Meskipun keluarga Pak Wisnu merupakan golongan orang terkaya di kenagarian P, akan tetapi di kediamannya tak ada pembantu yang umum terlihat di rumah-rumah mewah milik orang kaya. Itu bukan karena mereka tak mau mengeluarkan uang untuk menyewa pembantu rumah tangga, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan mereka segala sesuatunya yang bisa dikerjakan sendiri akan mereka kerjakan. Terlebih dari segi memasak wanita Minang akan janggal dipandang jika tak pandai memasak sejak mereka remaja apalagi sampai berumah tangga, sekaya apapun mereka jika dalam hal memasak mereka tidak bisa tetap saja terlihat sumbang dalam kehidupan bermasyarakat di kampung. Tak terkecuali pula Bu Anggini dan Kintani yang sudah sangat terampil dalam hal memasak segala masakan khas Minang, meskipun pada masa sekarang segala sesuatunya serba canggih dan mudah akan tetapi masakan khas tetap berpedoman pada leluhur agar cita-rasa tetap sempurna. Makanya disaat acara pertunangan tak jarang pertanyaan pertama dari pihak
Minggu sore di kediaman Pak Wijaya Kusuma tampak ramai, di ruangan tengah terlihat beberapa orang berkumpul mulai dari orang dewasa sampai dengan anak-anak. Rupanya saat itu Pak Wijaya Kusuma sedang mengadakan acara berkumpulnya seluruh keluarga besar, putra-putri mereka, menantu dan juga cucu-cucu mereka. Acara itu sendiri rutin dilakukan keluarga besar Wijaya Kusuma hanya saja tak ditentukan tanggal dan hari tertentu seperti hari perayaan ulang tahun, kapan saja seluruh keluarganya memiliki kesempatan saat itulah Papa Anggelina Wijaya memutuskan untuk berkumpul di rumah mewah itu. Seluruh putra-putri, menantu dan cucu-cucu Pak Wijaya Kusuma hadir di sana. Baik yang berada di dalam maupun yang tinggal di luar negeri, tentu hal itu merupakan momen yang sangat membahagiakan karena kebersamaan itu tak selalu terwujud setiap saat. Acara itu sendiri hanya sekedar berkumpul, ngobrol dan makan bersama. Intinya tidak ada acara khusus seperti halnya ulang tahun, pesta pernikahan atau hal-h
Sulitnya memberi tanggapan membuat Ridwan diduga juga mencintai Anggelina, itu terlihat setiap kali bertemu seolah-olah Ridwan membiarkan sikap manja putri Pak Wijaya Kusuma itu padanya. Ridwan juga tak pernah menolak setiap kali atasannya itu mengajak jalan, hal itu tentu semakin membuat dirinya serba salah. Bukan karena Anggelina sebagai atasannya di kantor saja, tapi budi jasanya selama ini yang telah mengangkat martabatnya dari seorang pria yang hanya berijasah SMK dan bekerja di toko di lingkungan pasar, kini menjadi seorang staf marketing di perusahaan terbesar di Jakarta. Bukan hanya itu saja berkat bekerja di kantor perusahaan Anggelina dengan gaji yang setara dengan kepala bagian, Ridwan juga sekarang telah terbilang sukses menjadi seorang pengusaha muda dari usaha-usaha yang ia ciptakan di luar pekerjaannya di kantor. Berkat budi baik itulah Ridwan tak berani memberi tanggapan dengan mengatakan jika dirinya tidak dapat menerima perasaan sayang dari Anggelina, karena meman
“Kalau dari segi antara atasan dan bawahan memang nggak ada salahnya Kak kalau aku memenuhi ajakannya, tapi aku merasa seperti telah menghianati hubunganku dengan Kintani,” jelas Ridwan. “Memangnya kamu dan Anggelina terlibat hubungan khusus selain antara atasan dan bawahan?” “Nah, itu dia yang jadi inti permasalahannya Kak. Udah lama Anggelina memiliki perasaan yang berbeda itu padaku, bahkan hal itu ia sampaikan pada Bu Clara lalu Bu Clara menyampainya sama aku.” “Loh, kok kamu nggak pernah cerita?” Gita terkejut. “Maaf Kak, aku tadinya pengen ceritakan itu sama Kak Gita dan Bang Aldi. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa nggak enak,” ujar Ridwan. “Kan aku dan Bang Aldi udah bilang jika ada apa-apa jangan sungkan untuk bicara, siapa tahu kami bisa memberi solusinya. Nah, kalau udah jauh begini kan jadi repot kamu nya.” “Iya juga sih Kak, aku menyesal memendamnya sendiri selama ini. Aku pikir bakal bisa mencari jalan ke luarnya tapi justru aku makin terjepit,” ulas Ridwa
Sebuah bus jemputan khusus salah satu maskapai penerbangan berada di halaman rumah Pak Wijaya Kusuma, bus yang cukup besar itu hampir terisi penuh oleh keluarga besarnya. Putra-putri, menantu, cucu-cucu Pak Wijaya serta Ridwan juga telah berada di dalam bus itu, setelah semuanya siap bus itupun berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya akhir bulan itu seluruh keluarga besar Wijaya Kusuma akan berlibur ke Bali, Ridwan yang telah memutuskan untuk memenuhi ajakan Anggelina pun ikut serta di dalam pesawat dari Jakarta ke Denpasar itu. Sekitar kurang lebih 1 jam 45 menit tibalah pesawat yang ditumpangi keluarga besar Wijaya Kusuma itu di Bandara I Gusti Ngurah Rai, dengan beberapa buah mobil khusus dari pihak hotel tempat mereka akan menginap pula rombongan keluarga besar itu di jemput dan dibawa dari bandara itu. Semuanya tampak suka cita karena berlibur ke tempat wisata nomor wahid di Indonesia itu, terlebih bagi Anggelina yang saat itu di dam
Minggu pagi sekitar jam 9 lewat Pak Wisnu menerima kedatangan Pak Gindo di rumahnya, Paman Kintani itu datang sendiri tidak bersama istrinya. Di rumah itu pula hanya ada Pak Wisnu dan Bu Anggini, sementara Kintani hari minggu tetap pergi ke rumah sakit yang ia pimpin. “Tumben pagi-pagi datang berkunjung, Uda? Apa hari ini Uda Gindo panen?” tanya Pak Wisnu. “Iya Wisnu, makanya aku datang memberitahu kamu agar nanti sore buah sawit yang telah selesai di panen dan dikumpulkan di tepi jalan depan kebun kamu jemput,” jawab Pak Gindo. “Oh, seperti biasakan Uda jam 4 sore pekerja di kebun Uda Gindo itu udah selesai memanen dan mengumpulkan buah di pinggiran jalan depan kebun itu?” “Ya Wisnu, aku hari ini nggak bisa ke sana karena ada keperluan ke Kota Kabupaten.” “Nggak apa-apa Uda, nanti Uda Gindo tahu beres sajalah. Sepulang dari pabrik uangnya akan aku antar ke rumah Uda,” ujar Pak Wisnu. Rupanya setiap kali Pak Gindo memanen kelapa sawit di kebunnya, selalu diserahkan pada Pak Wisn
Dengan penuh tanda tanya Kintani mengendarai mobil jazznya menuju rumah di iringi Pak Wisnu setelah Ayahnya itu menemuinya di rumah sakit dan memintanya segera pulang, saking sibuknya bekerja hingga sampai saat ini Kintani sama sekali tak menyadari jika handphonenya ketinggalan di rumah, karena memang saat sibuk pimpinan rumah sakit swasta di daerah itu jarang sekali fokus ke ponselnya. Begitu tiba di rumah Kintani perasaannya makin tidak enak, bukan karena dia melihat di ruang depan itu ada Paman kandungnya yaitu Pak Gindo yang duduk ditemani Ibunya melainkan sikap mereka yang terlihat begitu dinginlah yang membuat hatinya cemas. Kintani pamit sebentar untuk masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, dan saat berganti pakaian itulah ia menyadari di dalam tas kecil yang selalu ia bawa tidak ditemukan ponselnya. Kintani bergegas memakai pakaiannya, lalu berjalan ke arah meja yang di sana terdapat televisi dia baru ingat kalau tadi pagi mencas ponselnya di meja itu. Ketiga orang yang
Sebuah mobil yang dikemudikan Pak Wisnu serta Pak Gindo yang duduk di sampingnya, tampak berhenti di halaman sebuah rumah di kenagarian MK. Kedua orang itu langsung turun dari mobil, begitu tiba di teras seorang wanita menyambut mereka. “Eh, Wisnu dan Uda Gindo. Mari silahkan masuk,” sapa wanita itu. “Terima kasih Uni,” ucap Pak Wisnu, lalu seiring dengan Pak Gindo ia pun masuk dan duduk di ruang tamu. “Sebentar aku buatkan minum dulu ya?” “Nggak usah Uni, kami nggak lama kok. Oh ya, Uda Rustam ke mana?” tanya Pak Wisnu. “Uda jam segini masih di kebun, paling nanti sore baru pulang. Memangnya ada apa Wisnu? Kok mau buru-buru gitu?” “Begini Uni Suci, kami langsung saja bicara tentang tujuan kami datang ke sini. Ini semua tentang anak-anak kita Ridwan dan Kintani..” “Ridwan dan Kintani? Memangnya ada permasalahan apalagi antara mereka? Bukankah semuanya sudah selesai?” potong Bu Suci, Ibu kandung Ridwan. “Ternyata Ridwan dan Kintani selama ini tanpa sepengetahuan kita masih menj