Dengan penuh tanda tanya Kintani mengendarai mobil jazznya menuju rumah di iringi Pak Wisnu setelah Ayahnya itu menemuinya di rumah sakit dan memintanya segera pulang, saking sibuknya bekerja hingga sampai saat ini Kintani sama sekali tak menyadari jika handphonenya ketinggalan di rumah, karena memang saat sibuk pimpinan rumah sakit swasta di daerah itu jarang sekali fokus ke ponselnya. Begitu tiba di rumah Kintani perasaannya makin tidak enak, bukan karena dia melihat di ruang depan itu ada Paman kandungnya yaitu Pak Gindo yang duduk ditemani Ibunya melainkan sikap mereka yang terlihat begitu dinginlah yang membuat hatinya cemas. Kintani pamit sebentar untuk masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, dan saat berganti pakaian itulah ia menyadari di dalam tas kecil yang selalu ia bawa tidak ditemukan ponselnya. Kintani bergegas memakai pakaiannya, lalu berjalan ke arah meja yang di sana terdapat televisi dia baru ingat kalau tadi pagi mencas ponselnya di meja itu. Ketiga orang yang
Sebuah mobil yang dikemudikan Pak Wisnu serta Pak Gindo yang duduk di sampingnya, tampak berhenti di halaman sebuah rumah di kenagarian MK. Kedua orang itu langsung turun dari mobil, begitu tiba di teras seorang wanita menyambut mereka. “Eh, Wisnu dan Uda Gindo. Mari silahkan masuk,” sapa wanita itu. “Terima kasih Uni,” ucap Pak Wisnu, lalu seiring dengan Pak Gindo ia pun masuk dan duduk di ruang tamu. “Sebentar aku buatkan minum dulu ya?” “Nggak usah Uni, kami nggak lama kok. Oh ya, Uda Rustam ke mana?” tanya Pak Wisnu. “Uda jam segini masih di kebun, paling nanti sore baru pulang. Memangnya ada apa Wisnu? Kok mau buru-buru gitu?” “Begini Uni Suci, kami langsung saja bicara tentang tujuan kami datang ke sini. Ini semua tentang anak-anak kita Ridwan dan Kintani..” “Ridwan dan Kintani? Memangnya ada permasalahan apalagi antara mereka? Bukankah semuanya sudah selesai?” potong Bu Suci, Ibu kandung Ridwan. “Ternyata Ridwan dan Kintani selama ini tanpa sepengetahuan kita masih menj
Sore hari di kenagarian MK tepatnya di rumah kediaman orang tua Ridwan, Pak Rustam yang telah pulang dari kebun dan mandi duduk di ruang depan bersama istrinya. Untuk beberapa saat lamanya Bu Suci Ibu kandung Ridwan itu tampak ragu untuk mengatakan perihal kedatangan Pak Wisnu dan Pak Gindo tadi siang menemuinya, ia kuatir suaminya yang baru pulang dan tentu masih lelah itu akan terbawa emosi jika mendengar ceritanya. Namun jika tak dikatakan akan menjadi masalah yang lebih besar lagi nanti dan Pak Rustam akan lebih marah tentunya, akhirnya Bu Suci memberanikan diri untuk menceritakan semuanya. “Uda, tadi Wisnu dan Uda Gindo datang.” “Wisnu dan Gindo datang? Ada keperluan apa mereka ke sini?” tanya Pak Rustam dengan raut wajah kaget dan penasaran. “Aku harap Uda nggak marah jika yang akan aku sampaikan ini berkaitan dengan Ridwan,” pinta Bu Suci. “Iya katakan saja, memangnya ada apa antara mereka dan Ridwan?” “Begini Uda, mereka memberitahu kalau Ridwan dan Kintani selama ini ma
“Masya Allah, ternyata kamu benar-benar berhasil di rantau Nak,” Bu Suci berkata terdengar serak suaranya, karena tak dapat menahan haru hingga air matanya tak sadar jatuh membasahi kedua pipinya. “Benar Ridwan, Ayah bangga padamu. Hanya saja apa yang telah kamu lakukan dengan menjalin hubungan secara diam-diam kemarin itu dengan Kintani tetap tidak dibenarkan.” “Iya Ayah, sekali lagi aku minta maaf. Selain adat-istiadat yang menentang keras, mungkin juga ini semua takdir yang harus aku terima,” ucap Ridwan. “Siapa nama atasanmu itu, Ridwan?” tanya Bu Suci. “Anggelina Bu.” “Kok bisa atasanmu itu menaruh hati sama kamu?” “Aku juga nggak tahu dan menyangka Bu, melalui kepala bagian marketing yang juga atasanku di kantor, dia menyampaikan jika dia memiliki perasaan sama aku. Tapi sampai sekarang aku belum memberi tanggapan,” jawab Ridwan. “Loh, kamu nggak boleh menggantung perasaan orang. Kalau kamu memang memiliki perasaan yang sama segera ungkapkan, begitu pula sebaliknya. Janga
Ridwan bukan hanya sekedar menanggapi tentang perasaan Anggelina itu tapi juga menyetujui untuk hubungan itu kejenjang pernikahan, di restoran itu juga mereka sempat membahas tentang perbedaan keyakinan yang tentu saja akan menjadi salah satu masalah nantinya. Ridwan mengatakan jika berkaitan dengan keyakinan, dia tetap pada pendiriannya tidak akan berpindah agama. Jika Anggelina ingin segera melangsungkan pernikahan, Ridwan menyarankannya untuk berpindah dan satu keyakinan dengannya. Karena rasa sayang dan cinta wanita cantik bermata agak sipit itu begitu besar, Anggelina pun bersedia untuk ikut keyakinan Ridwan. Hanya saja hal itu tentunya harus ia sampaikan terlebih dahulu pada kedua orang tuanya yaitu Pak Wijaya dan Bu Wijaya, serta tak terkecuali juga seluruh keluarga besarnya. Ridwan setuju dan menunggu keputusan dari keluarga besarnya itu, bagi Ridwan dengan tidak menunda-nunda lagi akan menjadi solusi yang terbaik antara dia dan Kintani agar tak lagi sama-sama berharap. Mes
Sepulang dari kantor Ridwan dan Anggelina mampir dulu di sebuah cafe yang tidak jauh dari kantor tempat mereka berkerja, ternyata pertemuan itu telah mereka janjikan tadi siang saat mereka tak punya waktu untuk makan siang bareng karena Ridwan kembali mendapat tugas kerja di luar. “Bagaimana, apakah kamu udah bicarakan semuanya sama Papa dan Mamamu Anggelina?” “Udah Bang, Papa dan Mama setuju-setuju aja kalau aku memilih untuk ikut keyakinan Bang Ridwan. Akan tetapi Opa dan Omaku nggak nyetujuinnya, kalau Bang Ridwan nggak bersedia ikut keyakinanku nggak apa-apa pernikahan kita akan tetap direstui mereka,” tutur Anggelina. “Maksudnya kamu tetap dengan keyakinanmu, aku juga tetap dengan keyakinanku begitu?” “Iya Bang, Opa dan Oma bilang begitu jika memang Bang Ridwan nggak bersedia masuk pada keyakinan kami,” ujar Anggelina menegaskan kembali. “Aku memang nggak akan bisa ikut dengan keyakinanmu Anggelina, tradisi dan adat-istiadatku kamu tahu sendiri kan?” “Iya Bang, orang Minang
Pagi itu Ridwan telat tiba di kantor, selain tadi karena bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya melalui sambungan telpon juga disebabkan pikirannya yang kacau. Di kantor pun Ridwan tak begitu semangat bekerja seperti biasanya, keputusan kedua orang tuannya yang tak mengizinkan dan tak merestui dia menikah dengan Anggelina karena perbedaan keyakinan merupakan hal cukup berat baginya untuk memikirkannya sendiri. Ingin sekali ia curhat dengan Clara akan tetapi ia merasa percuma saja karena tidak akan mendapatkan solusi akan permasalahan pelik yang ia alami itu, mau tidak mau dia harus menyampaikan secara langsung pada Anggelina karena tidak baik pula hal itu di pendam sendiri dan disimpan berlarut-larut. Kembali Ridwan memutuskan untuk mengajak Anggelina makan siang bareng di restoran langganan mereka, di sanalah Ridwan dengan perasaan tak menentu mengungkapkan semuanya. “Hal yang ingin aku bicarakan saat ini, berkaitan dengan perbicanganku dengan kedua orang tuaku tadi pagi menyang
“Nggak bisa Anggelina seperti yang dikatakan Opa dan Omamu jika kalian ingin tetap menikah, kalian harus bersedia memeluk keyakinan masing-masing jika memang Ridwan nggak bisa masuk ke dalam agama dan keyakinan kita,” tegas Pak Wijaya. “Tapi Pa, ini untuk kebahagiaanku.” “Iya Papa tahu itu, Papa dan Mama tak masalah. Tapi Opa dan Omamu juga berhak mempertahankan keyakinan kita yang telah berlangsung secara turun-menurun,” ujar Pak Wijaya kembali menegaskan pada putrinya. “Papa dan Mama jahat, selama ini kalian selalu menyarankan aku agar segera mencari pasangan. Begitu aku menemui pria yang aku inginkan kalian tak bisa memperjuangkannya,” Anggelina bangkit dari duduknya lalu bergegas ke kamar sambil menangis. Pak Wijaya dan istrinya menghela napas yang terasa berat, mereka jadi serba salah karena memang sulit untuk mencari solusi akan permasalahan yang terjadi pada putrinya itu dan Ridwan. “Aku nggak tega juga melihat Anggelina begini, tapi aku juga nggak bisa menentang apa yang
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu