Hujan semakin deras membasahi bumi. Seluruh tubuh keduanya sudah basah kuyup dan deru hujan terdengar semakin kencang. Namun, Mark seolah tidak bisa mendengarnya. Bagi Mark, bunyi denyut jantungnya masih jauh lebih nyaring. Tatapan pria itu lekat tertuju pada Ayana, menunggu detik-detik jawaban gadis itu. Mark tahu ia sudah gila. Bahkan ia sendiri tak dapat memahami dirinya. Ia hanya menginginkan Ayana. Rasanya pikirannya sudah frustrasi karena terus menjaga jarak dengan gadis itu. Tenggorokan Ayana bergerak naik turun dengan gugup. “Aku …” Dia berkata dengan terbata-bata. “Aku ….” Suara Ayana terhenti. Kata-kata selanjutnya sudah berada di ujung lidah, tetapi Ayana tak dapat melepaskannya. Lidahnya seolah menjadi kelu seketika. Akhirnya, kesabaran Mark habis. Jika Ayana tak bisa membuktikan dengan kata-kata, ia sendiri yang akan membuktikan dengan tindakan. Tanpa aba-aba, Mark mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Mengarahkan bibirnya pada bibir Ayana. Namun, tepat sebe
Ayana jarang melihat Mark dua hari belakangan. Lebih tepatnya, setelah mereka bertengkar di bawah derai hujan hari itu. Mark tetap pulang ke rumah, tetapi amat larut hingga Ayana tak bisa menemuinya. Pada pagi hari pun, Mark masih mendekam di kamar saat Ayana berangkat ke kampus. Hal itu membuat hubungan mereka menjadi sangat dingin. Awalnya, Ayana ingin menghampiri pria itu lebih dahulu dan meminta maaf. Tampaknya, Ayana menjadi pihak yang bersalah kali ini. Namun, tiap kali melihat Chika mencoba mendekati Mark, Ayana kembali merasa sakit hati dan membatalkan niatnya. Hari ini, setelah perkuliahan selesai, Ayana memasuki mobilnya seperti biasa. Dia duduk di sisi kursi kemudi dan menjerit saat tahu-tahu mendapati Mark berada di dalam. Alih-alih Pak Rudi, justru Mark yang duduk di balik kursi kemudi. “Me—mengapa kau berada di sini?” tanya Ayana dengan napas tersengal karena kaget. Mark menatap ke arah gadis itu dengan sorot datar. “Ini mobilku,” katanya, “Apakah aneh jika aku
Ayana bisa melihatnya dengan jelas. Sebelumnya, ia telah bersumpah tak akan luluh dengan apa yang Mark lakukan, tetapi hatinya langsung menghangat mendengar penuturan pria itu. Mark selalu berhasil melemahkan Ayana. Bibir gadis itu terukir membentuk senyum hangat. “Apakah kau mengajakku hanya untuk menunjukkan ini?” tanyanya. “Tidak,” jawab Mark. Dia beranjak ke sisi Ayana, kemudian meraih tangan kanan gadis itu.“Coba lihat,” katanya. Tangan Ayana seketika menegang dan dia menatap ke arah pria itu dengan waspada.“A—apa yang akan kau lakukan?” tanyanya. Mulai panik. Entah mengapa, ia merasa curiga dan panik terhadap segala perlakuan yang Mark tunjukkan. Sambil masih menahan tangan itu, Mark merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah gelang. “Apa itu?” tanya Ayana. “Jangan khawatir,” ucap Mark, “Ini hanyalah barang murah.” Jawaban itu membuat Ayana mendelik jengkel dan Mark mulai memasangnya pada tangan kanan Ayana. “Walaupun benda murah, jangan sampai kau menghilangkannya,”
Ayana tidak tahu jika Mark bisa menjadi berbahaya seperti sekarang. Secara naluriah, gadis itu mengambil langkah mundur secara teratur. Lehernya terlihat kaku. “Ja—jangan coba-coba menggodaku, Mark,” Ayana memperingatkan, “Itu tidak akan berhasil.” “Benarkah?” tanya pria itu. Mark justru menunjukkan seringai miring seakan menantang. Pria itu terus berjalan maju. “Kalau begitu, kamu mau mencobanya?” ucap pria itu dengan seduktif. DukJantung Ayana seakan berhenti dan punggungnya menegak secara otomatis saat ia menabrak dinding. Tanda pelarian Ayana berakhir di sini. “Kita lihat apakah aku bisa menggoda dan menaklukanmu atau tidak,” ucap Mark. Dengan tegas pria itu menumpukan tangannya pada dinding dekat telinga Ayana. Seakan menjaga agar gadis itu tak ke mana-mana. Tatapan pria itu terlihat begitu gelap dan sensual hingga benak Ayana diselimuti kewaspadaan dan ketakutan. Perlahan, Mark mendekatkan wajahnya pada wajah Ayana. Memberikan target tepat bibir ranum gadis itu. “Ma—Ma
