Ayana pernah menyayangi ibunya. Dahulu. Sebelum konflik besar itu terjadi. Setelah sang ibu pergi membawa adiknya, Ayana tak tahu apakah dia masih menyayangi ibunya. Ibunya tidak bisa dihubungi. Begitu pula adiknya. Mereka seakan lenyap begitu saja. Bahkan ketika Ayana hendak memberi kabar ayahnya sakit keras, ia tidak tahu bagaimana harus menghubungi sang ibu. Sejak itu, Ayana membanting tulang seorang diri demi mengobati sang ayah. Ia terus berusaha menghubungi sang ibu, tetapi nihil. Kini, saat ia kira hidupnya telah baik-baik saja, wanita itu muncul. Jantung Ayana seperti berhenti berdetak. Penampilan ibunya telah berubah drastis hingga Ayana hampir tak mengenalinya. Rambutnya dicat merah dan terlihat rusak, wajahnya yang dahulu selalu terlihat sederhana kini dipoles riasan yang cukup tebal. Senyumnya terlihat asing saat ia menatap Ayana.“Kau benar-benar Ayana, putriku,” ucap wanita itu. Tanpa menunggu lama, Ayana melepas sabuk pengaman dan berjalan keluar mobil. Mark cep
Mark baru saja hendak meraih kenop pintu, tetapi pintu itu tiba-tiba terbuka dan memunculkan sosok Ayana yang menangis. Pria itu seketika mematung di tempatnya. Ia memang sempat sayup-sayup mendengar keributan di dalam, tetapi tak menyangka jika Ayana akan sampai seperti ini. “Ayana ….” Gadis itu menutup pintu, kemudian cepat-cepat beranjak pergi menuju kamarnya sendiri. Mark mengembuskan napas panjang. Ia sengaja menerima keberadaan ibu mertuanya untuk mengetahui hubungan mereka lebih jauh, tetapi kondisinya justru menjadi lebih buruk daripada yang ia kira. Tok tok tokMark mengetuk pintu kamar Ayana perlahan. “Ayana?” panggil Mark, “Kau baik-baik saja?” Tidak ada jawaban. Sekalipun mereka sering bertengkar, Ayana tidak pernah bersikap seburuk ini sebelumnya. Mark mencoba lagi. “Ayana, aku akan masuk,” ucap pria itu, memberitahu. Tak ada jawaban dan Mark menganggap keheningan itu sebagai persetujuan. Perlahan, dia membuka pintu kamar Ayana. Hatinya seakan tersayat saat me
“Maaf mengganggu Anda sepagi ini, Tuan Muda,” tutur sekretaris Adimas itu. Pukul lima pagi tepatnya, pria itu sudah berada di halaman kediaman Mark. Mark menggelengkan kepala. Kebetulan, ia pun tidak bisa tertidur dengan lelap sehingga langsung terbangun saat pria itu menghubunginya. “Bagaimana? Apakah Paman sudah menemukan informasinya?” tanya Mark dengan sopan.Adimas dan sekretarisnya memang dekat dan tidak pernah berganti hingga Mark memanggilnya sebagai paman. “Sudah, Tuan Muda,” jawab pria itu. Dia mengeluarkan satu map berisi foto-foto yang telah ia dapatkan. “Namanya Wati. Mereka sudah berpisah sekitar sebelas tahun yang lalu. Semenjak itu, Wati tinggal di luar kota. Awalnya, dia berjualan baju dan bisnisnya cukup lancar, tetapi kemudian dia terjerat utang dan tidak bisa melanjutkan usahanya. Setelah itu, dia bekerja sebagai …” Pria itu terlihat ragu untuk mengatakannya. “Sebagai apa?” Mark bertanya. “Dia bekerja pada sebuah kelab malam, Tuan Muda, sebagai pengantar min
Ayana bisa melihat mimik terkejut yang tergambar jelas pada wajah Adimas dan Karina. Wajar saja. Tak hanya penampilan Wati yang terlihat seperti wanita malam, kepribadian wanita paruh baya itu pun amat kontras dengan Ayana. Namun, Karina dan Adimas tetap bersikap sopan hingga kini keempatnya sudah duduk di meja makan kediaman Mark. Seharusnya, pertemuan keluarga itu menjadi momen hangat, tetapi suasana di ruangan itu justru terasa canggung dan dingin.“Akhirnya aku bisa bertemu langsung dengan Ibu Ayana.” Karina bersuara dan memecah keheningan dengan suara hangatnya. Padahal, terlihat jelas Karina merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi Ibu Mark itu selalu bisa membawa diri dan tak pernah gagal membuat Ayana terkesan. “Aku juga,” ucap Wati, “Maaf jika Ayana merepotkan kalian semua. Sejak kecil, gadis itu memang manja dan tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dia pasti sudah merepotkan kalian semua,” tutur Wati seraya terkekeh seakan meremehkan. Suasana di meja makan itu
Benak Ayana berdenyut nyeri. Pipinya terasa panas mendapat tamparan dari sang ibu. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menatap ke arah ibunya dengan tak percaya. Suasana menjadi hening. Napas Ayana menjadi berat tiap kali memandang ibunya. "Ibu tahu?" tanyanya dengan suara gemetar. "Aku tidak pernah merasa aku memiliki Ibu. Bahkan aku tidak mengenal siapa ibuku. Dia sudah pergi sebelas tahun yang lalu," tutur Ayana. Setelah mengatakannya, gadis itu langsung beranjak pergi dari sana, meninggalkan Wati yang tertegun di tempatnya. Ia tersentak dengan ucapan putrinya sendiri dan mendadak bernapas terasa sulit baginya. ******"Apakah dia benar ibu Ayana?" Adimas bertanya saat Mark mengantarnya menuju mobil. Ayana dan Wati tidak mengikuti mereka sehingga Adimas mendapatkan ruang untuk membahas keduanya. Mark mengangguk. Awalnya, ia ingin bersikap jantan dengan menerima kondisi ibu mertuanya, tetapi kini ia merasa canggung dan kikuk.Keraguan ayahnya cukup beralasan. Diliha
Perangai Wati seketika berubah saat berhadapan dengan Chika. Ia menoleh sekeliling dan mendapati area sekitarnya sepi tanpa orang berlalu-lalang. Mendadak, satu kecurigaan muncul dalam benak Wati. “Aku tidak tahu jika kamu satu kampus dengan Ayana dan suaminya,” tutur wanita itu. Saat pertama bertemu, Chika hanya mengenalkan dirinya sebagai salah satu kenalan Ayana, tetapi gadis itu membuat permintaan yang anehyang aneh. Hingga kini Wati terkejut menemukan Chika satu kampus dengan Ayana. Di sisi lain, Chika terlihat acuh tak acuh. Sudah jelas mereka satu universitas. Jika tidak, tak mungkin Chika mengeluarkan usaha yang begitu besar untuk menyingkirkan Ayana. “Tidak perlu dipikirkan,” tukas Chika, “Cukup jalankan sesuai rencana!” tegas gadis itu. Meski usia keduanya terpaut jauh, Chika tak segan membentak atau memerintah Wati seolah wanita itu lebih rendah darinya. “Ka—karena itu juga aku ingin menemui Anda, Nona,” tutur Wati dengan segan. Alis Chika langsung menukik tajam me
Peringatan Chika terus menghantui Wati. Berulang kali Wati menimbang-nimbang hingga kepalanya terasa begitu pening dan berat. Ia tak ingin memisahkan putrinya dan menghancurkan hidup Ayana, tetapi di sisi lain dia pun tak ingin putranya terancam. Wati tak menyangka ia akan dihadapkan pada pilihan sulit seperti sekarang. Wanita itu sedang memikirkan bagaimana cara mengambil jalan tengah saat tahu-tahu pintu kamarnya terbuka. Bahu Wati berjengit kaget dan refleks menoleh ke arah pintu. Ayana sudah berdiri di sana. “Kamu tidak berangkat kuliah?” tanya Wati dengan alis mengernyit. “Ibu bersiap-siaplah. Kita akan pergi,” ucap Ayana. Pandangannya selalu terlihat dingin dan berjarak saat berhadapan dengan sang ibu. Seakan mereka adalah orang asing. Wati tak bisa menyalahkan putrinya. Dengan Ayana seorang diri merawat sang ayah, ia tak akan heran jika gadis itu menimbun kebencian kepadanya. “Mau ke mana?” tanya Wati. Ayana yang sudah bersiap meninggalkan kamar Wati kini menghentikan
Meski pernah ditinggalkan, dibuang, direndahkan, dan ditampar sang ibu, Ayana tak benar-benar membenci Wati. Sebelas tahun wanita itu meninggalkan Ayana, tetapi dua belas tahun juga wanita itu merawat Ayana. Oleh sebab itu, Ayana tak benar-benar bertindak durhaka kepada sang ibu. Ayana bahkan mencoba membuat ibunya ingat dengan mengajaknya ke makam sang ayah, tetapi Wati justru menunjukkan sikap tidak terduga. Kini, Ayana tidak bisa menemukannya di mana pun. “Masih tidak bisa dihubungi?” Mark bertanya. Wajah tampannya kini terlihat cemas dan gusar. Ayana menggelengkan kepala. Ia tampak gelisah dan mencoba menghubungi untuk kepuluhan kalinya. “Bagaimana, Mark? Bagaimana jika Ibu menghilang lagi?” tanya Ayana. Khawatir Wati salah paham dengan keputusannya mengajaknya ke makam. Mark menggelengkan kepala dan merangkul bahu sang istri, mencoba menenangkan gadis itu. “Jangan panik,” tuturnya, “Kita pasti akan menemukannya.” Saat itu, Bik Dini melintas seraya membawa pakaian yang su
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki