“Kau yakin kita akan tiba tepat waktu?” Ayana bertanya dengan ragu. Mereka baru saja bergegas menuruni hotel hingga kini tiba di basement tempat parkir. Keduanya terlihat sudah rapi dan siap untuk meluncur. Namun, waktu yang tersisa kurang dari setengah jam. Tampaknya mereka akan terlambat, tetapi Mark bersikeras berkata mereka bisa tiba tepat waktu. “Pasti bisa,” ucap Mark.Pria itu berkedip satu kali dan keduanya cepat-cepat memasuki kendaraan itu. Begitu masuk, Mark duduk di dekat stir kemudi dan tampak siap untuk mengoperasikannya. “Bagaimana—” “Pegangan,” titah Mark dengan nada lugas. Mendengar itu, Ayana cepat-cepat mencari sesuatu untuk ia pegang, tetapi Mark bahkan tak memberinya waktu untuk berpikir sebab mobil itu langsung berpacu. Seketika Ayana seolah diingatkan bahwa mobil itu adalah mobil sport. Jalanan pun lowong hingga Mark memacu mobilnya hingga kecepatan maksimal. Tubuh Ayana seakan terlempar ke kanan dan kiri tiap Mark menyalip sebuah mobil ataupun sekadar be
Mark sudah menunggu di dalam mobilnya. Setelah perkuliahan selesai, Ayana tak langsung pergi. Ia mampir ke perpustakaan dan kini Mark menunggu di dalam mobil dengan resah. Hingga pria itu membunyikan klakson saat melihat Ayana berjalan menuju area parkir. Gadis itu menatap ke arah mobil Mark. Dari luar, kaca mobil itu hanya terlihat hitam dan gelap. Namun, Ayana tahu Mark sudah menunggu di dalam. Alih-alih menghampirinya, Ayana justru berjalan terus melewati mobil Mark. Wajahnya terlihat tidak senang. Mark mengembuskan napas panjang, kemudian mulai melajukan mobilnya. Ayana terus berjalan kaki sembari mengumpat dalam hati. Ia tidak tahu mengapa pemandangan Mark dan Chika membuat benaknya dipenuhi rasa kesal. Tiiin Bahu Ayana terlonjak kaget mendengar bunyi klakson. Dia menoleh dan semakin terkejut melihat Mark sudah berada di dalam mobil tepat di sisinya. Kaca mobil itu diturunkan dan menampilkan bingkai wajah Mark yang setengah tertutup kacamata hitam. “Naiklah, Ayana,” tut
“Di sini dia bekerja?” Suara Chika terdengar saat ia memasuki salah satu kelab malam di luar kota. Ia memandangi area sekitar yang penuh oleh lampu kelap-kelip dan musik memekakkan telinga. Alisnya mengerut dengan tidak senang. Chika memang sering mendatangi pub, tetapi ia terbiasa mendatangi tempat-tempat elit kelas atas. Bukan kelab malam seperti ini yang menurutnya terlihat kumuh. “Kau yakin dia bekerja di sini?” tanya Chika lagi kepada seorang pria yang mendampinginya. Pria itu mengangguk. “Benar, Nona. Setelah meninggalkan suaminya, dia berjualan baju di pasar, tetapi kemudian putranya menghilang saat berurusan dengan salah satu orang di sini dan dia memutuskan untuk bekerja di sini untuk mencari tahu.” Pria itu menjelaskan. Chika mengangguk dan alisnya masih mengernyit karena tak nyaman dengan tempat di sekitarnya. “Aku sudah jauh-jauh datang kemari. Jangan sampai informasimu salah!” sergah Chika dengan angkuh.“Tidak mungkin, Nona,” jawab pria itu, “Aku telah menggali i
Hening.Semua orang di dekat aula utama seakan berhenti saat itu juga. Mendengar pernyataan mencengangkan dari calon pemimpin mereka. Alis Dean mengerut dengan bingung. “Apa maksudnya?” tanya pria itu. Ayana memejamkan mata. Dalam hati menyesali situasi yang justru bertambah rumit sekarang. Mark justru menunjukkan senyum penuh kebanggaan dan percaya diri. “Gadis ini, Ayana, adalah istri saya. Saya adalah suaminya. Benar, ‘kan, Sayang?” tanya Mark. Pria itu sedikit menunduk untuk menatap Ayana. Raut wajah Dean bertambah kaget dan bingung. Ia memang pernah mendengar kalau Ayana sudah menikah. Namun, Dean selalu menganggap suami Ayana sebagai pria berengsek. Bukan calon pemimpin perusahaan yang sekarang berdiri di hadapannya. Dia menatap ke arah Ayana dengan tidak percaya. “Apakah itu benar, Ayana?” tanya pria itu. Nadanya masih terdengar tenang, tetapi ada ketegangan di sana. Tak hanya Dean, semua orang yang mendengar percakapan mereka seakan terdiam dan menunggu jawaban gadis
Ayana pernah menyayangi ibunya. Dahulu. Sebelum konflik besar itu terjadi. Setelah sang ibu pergi membawa adiknya, Ayana tak tahu apakah dia masih menyayangi ibunya. Ibunya tidak bisa dihubungi. Begitu pula adiknya. Mereka seakan lenyap begitu saja. Bahkan ketika Ayana hendak memberi kabar ayahnya sakit keras, ia tidak tahu bagaimana harus menghubungi sang ibu. Sejak itu, Ayana membanting tulang seorang diri demi mengobati sang ayah. Ia terus berusaha menghubungi sang ibu, tetapi nihil. Kini, saat ia kira hidupnya telah baik-baik saja, wanita itu muncul. Jantung Ayana seperti berhenti berdetak. Penampilan ibunya telah berubah drastis hingga Ayana hampir tak mengenalinya. Rambutnya dicat merah dan terlihat rusak, wajahnya yang dahulu selalu terlihat sederhana kini dipoles riasan yang cukup tebal. Senyumnya terlihat asing saat ia menatap Ayana.“Kau benar-benar Ayana, putriku,” ucap wanita itu. Tanpa menunggu lama, Ayana melepas sabuk pengaman dan berjalan keluar mobil. Mark cep
Mark baru saja hendak meraih kenop pintu, tetapi pintu itu tiba-tiba terbuka dan memunculkan sosok Ayana yang menangis. Pria itu seketika mematung di tempatnya. Ia memang sempat sayup-sayup mendengar keributan di dalam, tetapi tak menyangka jika Ayana akan sampai seperti ini. “Ayana ….” Gadis itu menutup pintu, kemudian cepat-cepat beranjak pergi menuju kamarnya sendiri. Mark mengembuskan napas panjang. Ia sengaja menerima keberadaan ibu mertuanya untuk mengetahui hubungan mereka lebih jauh, tetapi kondisinya justru menjadi lebih buruk daripada yang ia kira. Tok tok tokMark mengetuk pintu kamar Ayana perlahan. “Ayana?” panggil Mark, “Kau baik-baik saja?” Tidak ada jawaban. Sekalipun mereka sering bertengkar, Ayana tidak pernah bersikap seburuk ini sebelumnya. Mark mencoba lagi. “Ayana, aku akan masuk,” ucap pria itu, memberitahu. Tak ada jawaban dan Mark menganggap keheningan itu sebagai persetujuan. Perlahan, dia membuka pintu kamar Ayana. Hatinya seakan tersayat saat me
“Maaf mengganggu Anda sepagi ini, Tuan Muda,” tutur sekretaris Adimas itu. Pukul lima pagi tepatnya, pria itu sudah berada di halaman kediaman Mark. Mark menggelengkan kepala. Kebetulan, ia pun tidak bisa tertidur dengan lelap sehingga langsung terbangun saat pria itu menghubunginya. “Bagaimana? Apakah Paman sudah menemukan informasinya?” tanya Mark dengan sopan.Adimas dan sekretarisnya memang dekat dan tidak pernah berganti hingga Mark memanggilnya sebagai paman. “Sudah, Tuan Muda,” jawab pria itu. Dia mengeluarkan satu map berisi foto-foto yang telah ia dapatkan. “Namanya Wati. Mereka sudah berpisah sekitar sebelas tahun yang lalu. Semenjak itu, Wati tinggal di luar kota. Awalnya, dia berjualan baju dan bisnisnya cukup lancar, tetapi kemudian dia terjerat utang dan tidak bisa melanjutkan usahanya. Setelah itu, dia bekerja sebagai …” Pria itu terlihat ragu untuk mengatakannya. “Sebagai apa?” Mark bertanya. “Dia bekerja pada sebuah kelab malam, Tuan Muda, sebagai pengantar min
Ayana bisa melihat mimik terkejut yang tergambar jelas pada wajah Adimas dan Karina. Wajar saja. Tak hanya penampilan Wati yang terlihat seperti wanita malam, kepribadian wanita paruh baya itu pun amat kontras dengan Ayana. Namun, Karina dan Adimas tetap bersikap sopan hingga kini keempatnya sudah duduk di meja makan kediaman Mark. Seharusnya, pertemuan keluarga itu menjadi momen hangat, tetapi suasana di ruangan itu justru terasa canggung dan dingin.“Akhirnya aku bisa bertemu langsung dengan Ibu Ayana.” Karina bersuara dan memecah keheningan dengan suara hangatnya. Padahal, terlihat jelas Karina merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi Ibu Mark itu selalu bisa membawa diri dan tak pernah gagal membuat Ayana terkesan. “Aku juga,” ucap Wati, “Maaf jika Ayana merepotkan kalian semua. Sejak kecil, gadis itu memang manja dan tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dia pasti sudah merepotkan kalian semua,” tutur Wati seraya terkekeh seakan meremehkan. Suasana di meja makan itu
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki