“Hari ini, kita akan bertemu dengan dokter yang bisa membantumu.” Adimas berkata kepada Karina saat sedang membantu gadis itu bersikap. Sebelum berangkat ke kantor, Adimas akan mengantar Karina untuk menjalani konseling pertamanya. Karena itu, pagi ini, Adimas tidak bersiap-siap seorang diri. “Dia adalah pria yang baik,” ujar Adimas, “Sepertinya.” Dia menambahkan, seketika merasa ragu dengan kepercayaan terhadap Juna. “Yang penting, kau tidak boleh bersikap kasar kepadanya, ya? Dia akan membantumu, jadi kau harus bersikap baik. Apakah kau mengerti?” tanya Adimas dengan lembut. Karina tidak terlalu mengerti perkataannya, tetapi gadis itu mengangguk patuh. Setelah selesai, Adimas pun mengambil jas yang telah dipajang di lemari, kemudian mengenakannya. “Ayo," tutur pria itu seraya mengulurkan tangan. Karina menerima genggaman tangannya dan keduanya mulai berjalan bersama meninggalkan rumah. Dandanan Karina terlihat berbeda. Dan sekilas, keduanya tampak seperti pasangan normal. Tida
“Mereka adalah para peserta magang yang telah lolos seleksi, Tuan.” HRD perusahaan Adimas menjelaskan. Total semuanya adalah lima orang. Mereka berdiri tegap menghadap Adimas, terlihat berusaha percaya diri. Namun, pandangan pria itu terfokus pada Bella, gadis yang berdiri di tengah-tengah. Adimas tidak pernah menyangka jika gadis itu akan ikut berdiri dalam barisan tersebut. Seakan seorang musuh telah berhasil memasuki benteng pertahanan Adimas. “Tuan?” HRD itu kembali bersuara setelah detik demi detik Adimas hanya terdiam. Pria tampan dengan wajah tegas itu berkedip satu kali. “Selamat,” ucapnya, “Kalian telah berhasil menjadi bagian dari perusahaan ini. Saya harap kalian bisa bertindak professional.” Adimas berpesan. Sebagaimana seharusnya, pria itu bangkit berdiri dan mulai menyalami mereka satu per satu. Hingga Adimas merasakan perbedaan saat menjabat tangan Bella. Gadis itu menatap ke arahnya dengan penuh harap. Adimas berusaha melepaskannya, tetapi gadis itu tidak membiar
Adimas pulang dengan pikiran yang berantakan. Raut wajahnya terlihat sedikit kusut, sama seperti kemejanya. Bagaimana tidak. Kini, setiap kali pergi ke kantor, dia harus berhadapan dengan Bella yang terang-terangan berusaha mendekatinya. Adimas bisa saja memecatnya langsung. Namun, ia dan universitas tempat Bella belajar telah menjalin kerja sama dan membuatnya tidak bisa memutuskan secara sepihak. Begitu tiba di rumah, Adimas langsung pergi ke kamarnya seperti biasa. "Aku pulang, Karin...." Perkataannya terhenti saat menemukan kamar itu dalam keadaan kosong. Tumben sekali. Umumnya, Karina menghabiskan sepanjang waktu di dalam kamar. Pria itu menghampiri kamar mandi. Kosong. Adimas mulai penasaran dan bergegas pergi keluar. Kebetulan, ia berpapasan dengan seorang pelayan di depan kamar mereka. "Di mana Karina?" Pria itu bertanya. Rasa khawatir mulai timbul dalam iris hitam pekatnya. Pelayan wanita itu menggeleng. "Saya belum melihatnya, Tuan," katanya. Dia mengangguk sopan,
“Apa katamu?” Adimas bertanya dengan suara dingin. Dia berhenti dan menoleh ke belakang. Tatapan matanya terlihat lebih gelap. Fero menyeringai. Dia berjalan mendekat dengan langkah santai sekaligus menantang. Keadaan di atmosfir itu seketika berubah menjadi bersitegang. “Aku serius,” ujar Fero dengan suara seakan menantang. Tatapan tajamnya beralih kepada Karina dan cengkeraman gadis itu mengencang seketika. Persis seperti rusa yang merasa terancam karena kehadiran predator. “Gadis ini...” Tiba-tiba Fero menarik rambut Karina tanpa rasa takut. “Dia adalah ancaman bagi semua orang. Seharusnya, dia menjadi gila sungguhan dan tidak perlu disembuhkan. Bahkan keluarga menjadi tercerai-berai karenamu. Kau benar-benar membuatku muak,” kecam Fero. Pria itu mengangkat tangannya dan mengayunkannya ke arah Karina. Dia berniat memukul gadis itu, tetapi Adimas bertindak cepat dan menangkis tangan Fero dengan tangan kekarnya. “Kau--” Bukk Tanpa ragu, Adimas meninju sisi wajah pria itu. Puk
“Apa kesukaan Tuan Adimas?” Salah satu karyawan bernama Alicia bertanya. Bella mengangguk. Sorot matanya memancarkan keyakinan saat berbicara dengan Alicia, salah satu karyawan yang sudah cukup lama bekerja di sana. Bella berniat menggali informasi mengenai Bastian sebanyak mungkin. Kesukaan, hobi, jadwal, dan kebiasaan pria itu. “Ya, apakah dia pernah menunjukkan apa yang dia sukai?" tanya Bella dengan penasaran. Seorang pria umumnya mudah luluh jika diberikan sesuatu yang dia sukai. Namun, Alicia menggelengkan kepala. "Dia tidak pernah menunjukkan hal seperti itu," katanya, "Tuan Adimas sangat profesional dan tidak pernah membahas masalah pribadinya," sambung Alicia. Bella seketika mengernyitkan alis mendengar informasi itu. Mana mungkin ada pria sedingin itu? Ia bertanya-tanya. Iris hitam Bella membesar saat satu kenyataan terbesit di pikirannya. Tunggu. Itu berarti, tidak ada satu pun orang yang mengetahui jika Adimas telah menikah? "Bagaimana dengan kekasihnya? Apakah Bas
"Hari ini, aku tidak bisa menemanimu konseling. Ada hal penting yang tidak bisa aku tunda, tapi konselingmu juga harus berjalan. Karena itu, hari ini kau akan pergi bersama Benny. Apakah kau mengerti?" Pagi ini. Tepatnya, sebelum Adimas berangkat bekerja, pria itu lebih dahulu berdialog dengan Karina. Pasalnya, hari ini adalah jadwal konseling Karina. Namun, Adimas juga memiliki jadwal yang tidak bisa diubah hingga mau tak mau, ia terpaksa membiarkan Karina pergi tanpa dirinya. Gadis itu mendengarkan, kemudian menganggukkan kepala sebagai respons. "Nanti, jangan melawan dan ikuti perkataan Benny. Apakah kau bisa?" Dia bertanya lagi. Itu adalah keputusan yang berisiko. Hingga kini, meski konseling gadis itu berjalan lancar, tetapi hanya segelintir orang yang bisa Karina terima. Adimas bisa membayangkan jika Karina mungkin saja kembali kumat dan hilang kendali saat bersama Benny. Namun, Karina mengangguk, membuktikan bahwa dia sanggup mendengarkan ucapan Benny. Melihat reaksi ga
"Anda yakin tidak ingin menginap dan pulang besok, Tuan?" Sekretaris Adimas menawarkan. Wajahnya terlihat setengah cemas. Bagaimana tidak. Adimas telah menjalani serangkaian aktivitas dengan waktu istirahat yang sempit dan baru selesai larut malam. Meski demikian, pria itu bersikeras kembali ke rumahnya yang berjarak empat jam dengan mobil. "Saya akan beristirahat di mobil," ujar Adimas.Pada akhirnya, sekretarisnya itu tidak bisa melawan. "Baiklah. Hati-hati di jalan, Tuan." Dia berpesan. Meski Adimas berkata dia akan segra pulang dan beristirahat, nyatanya pria itu tidak langsung kembali ke mansionnya. Dia telah membuat janji dengan Juna. Karena itu, Adimas meminta sopirnya untuk diantarkan ke apartemen pria itu. Sebenarnya, Adimas bisa saja menjadwalkan ulang untuk bertemu Juna besok. Namun, pria itu tidak yakin ia bisa tertidur nyenyak tanpa mendengar informasi yang dijanjikan itu. "Apa yang kau temukan?" Adimas bertanya tepat setelah Juna membukakan pintu untuknya. Juna s
Markus bangun dengan kepala yang terasa pusing. Tadi malam, setelah selesai bekerja, Marisa justru meminta untuk bertemu dengannya di sebuah hotel dan membuat pria itu pulang pagi. Belum sempat ia mengumpulkan kesadaran, ponselnya sudah berdering berulang kali. Dengan setengah malas, Markus meraih dan langsung mengangkatnya tanpa melihat nama penelepon. “Halo?” tuturnya, dengan mata setengah tertutup. “Keadaan gawat, Tuan." Dia berkata dengan nada setengah panik. "Tiba-tiba terjadi perubahan pemegang saham di Murnich Goldings dan saham Tuan termasuk salah satu yang tergeserkan." Dia memberitahu.Bagai disambar petir di siang bolong. Markus yang semula tidak sadar seketika membelalakkan mata. "Apa katamu?! Bagaimana mungkin? Aku pemilik lebih dari sepertiga saham di perusahaan itu!" "Seorang konglomerat misterius tiba-tiba membeli setengah dari saham di perusahaan Murnich Goldings, Tuan. Itu mengalahkan jumlah Tuan dan membuat nama Tuan bergeser." Asistennya itu menjelaskan. Tang
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki