Selepas kepergian Arvan, Amanda bangkit perlahan dan merapikan pakaiannya yang berantakan. Dia merapikan rambutnya yang berantakan dan menghapus sisa air mata yang masih menempel di pipinya. Dia tidak akan melupakan kejadian hari ini. hari dimana Arvan membuktikan kebencian yang dimilikinya pada dirinya. Hari dimana Amanda semakin yakin bahwa tidak ada sedikitpun cinta yang masih tersisa dari hubungan mereka sebelumnya. Arvan begitu membencinya hingga tidak peduli perasaan sakit dan terhina Amanda saat ini. Rasanya percuma selama ini dia berharap bila Arvan mungkin akan kembali seperti dulu.Perasaan terhina karena perlakuan Arvan membuatnya melupakan sakit di sekujur tubuhnya karena berusaha melawan kekuatan Arvan. Dengan sisa tenaga yang ada, Amanda bangkit dari sofa menuju kamarnya. Dia harus mandi. Berharap air bisa menggugurkan rasa sakit yang dirasakannya. air matanya tidak berhenti mengalir mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.Bersamaan dengan air yang membasahi tubuh
"Yah. Aku masih di kantor karena kamu yang memintanya," ucap Johan di telepon."Tidak ada masalah yang terjadikan?" Tanya Arvan di telpon."Tenang saja semua aman terkendali," ucap Johan.Johan duduk dengan santai di kursinya. Arvan belum memberitahukan kepadanya mengapa pria itu tiba-tiba berlari meninggalkan kantor namun melihat ekspresi Arvan saat itu, Johan yakin sesuatu penting telah terjadi. Dia akan menunggu sahabatnya saat dia siap memberitahukan masalahnya."Aku akan keluar seharian, aku sudah meminta Siska menjadwalkan ulang kegiatanku hari ini, tapi aku tetap membutuhkanmu di perusahaan, tidak masalahkan Johan," ucap Arvan."Tidak masalah. Aku bisa mengatasinya," ucap Johan meyakinkan. "Jadi kamu tidak akan kembali?" Tanya Johan lagi."Maafkan aku Johan, tapi ada hal mendesak yang harus aku kerjakan sekarang," suara Arvan terdengar dari ponsel Johan."Baiklah. Tidak masalah. Di kantor juga tidak ada masalah," ucap Johan lagi.Setelah membicarakan beberapa hal keduanya menga
Amanda memilih meringkuk di ranjang kamarnya. Dia bahkan mengunci rapat pintu kamarnya. Takut Arvan akan menerobos masuk dan menyakitinya lagi bila dia tidak bersiaga. Rasa sakitnya masih terasa. Ngilu di badannya masih terasa setiap kali dia mengingat kejadian tadi pagi.Amanda bahkan hampir seharian ini mengurung dirinya dikamar. Padahal di apartemen itu hanya dia sendiri. Amanda takut bila pintu apartemen tiba-tiba terbuka dan Arvan muncul lalu melampiaskan kemarahannya lagi. Sebenarnya Arvan belum kembali setelah kejadian itu dan Amanda juga tidak peduli. Mungkin lebih baik malam ini dia hanya sendiri disana agar dia merasa sedikit aman.Amanda hampir jatuh tertidur sambil duduk saat di dengarnya kunci pintu dan suara pintu yang terbuka. Rasa kantuknya menghilang seketika. Amanda menegakkan sandarannya sambil memeluk bantal dengan erat. Amanda mendengar dengan seksama langkah kaki yang diyakininya adalah langkah kaki Arvan berjalan mendekat ke arah kamarnya.Terdengar suara pintu
Setelah menemui kepala rumah sakit jiwa dan mengutarakan maksud kedatangannya kemari lalu mendapatkan izin membesuk, Arvan diantar oleh seorang perawat untuk menemui Rosa, Ibu mertuanya. Perawat sudah mengatakan bahwa dia hanya mengizinkan Arvan untuk melihat dari jauh, meski Rosa sedang berada di taman bersama perawat yang mengurusnya namun, komunikasi dengan seseorang yang baru ditemuinya cukup dibatasi. hal itu untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Arvan tidak masalah dengan hal itu, setidaknya dirinya bisa melihat ibu mertuanya sebentar dan menyapanya meskipun dari jauh.Arvan berhenti tidak jauh dari tempat Rosa duduk hanya berjarak sekitar sepuluh meter. Perawat yang bersama Rosa juga sudah diberitahu bahwa Arvan berniat menemui Rosa sehingga perawat itu langsung tersenyum ramah ketika melihat Arvan berdiri disana. sedangkan perawat yang mengantar Arvan sudah pamit karena harus memeriksa pasien yang lain.Air mata Arvan rasanya ingin keluar namun coba ditahannya. Meli
Dua minggu berlalu setelah kejadian pelecehan yang dilakukan Arvan pada Amanda. Namun komunikasi antara Amanda dan Arvan semakin renggang. Diakui Amanda dia masih memiliki rasa khawatir bila Arvan ada didekatnya. Namun bukan berarti dia merasa tenang bila Arvan tidak menghubunginya. Setidaknya sebagai seorang istri dia berhak mengetahui dimana posisi suaminya. Hanya saja sulit baginya untuk memulai komunikasi dan kembali membangun kedekatan dengan Arvan. Dia masih memiliki rasa trauma sendiri.Walaupun Amanda tahu Arvan tidak benar-benar meninggalkannya sendiri atau menghilang selama berhari-hari karena Amanda sadar Arvan hanya memilih untuk pulang lebih larut saat dirinya bisa saja sudah tertidur.Seperti malam ini, Amanda menatap jam sudah lewat pukul sepuluh malam dan Arvan belum juga pulang. memang awalnya Amanda merasa tenang saat Arvan tidak di rumah. Dia takut Arvan akan menyerangnya lagi ketika sedang emosi seperti waktu itu, Namun menyadari Arvan selalu pulang di atas jam seb
"Apa kita bisa melacak seseorang lewat nomor teleponnya?" Tanya Arvan ragu pada Johan yang sedang duduk dihadapannya.Johan sedang membantunya menganalisa beberapa dokumen sebelum dirinya membubuhkan tanda tangan. Johan mengalihkan pandangannya menatap Arvan."Kurasa beberapa hal memang bisa kita dapatkan dari nomor telepon seperti mengetahui lokasi dan pemilik nomor tersebut," ucap Johan tidak pasti. Dia belum pernah melakukannya. Melacak seseorang hanya dari nomor telepon.Arvan terlihat berpikir. Apa dia harus melakukan hal itu, tapi mengingat istrinya yang lebih suka memendam masalahnya sendiri membuat Arvan merasa harus mencari tahu sesuatu."Apa hal itu mungkin dilakukan?" Tanya Arvan lagi."Kenapa? Kamu ingin aku mencobanya?" Tanya Johan yang tidak mengerti mengapa sahabatnya tiba-tiba ingin melacak seseorang.Arvan kembali menatap Johan beberapa saat lalu kembali menatap layar notebooknya."Tidak. Aku rasa sebaiknya aku meminta bantuan Roy saja," ucap Arvan kemudian."Sepertin
"Aku sudah mengatakan pada mama bila minggu ini aku sangat sibuk. Tapi beliau bersikeras meminta kita untuk datang," ucap Arvan sambil mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota menuju kediaman orangtuanya."Tidak masalah mas, lagipula kita memang sudah lama tidak berkunjung," ucap Amanda tetap menatap lurus kedepan.Ini pertama kalinya mereka kembali berada di ruangan sempit berdua. Kerenggangan yang terjadi karena keegoisan Arvan membuatnya merasa takut. Takut bila Amanda tidak nyaman berada di dekatnya. Beberapa kali Arvan mencuri pandang ke arah Amanda memastikan istrinya baik-baik saja berdua dengannya. Saat dilihatnya Amanda tetap tenang membuatnya dapat bernafas lega.Kebisuan rasanya membelenggu mereka. Arvan tidak tahu harus membahas apa. Banyak hal yang ingin ditanyakannya namun dia khawatir Amanda belum ingin membahasnya. Banyak pertanyaan berputar di kepalanya namun sangat sulit baginya mengutarakan setiap kata hingga hanya kebisuan yang tercipta."Mas Arvan, besok aku
Arvan sedang duduk di meja makan sambil memperhatikan tablet ditangannya. Sesekali dia mencuri pandang melihat Amanda yang sedang sibuk menyiapkan makan malam mereka di dapur minimalis apartemen mereka. Arvan senang karena Amanda tidak lagi menghindarinya. Sejujurnya dia ingin mendekati Amanda, namun dia takut istrinya masih belum siap berada dalam jarak sangat dekat dengannya. Diakui Arvan, semua itu karena keegoisannya hingga dia tidak bisa berpikir jernih. Walaupun tetap saja dia enggan mengakuinya langsung di depan Amanda.Dia memperhatikan setiap gerakan Amanda sambil tersenyum. Ternyata sangat menyenangkan memiliki seseorang yang bisa memberikan perhatian kepada kita. Menyiapkan hidangan setiap hari. Menyenangkan mengetahui seseorang berada di rumah untuk menunggu dia pulang dan makan bersama setiap harinya.Melihat Amanda yang kelihatan kerepotan, Arvan beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati istrinya di dapur berniat membantu istrinya."Ada yang bisa aku bantu," ucap Arv