"Anda harus memakannya, Nyonya. Tuan Muda meminta Nyonya untuk memakannya." Seorang pelayan wanita di kediaman Nelson itu tampak berusaha membujuk Karina. Gadis itu tidak berkutik. Bukannya membuka mulut, Karina justru mengamati wajah gadis itu. Membuat pelayan itu merasa tidak enak. Pintu terbuka dan sosok Adimas muncul di ambang pintu. Tubuhnya yang tegap dan atletis itu tampak amat berbeda dalam balutan hoodie tebal berwarna hitam. Wajahnya tampak lebih berkelas dan tampan. "Apakah dia tidak mau memakannya?" Adimas bertanya. Melihat kedatangan Adimas, pelayan itu seketika berdiri dan menggelengkan kepala. "Aku sudah mencoba membujuknya, tetapi Nyonya tidak mau, Tuan Muda," jawab wanita itu sembari menunjukkan kepala. "Biar aku yang membujuknya," ujar Adimas seraya berjalan mendekat, "Kau bisa pergi sekarang," lanjutnya dengan suara tenang. Pelayan itu mengangguk satu kali, kemudian buru-buru pergi keluar. Di luar, terlihat beberapa pelayan lain yang sudah menunggu dan mereka
Rasanya lama sekali semenjak terakhir Adimas mengenakan pakaian kerja lengkap. Kini, sebuah kemeja putih sudah melapisi tubuh atletisnya, ditambah dasi kaku dan jas yang fit di tubuhnya. Celana tuksedo hitam menggantikan celana jins lusuh yang biasa dia pakai. Adimas, tampak begitu berbeda hingga Karina memandangnya dengan bingung sekaligus ketakutan. "Ada apa?" Adimas bertanya seraya berjalan mendekat. Namun, Karina pun semakin beringsut mundur di ranjangnya. Seakan merasa asing dan ketakutan dengan Adimas. "Pergi!! Pergi!!" Gadis itu mulai berseru dan berteriak-teriak. Dengan cepat, Karina mengambil bantal di sisinya dan seakan mencoba bersembunyi di balik bantal tersebut. Adimas kaget dengan reaksi gadis itu. Ia mencoba mendekat, tetapi tubuh Karina semakin gemetaran. Hingga pria itu dengan cepat melepaskan jas hitamnya, kemudian berjalan mendekati Karina. "Tenanglah, Karina. Ini adalah aku. Mengapa kau merasa takut?" Adimas bertanya dengan sedikit heran. Tubuh Karina masih
Sebagai seorang istri konglomerat, Ilona memiliki bisnisnya sendiri. Dia memiliki butik kenamaan yang dibangunnya sendiri. Hingga kini, butik itu sudah memiliki belasan cabang yang tersebar di berbagai wilayah. Karena bisnis itu pula Ilona seringa bepergian keluar kota. Namun, kali ini, agendanya cukup luang hingga Ilona bisa menghabiskan seluruh waktunya di dalam rumah. Meski demikian, Ilona tidak bisa santai. Wanita itu tidak pernah merasa santai dan tenang semenjak kedatangan Karina. Rasanya seperti ada orang asing di rumahnya. Oleh sebab itu, Ilona berniat mengamati gadis itu. "Apa yang dia lakukan?" Ilona bertanya saat melihat Karina berjalan keluar kamar. Gadis bernama Karina itu tidak pernah mengatakan apa-apa, bahkan kepada para pelayan. Ilona mulai mengikutinya diam-diam. Rupanya, Karina beranjak menuju pekarangan belakang. Ia menghampiri bunga-bunga yang ditanam dan dirawat, mengaguminya seperti seekor lebah. "Cih, seperti anak kecil saja," cibir Ilona dengan pelan. S
Ilona baru saja menghubungi sang suami yang belum pulang bekerja. Dia berniat memasakkan sesuatu untuk Dirga saat tiba-tiba mendengar suatu pembicaraan dan Ilona cepat-cepat bersembunyi di belakang lemari. Dia bisa mendengar Adimas tengah berbicara kepada seseorang. Samar-samar, Ilona bisa melihat wajah pria itu, tetapi tidak dapat mengenalinya. Hingga setelah menyimak pembicaraan keduanya, Ilona mulai mengetahui siapa pria itu. Dia adalah ayah Karina. "Bagaimana mungkin ada orang tua yang bertindak seperti itu?" Ilona bertanya setelah Markus pergi. Adimas menoleh ke belakang dan terkejut saat mendapat sang ibu sudah berada di belakangnya. "I--ibu...." "Ibu sudah mendengar semuanya," ujar Ilona, membuat Adimas tidak bisa mengelak ke mana pun. Ilona melirik ke arah luar dan keberadaan Markus sudah tidak terlihat lagi. "Apakah dia ayah wanita itu?" tanya Ilona dengan penasaran. Adimas mengangguk satu kali. Sorot matanya terlihat serius saat menjawab, "Ya, tapi perlakuannya terhad
Menjadi anak sulung Markus tidak serta merta membuat Fero menurunkan darah pebisnis dari sang ayah. Ya, sejak dahulu, Markus telah menjadi pebisnis Kelas menengah. Namun, hal itu tidak menurun kepada Fero. Fero lebih senang menjadi penjudi yang mempertaruhkan banyak hal untuk mendapatkan banyak hal. Meja gambling adalah meja kerja baginya. Pria itu baru menuruni tangga dan berniat pergi menemui teman-temannya saat ia mendengar cakap-cakap dari kamar sang ayah. “Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak ini?” Terdengar suara sang ibu yang seketika menghentikkan langkah Fero. Pria tampan dengan potongan cepak itu memandang ke arah pintu yang tertutup dengan curiga, kemudian semakin mendekatkan wajahnya pada pintu untuk mendengarkan lebih jelas. “Adimas benar-benar memberikan ini semua kepadamu? Secara langsung?” Suara wanita itu terdengar terkejut. Fero mungkin tidak melihatnya, tetapi tersaji dua koper uang di hadapan Siska. Beberapa saat lalu, Markus datang membawa dua buah koper.
"Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan psikiater yang kuminta?" Adimas bertanya kepada Jade, sekretarisnya. Jade baru saja membacakan jadwal Adimas hari ini dan Adimas tengah beristirahat setelah dua jam meninjau berbagai dokumen. Jade melangkah maju satu kali. Postur tubuhnya terlihat tegap menghadap Adimas. "Saya sudah mencari, tetapi hanya segelintir orang yang menjadi psikiater dan...." Jade terlihat ragu untuk melanjutkan. "Dan tampaknya, Dokter Juna adalah yang terbaik."Mendengar itu, Adimas menaruh dokumennya di atas meja dengan sedikit kasar. Hal itu seketika membuat Jade sedikit terlonjak kaget. "Bagaimana bisa?" protes Adimas. "Kau yakin sudah mencari dengan benar? Di luar kota pun tidak masalah," tutur Adimas dengan sungguh-sungguh. Beberapa kali, ia terpikir untuk membayar tenaga luar. Adimas tidak masalah dengan harga tinggi. Namun, Karina mungkin tidak bisa memahami bahasanya. "Kami sudah mengusahakannya, Tuan," ujar Jade, "Dan, Dokter Juna adalah yang terbaik. Kami
Sejak dahulu, Siska tidak terlalu mengerti tentang bisnis. Ia hanya senang meminta uang dari suaminya dan berkumpul bersama wanita-wanita sosialita lainnya. Meski demikian, Siska tahu bahwa bisnis Markus dahulu berjalan sangat lancar. Ia kerap kali disanjung-sanjung dalam pertemuan. Namun, belakangan ini bisnis suaminya itu sedang merosot, tetapi jelas Siska tidak ingin membiarkan teman-temannya tahu.Karena itu, meski tengah dilanda kesulitan, dia tetap datang ke pertemuan, bahkan mentraktir semua orang. Ilona juga berada di sana, dan dia sangat mengenali siapa Siska. Namun, Siska tidak mengenal Ilona sedikit pun. "Omong-omong, di mana sopirmu yang tampan itu? Aku tidak melihatnya hari ini," ujar salah satu anggota pertemuan bernama Karin. Suaminya adalah seorang pengusaha furnitur. Siska yang tengah menyeruput kopi pesanannya itu nyaris tersedak mendengar pertanyaan tersebut. "Benar. Aku tidak melihatnya lagi." Yang lain ikut menjawab. "Dia... dia sudah dipecat!" jawab Siska tan
“Hari ini, kita akan bertemu dengan dokter yang bisa membantumu.” Adimas berkata kepada Karina saat sedang membantu gadis itu bersikap. Sebelum berangkat ke kantor, Adimas akan mengantar Karina untuk menjalani konseling pertamanya. Karena itu, pagi ini, Adimas tidak bersiap-siap seorang diri. “Dia adalah pria yang baik,” ujar Adimas, “Sepertinya.” Dia menambahkan, seketika merasa ragu dengan kepercayaan terhadap Juna. “Yang penting, kau tidak boleh bersikap kasar kepadanya, ya? Dia akan membantumu, jadi kau harus bersikap baik. Apakah kau mengerti?” tanya Adimas dengan lembut. Karina tidak terlalu mengerti perkataannya, tetapi gadis itu mengangguk patuh. Setelah selesai, Adimas pun mengambil jas yang telah dipajang di lemari, kemudian mengenakannya. “Ayo," tutur pria itu seraya mengulurkan tangan. Karina menerima genggaman tangannya dan keduanya mulai berjalan bersama meninggalkan rumah. Dandanan Karina terlihat berbeda. Dan sekilas, keduanya tampak seperti pasangan normal. Tida
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki