dengan tampilan yang sedikit berantakan."Aku sungguh minta maaf," ucap Amanda penuh penyesalan. "Yah.. tidak masal
Beberapa bulan kemudian,Arvan melajukan mobilnya melintasi padatnya jalanan ibu kota. Disebelahnya Amanda duduk dengan penuh senyuman sambil mengelus perutnya yang sudah mulai membesar. Perut dan tubuh Amanda terlihat semakin berisi semenjak hamil. Kandungan Amanda sudah menginjak usia delapan bulan dan sedang senang dengan pergerakan bayi di dalam perutnya. Amanda sempat mengeluh akan beratnya tapi Arvan malah memarahinya. Baginya Amanda semakin cantik dan seksi dengan tubuhnya sekarang.Arvan tersenyum sambil mengingat saat pertama kali Amanda merasakan gerakan di perutnya. Saat itu Arvan sedang tidur pulas. Amanda yang terbangun karena kaget langsung membangunkan Arvan dan mengatakan apa yang dirasakannya. Karena terlalu bahagia dan penasaran selama hampir dua jam Arvan menunggu pergerakan bayinya lagi dan menghalangi Amanda untuk tidur namun bayi didalam perut Amanda tidak mau bergerak. Amanda bahkan sedikit kesal karena tidak bisa tidur dengan nyenyak.Keesokkan harinya karena r
"Arvan Sialan,, pria brengsek,," teriakan Siska membuat langkah Arvan terhenti. Arvan membalikkan badannya mendapati Siska yang sedang dikawal beberapa orang pria dengan tangannya mengarah ke depan dan ditutupi sebuah jaket. Arvan menduga tangan Siska tengah di borgol. Entah apa yang dia lakukan sehingga polisi memasangkan borgol padanya. Arvan tidak menyangka akan melihat Siska setelah dengan sengaja Arvan menjauhi Siska. Beberapa kali Siska sempat menghubunginya setelah kejadian itu, tapi Arvan yang saat itu sedang fokus pada kesembuhan Amanda tidak menggubrisnya sedikitpun. Lagipula keputusan Arvan sudah final untuk membuat Siska jera dengan melaporkannya ke polisi. "Arvan,, bajingan,, dia yang seharusnya ditangkap pak polisi.. bukan aku. aku ini korbannya," teriak Siska meminta agar polisi menahan Arvan bukan dirinya. Arvan berusaha tidak mengubris perkataan Siska. "Pak polisi, pria itu penjahat kelamin. Dia menjerat wanita untuk menjadi budak seksnya. Dia meniduri wanita yang
Arvan menepati perkataannya. Setelah Amanda dinyatakan sehat dan boleh pulang, Arvan segera menghubungi pengacaranya. Menjelaskan secara detail kronologi kejadian di rumah Siska. Dia juga membeberkan alasannya hingga dia pergi ke rumah Siska dengan penuh amarah. Arvan membeberkannya dengan sangat detail. Tidak lupa juga dia menanyakan pada pengacaranya mengenai kemungkinan pengajuan perkara ke pengadilan dan seberapa besar kemungkinan dirinya akan menang dalam sidang. Pengacaranya mengatakan bahwa perkara tersebut dapat terkategori penguntitan hingga pembunuhan berencana dengan masa hukuman yang tidak sebentar. Mendengar hal itu Arvan merasa sedikit lega. Arvan sebenarnya enggan berurusan dengan polisi dan persidangan. Karena dia menyadari, akan butuh waktu beberapa bulan menjalani berbagai sidang sebelum akhirnya status tersangka bisa diberikan kepada Siska. Bila bukan karena masalah yang terjadi sudah mengancam keselamatan keluarga kecilnya, Arvan mungkin akan melupakannya. Namun k
"Permisi.. ibu Amanda?" Seorang perawat masuk membuat Amanda menghapus air matanya."Iya benar," ucap Arvan"Dokter akan melakukan pemeriksaan Bu," ucap perawat itu diikuti seorang dokter wanita yang menggunakan snelli dan stetoskop di lehernya ikut masuk bersamanya.Arvan melepas pelukannya dan duduk disamping istrinya.Pemeriksaan segera dilakukan. Perawat membantu memeriksa tekanan darah sedangkan dokter memberikan beberapa pertanyaan sambil memperhatikan lembaran berisi anamnesa. Tidak beberapa lama, perawat mengeluarkan sebuah alat dengan layar kecil dan benda pipih yang terhubung dengan kabel.Arvan memperhatikan dengan seksama saat perawat meletakkan gel pada benda pipih tersebut dan memberikannya kepada dokter wanita itu.“Bisa diangkat sedikit pakaiannya bu, kita akan melakukan pemeriksaan sebentar,” ucap dokter itu ramah.Dengan patuh Amanda mengangkat pakaiannya dan menampilkan kulit putih dari perut Amanda yang sedikit membuncit. Dokter meletakkan benda pipih itu dan mulai
Arvan sedang duduk termenung dengan kondisi yang sangat kacau. Rambutnya terlihat berantakan. Lengan bajunya dilumuri darah. Dia berada di sebuah tempat yang ramai dengan orang berlalu lalang. beberapa mengenakan baju putih khas rumah sakit. Dia memang sedang berada di unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit. Arvan hanya bisa menerawang seakan pikirannya tersedot mundur beberapa jam yang lalu. Pikirannya seolah memutar dengan cepat kejadian yang terjadi di apartemen Siska beberapa jam yang lalu. Arvan dihinggapi perasaan bersalah. Dia tidak akan bisa memaafkan dirinya bila sesuatu hal buruk terjadi. Arvan hanya menatap kosong pada sebuah pintu. Teriakan dan isak tangis dari beberapa orang yang melewatinya sama sekali tidak menyadarkannya. Arvan seolah terhisap dalam pikirannya sendiri."Kerabat ibu Amanda," ucap seseorang menyebut nama Amanda.Saat itu juga Arvan seolah tersadar dan segera menghampiri sumber suara.“Bagaimana kondisi istri saya?” Tanya Arvan cepat."Bapak bisa ke loket
Siska sedang melakukan perawatan pada kuku kukunya. Hanya perawatan sederhana sebelum dia mengatur jadwal untuk melakukan treatment di salon kecantikan favoritnya. Dia hanya diam di apartemennya dengan menggunakan hot pants dan baju kaos longgar yang membuat salah satu pundaknya terlihat. Setelah hubungannya dengan Arvan berakhir, weekendnya menjadi membosankan. Dia benar-benar memanfaatkan weekend untuk beristirahat dan memanjakan tubuhnya karena selama weekday dia sungguh sangat sibuk.Bos barunya adalah seorang pria tua yang menyebalkan. Semua pekerjaan dilimpahkan pada dirinya. Dia hanya duduk santai. Sesekali memberikan tanda tangan bila diperlukan tapi pengecekan dan evaluasi laporan semua diserahkan pada Siska. Dia sampai seringkali telat makan siang karena pekerjaan yang menumpuk. Sangat bertolak belakang dengan Arvan yang tampan dan berotot juga berotak. Siska merindukan tangan kekar Arvan ketika memeluknya.Siska merasa hidupnya sungguh menyebalkan karena bila bersama Arvan
“Hari ini kita akan pulang, Berjanjilah untuk lebih berhati-hati mulai sekarang,” ucap Arvan saat mengemasi barang-barang Amanda di rumah sakit. Amanda memonyongkan bibirnya tidak terima disalahkan Arvan. Kemarin dia berkali-kali mengatakan tidak ingin dirawat, tapi Arvan bersikeras. Ternyata dia benar, Dokter mengatakan tidak ada masalah. Dirinya dan kandungannya baik-baik saja.“Aku sudah bilang baik-baik saja, Mas Arvan saja yang tidak percaya,” bela Amanda. Karena sejujurnya berada dirumah sakit juga membuatnya merasa sangat suntuk.“Kamu kemarin jatuh, dan itu berbahaya. tentu aku harus memastikannya dengan pemeriksaan dokter,” ucap Arvan tidak mau kalah.“Iya baiklah.. Aku akan berhati-hati mulai sekarang,” jawab Amanda akhirnya. tidak ingin memulai perkelahian di antara mereka hanya karena masalah kecil.Mereka lalu keluar dari kamar rawat inap setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Dua kali berada dalam klinik perawatan dalam satu minggu membuat Amanda berdoa da