Jantung Ayana terasa hampir meledak saat tahu-tahu Mark menarik tubuhnya. Kini, tak ada jarak apa pun di antara keduanya dan Ayana bisa merasakan tubuh mereka yang bersentuhan. “A—aku hanya ingin menyuruhmu pindah ke tempat tidur,” tutur gadis itu. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Salah satu alis Mark terangkat mendengarnya. “Begitu?” Dia bertanya, kemudian mendorong tubuh Ayana. Gadis itu mengira Mark akan melepaskannya begitu saja. Alih-alih, pria itu justru ikut berdiri dan langsung menggendong tubuh Ayana di depan. “A—apa yang kau lakukan!” Ayana memprotes dengan panik saat Mark membawanya menuju tempat tidur. “Kamu sudah mengizinkanku untuk tidur di ranjang, bukan? Ayo tidur bersama,” ucap Mark. Sekujur tubuh Ayana merinding bukan main mendengarnya. Gadis itu langsung menggelengkan kepala dengan salah tingkah dan mencoba memberontak. “Bukan seperti itu maksudku, Mark!” sergahnya, “Maksudku, kita tidak … tidak ….” Ucapan Ayana terhenti. Bibirnya terasa kelu untuk m
Perasaan Ayana terasa damai saat ia bangun di pagi hari. Selimut tebal masih menyelimuti tubuhnya, terasa hangat dan lembut di kulitnya. Saat dia berangsur sadar, Ayana teringat akan apa yang mereka lakukan tadi malam dan hal itu langsung membuat Ayana membelalakkan mata. Napasnya langsung tercekat mendapati tubuhnya tidak terbalut oleh kain apa pun. Hanya selimut putih yang menjaganya tetap hangat. Tidak ada siapa pun di ruangan itu. Ayana memejamkan mata dan berteriak di dalam selimut. Menyesali sekaligus tidak percaya dengan apa yang ia lakukan malam tadi. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering. Jantung Ayana seakan ikut bergetar saat melihat nama Mark muncul di layar. Dengan ragu, Ayana menjawabnya. "Halo—""Kamu sudah bangun?" jawab Mark. Suaranya terdengar berat dan terengah. "Sudah, kamu di mana?" tanya gadis itu. Menyadari ketidakhadiran Mark di dalam kamar. "Aku sedang berolahraga di bawah," katanya, "Kamu tidak kunjung bangun, jadi aku memilih berolahraga. Di samping a
“Kau yakin kita akan tiba tepat waktu?” Ayana bertanya dengan ragu. Mereka baru saja bergegas menuruni hotel hingga kini tiba di basement tempat parkir. Keduanya terlihat sudah rapi dan siap untuk meluncur. Namun, waktu yang tersisa kurang dari setengah jam. Tampaknya mereka akan terlambat, tetapi Mark bersikeras berkata mereka bisa tiba tepat waktu. “Pasti bisa,” ucap Mark.Pria itu berkedip satu kali dan keduanya cepat-cepat memasuki kendaraan itu. Begitu masuk, Mark duduk di dekat stir kemudi dan tampak siap untuk mengoperasikannya. “Bagaimana—” “Pegangan,” titah Mark dengan nada lugas. Mendengar itu, Ayana cepat-cepat mencari sesuatu untuk ia pegang, tetapi Mark bahkan tak memberinya waktu untuk berpikir sebab mobil itu langsung berpacu. Seketika Ayana seolah diingatkan bahwa mobil itu adalah mobil sport. Jalanan pun lowong hingga Mark memacu mobilnya hingga kecepatan maksimal. Tubuh Ayana seakan terlempar ke kanan dan kiri tiap Mark menyalip sebuah mobil ataupun sekadar be
Mark sudah menunggu di dalam mobilnya. Setelah perkuliahan selesai, Ayana tak langsung pergi. Ia mampir ke perpustakaan dan kini Mark menunggu di dalam mobil dengan resah. Hingga pria itu membunyikan klakson saat melihat Ayana berjalan menuju area parkir. Gadis itu menatap ke arah mobil Mark. Dari luar, kaca mobil itu hanya terlihat hitam dan gelap. Namun, Ayana tahu Mark sudah menunggu di dalam. Alih-alih menghampirinya, Ayana justru berjalan terus melewati mobil Mark. Wajahnya terlihat tidak senang. Mark mengembuskan napas panjang, kemudian mulai melajukan mobilnya. Ayana terus berjalan kaki sembari mengumpat dalam hati. Ia tidak tahu mengapa pemandangan Mark dan Chika membuat benaknya dipenuhi rasa kesal. Tiiin Bahu Ayana terlonjak kaget mendengar bunyi klakson. Dia menoleh dan semakin terkejut melihat Mark sudah berada di dalam mobil tepat di sisinya. Kaca mobil itu diturunkan dan menampilkan bingkai wajah Mark yang setengah tertutup kacamata hitam. “Naiklah, Ayana,” tut
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki