Amanda memilih meringkuk di ranjang kamarnya. Dia bahkan mengunci rapat pintu kamarnya. Takut Arvan akan menerobos masuk dan menyakitinya lagi bila dia tidak bersiaga. Rasa sakitnya masih terasa. Ngilu di badannya masih terasa setiap kali dia mengingat kejadian tadi pagi.Amanda bahkan hampir seharian ini mengurung dirinya dikamar. Padahal di apartemen itu hanya dia sendiri. Amanda takut bila pintu apartemen tiba-tiba terbuka dan Arvan muncul lalu melampiaskan kemarahannya lagi. Sebenarnya Arvan belum kembali setelah kejadian itu dan Amanda juga tidak peduli. Mungkin lebih baik malam ini dia hanya sendiri disana agar dia merasa sedikit aman.Amanda hampir jatuh tertidur sambil duduk saat di dengarnya kunci pintu dan suara pintu yang terbuka. Rasa kantuknya menghilang seketika. Amanda menegakkan sandarannya sambil memeluk bantal dengan erat. Amanda mendengar dengan seksama langkah kaki yang diyakininya adalah langkah kaki Arvan berjalan mendekat ke arah kamarnya.Terdengar suara pintu
Setelah menemui kepala rumah sakit jiwa dan mengutarakan maksud kedatangannya kemari lalu mendapatkan izin membesuk, Arvan diantar oleh seorang perawat untuk menemui Rosa, Ibu mertuanya. Perawat sudah mengatakan bahwa dia hanya mengizinkan Arvan untuk melihat dari jauh, meski Rosa sedang berada di taman bersama perawat yang mengurusnya namun, komunikasi dengan seseorang yang baru ditemuinya cukup dibatasi. hal itu untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Arvan tidak masalah dengan hal itu, setidaknya dirinya bisa melihat ibu mertuanya sebentar dan menyapanya meskipun dari jauh.Arvan berhenti tidak jauh dari tempat Rosa duduk hanya berjarak sekitar sepuluh meter. Perawat yang bersama Rosa juga sudah diberitahu bahwa Arvan berniat menemui Rosa sehingga perawat itu langsung tersenyum ramah ketika melihat Arvan berdiri disana. sedangkan perawat yang mengantar Arvan sudah pamit karena harus memeriksa pasien yang lain.Air mata Arvan rasanya ingin keluar namun coba ditahannya. Meli
Dua minggu berlalu setelah kejadian pelecehan yang dilakukan Arvan pada Amanda. Namun komunikasi antara Amanda dan Arvan semakin renggang. Diakui Amanda dia masih memiliki rasa khawatir bila Arvan ada didekatnya. Namun bukan berarti dia merasa tenang bila Arvan tidak menghubunginya. Setidaknya sebagai seorang istri dia berhak mengetahui dimana posisi suaminya. Hanya saja sulit baginya untuk memulai komunikasi dan kembali membangun kedekatan dengan Arvan. Dia masih memiliki rasa trauma sendiri.Walaupun Amanda tahu Arvan tidak benar-benar meninggalkannya sendiri atau menghilang selama berhari-hari karena Amanda sadar Arvan hanya memilih untuk pulang lebih larut saat dirinya bisa saja sudah tertidur.Seperti malam ini, Amanda menatap jam sudah lewat pukul sepuluh malam dan Arvan belum juga pulang. memang awalnya Amanda merasa tenang saat Arvan tidak di rumah. Dia takut Arvan akan menyerangnya lagi ketika sedang emosi seperti waktu itu, Namun menyadari Arvan selalu pulang di atas jam seb
"Apa kita bisa melacak seseorang lewat nomor teleponnya?" Tanya Arvan ragu pada Johan yang sedang duduk dihadapannya.Johan sedang membantunya menganalisa beberapa dokumen sebelum dirinya membubuhkan tanda tangan. Johan mengalihkan pandangannya menatap Arvan."Kurasa beberapa hal memang bisa kita dapatkan dari nomor telepon seperti mengetahui lokasi dan pemilik nomor tersebut," ucap Johan tidak pasti. Dia belum pernah melakukannya. Melacak seseorang hanya dari nomor telepon.Arvan terlihat berpikir. Apa dia harus melakukan hal itu, tapi mengingat istrinya yang lebih suka memendam masalahnya sendiri membuat Arvan merasa harus mencari tahu sesuatu."Apa hal itu mungkin dilakukan?" Tanya Arvan lagi."Kenapa? Kamu ingin aku mencobanya?" Tanya Johan yang tidak mengerti mengapa sahabatnya tiba-tiba ingin melacak seseorang.Arvan kembali menatap Johan beberapa saat lalu kembali menatap layar notebooknya."Tidak. Aku rasa sebaiknya aku meminta bantuan Roy saja," ucap Arvan kemudian."Sepertin
"Aku sudah mengatakan pada mama bila minggu ini aku sangat sibuk. Tapi beliau bersikeras meminta kita untuk datang," ucap Arvan sambil mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota menuju kediaman orangtuanya."Tidak masalah mas, lagipula kita memang sudah lama tidak berkunjung," ucap Amanda tetap menatap lurus kedepan.Ini pertama kalinya mereka kembali berada di ruangan sempit berdua. Kerenggangan yang terjadi karena keegoisan Arvan membuatnya merasa takut. Takut bila Amanda tidak nyaman berada di dekatnya. Beberapa kali Arvan mencuri pandang ke arah Amanda memastikan istrinya baik-baik saja berdua dengannya. Saat dilihatnya Amanda tetap tenang membuatnya dapat bernafas lega.Kebisuan rasanya membelenggu mereka. Arvan tidak tahu harus membahas apa. Banyak hal yang ingin ditanyakannya namun dia khawatir Amanda belum ingin membahasnya. Banyak pertanyaan berputar di kepalanya namun sangat sulit baginya mengutarakan setiap kata hingga hanya kebisuan yang tercipta."Mas Arvan, besok aku
Arvan sedang duduk di meja makan sambil memperhatikan tablet ditangannya. Sesekali dia mencuri pandang melihat Amanda yang sedang sibuk menyiapkan makan malam mereka di dapur minimalis apartemen mereka. Arvan senang karena Amanda tidak lagi menghindarinya. Sejujurnya dia ingin mendekati Amanda, namun dia takut istrinya masih belum siap berada dalam jarak sangat dekat dengannya. Diakui Arvan, semua itu karena keegoisannya hingga dia tidak bisa berpikir jernih. Walaupun tetap saja dia enggan mengakuinya langsung di depan Amanda.Dia memperhatikan setiap gerakan Amanda sambil tersenyum. Ternyata sangat menyenangkan memiliki seseorang yang bisa memberikan perhatian kepada kita. Menyiapkan hidangan setiap hari. Menyenangkan mengetahui seseorang berada di rumah untuk menunggu dia pulang dan makan bersama setiap harinya.Melihat Amanda yang kelihatan kerepotan, Arvan beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati istrinya di dapur berniat membantu istrinya."Ada yang bisa aku bantu," ucap Arv
Ponsel Amanda berdering saat dia sedang di dapur membuatnya segera berlari ke meja makan mengambil ponselnya. Amanda memicingkan matanya menatap layar ponselnya menunjukkan nana Arvan. Tidak biasanya Arvan menelpon. Bisa dibilang Arvan sangat jarang menelponnya, apalagi mereka baru bertemu tadi pagi sehingga Amanda sedikit bingung. Walaupun begitu Amanda tetap senang Arvan menelponnya. Dia segera mengangkat panggilan dari suaminya."Amanda, ini aku," ucap Arvan begitu panggilan mereka tersambung."Iya mas, ada yang ketinggalan?" Tanya Amanda. Mungkin Arvan melupakan sesuatu dan ingin kembali untuk mengambilnya karena itu dia menghubungi."Tidak. Aku ingin mengabari sepertinya aku akan berada di luar kota dalam dua sampai tiga hari ke depan. Aku tidak sempat memberitahumu tadi pagi," ucap Arvan memberitahu alasan menelpon.Seketika Amanda merasakan kekesalan pada Arvan. Tadinya dia berpikir Arvan melupakan sesuatu yang penting atau Arvan akan pulang lebih cepat karena tidak terlalu sib
Arvan sedang duduk di sebuah cafe kecil yang tidak terlalu ramai. Dia sedang menyeruput kopinya. Dia menunggu seseorang. Setelah semua masalah pekerjaan selesai dia langsung memutuskan untuk kemari. Cukup lama dia menunggu namun dia akan bersabar untuk hal itu. Karena pertemuan kali ini sangat penting."Permisi.. Nak Arvan," ucap seorang wanita yang terlihat sudah memasuki kepala empat. Wanita dengan pakaian berwarna hijau dipadukan jeans pas body dengan rambut yang diikat tinggi. Penampilannya bisa dibilang trendy untuk usianya."Tante Ana," ucap Arvan ramah sambil menyalami Ana."Iya benar.. saya Ana. Tantenya Amanda," ucap tante Ana heboh di depan Arvan."Silahkan duduk tante. Saya senang bisa bertemu tante," ucap Arvan mempersilahkan tante Ana duduk dengan senyum yang mengambang di wakahnya.Tante Ana duduk di depan Arvan dengan senyum sumringah. "Tidak disangka Amanda menikahi pria luar biasa sepertimu, padahal tampangnya biasa saja," ucap Tante Ana tidak percaya."Sayalah yang b