"Hari ini, aku tidak bisa menemanimu konseling. Ada hal penting yang tidak bisa aku tunda, tapi konselingmu juga harus berjalan. Karena itu, hari ini kau akan pergi bersama Benny. Apakah kau mengerti?" Pagi ini. Tepatnya, sebelum Adimas berangkat bekerja, pria itu lebih dahulu berdialog dengan Karina. Pasalnya, hari ini adalah jadwal konseling Karina. Namun, Adimas juga memiliki jadwal yang tidak bisa diubah hingga mau tak mau, ia terpaksa membiarkan Karina pergi tanpa dirinya. Gadis itu mendengarkan, kemudian menganggukkan kepala sebagai respons. "Nanti, jangan melawan dan ikuti perkataan Benny. Apakah kau bisa?" Dia bertanya lagi. Itu adalah keputusan yang berisiko. Hingga kini, meski konseling gadis itu berjalan lancar, tetapi hanya segelintir orang yang bisa Karina terima. Adimas bisa membayangkan jika Karina mungkin saja kembali kumat dan hilang kendali saat bersama Benny. Namun, Karina mengangguk, membuktikan bahwa dia sanggup mendengarkan ucapan Benny. Melihat reaksi ga
"Anda yakin tidak ingin menginap dan pulang besok, Tuan?" Sekretaris Adimas menawarkan. Wajahnya terlihat setengah cemas. Bagaimana tidak. Adimas telah menjalani serangkaian aktivitas dengan waktu istirahat yang sempit dan baru selesai larut malam. Meski demikian, pria itu bersikeras kembali ke rumahnya yang berjarak empat jam dengan mobil. "Saya akan beristirahat di mobil," ujar Adimas.Pada akhirnya, sekretarisnya itu tidak bisa melawan. "Baiklah. Hati-hati di jalan, Tuan." Dia berpesan. Meski Adimas berkata dia akan segra pulang dan beristirahat, nyatanya pria itu tidak langsung kembali ke mansionnya. Dia telah membuat janji dengan Juna. Karena itu, Adimas meminta sopirnya untuk diantarkan ke apartemen pria itu. Sebenarnya, Adimas bisa saja menjadwalkan ulang untuk bertemu Juna besok. Namun, pria itu tidak yakin ia bisa tertidur nyenyak tanpa mendengar informasi yang dijanjikan itu. "Apa yang kau temukan?" Adimas bertanya tepat setelah Juna membukakan pintu untuknya. Juna s
Markus bangun dengan kepala yang terasa pusing. Tadi malam, setelah selesai bekerja, Marisa justru meminta untuk bertemu dengannya di sebuah hotel dan membuat pria itu pulang pagi. Belum sempat ia mengumpulkan kesadaran, ponselnya sudah berdering berulang kali. Dengan setengah malas, Markus meraih dan langsung mengangkatnya tanpa melihat nama penelepon. “Halo?” tuturnya, dengan mata setengah tertutup. “Keadaan gawat, Tuan." Dia berkata dengan nada setengah panik. "Tiba-tiba terjadi perubahan pemegang saham di Murnich Goldings dan saham Tuan termasuk salah satu yang tergeserkan." Dia memberitahu.Bagai disambar petir di siang bolong. Markus yang semula tidak sadar seketika membelalakkan mata. "Apa katamu?! Bagaimana mungkin? Aku pemilik lebih dari sepertiga saham di perusahaan itu!" "Seorang konglomerat misterius tiba-tiba membeli setengah dari saham di perusahaan Murnich Goldings, Tuan. Itu mengalahkan jumlah Tuan dan membuat nama Tuan bergeser." Asistennya itu menjelaskan. Tang
“Kau yakin sudah coba melobi pemegang saham lainnya?”Markus bertanya kepada asistennya di seberang telepon. Raut wajah pria itu terlihat kacau. Sepanjang hari, ia sibuk menelepon sanansini, mencoba menemukan cara untuk menyelamatkan saham-sahamnya dan posisinya yang tiba-tiba dilengserkan oleh pria itu. "Sudah, Tuan, dan mereka pun tidak ingin membagi saham mereka dengan Anda. Satu-satunya solusi adalah menanamkan modal itu pada perusahaan lain, Tuan." Asisten Markus itu memberi saran. "Apa saja pilihannya?" Markus bertanya, berharap ada sesuatu yang akan mengobati rasa kecewanya. "Ada beberapa di perusahaan makanan, kebersihan, dan minuman, Tuan. Itu adalah pilihan terbaik untuk saat ini." Asisten itu menjawab. "Argh! Tetap saja! Itu semua tidak sebanding dengan jumlah yang bisa diraup dari perusahaan itu!" Markus menjawab dengan geram. Ia benar-benar kesal. Pertama Hotel Karisma dan Gedung Pallace. Kini, dunianya kembali seakan ditimpa kiamat saat ia terbangun dan sahamnya sud
"Sebagai gantinya, kau bisa mengambil Bella sebagai istri keduamu." Buukkk Majalah yang dipegang Ilona seketika meluncur jatuh dari tangannya. Wanita itu masih mengenakan masker wajahnya dan berniat membaca majalah di ruang tamu saat tiba-tiba mendengar berita tersebut. Rahang Adimas tampak mengeras. Beruntung, ia sudah mencegah agar Karina ikut keluar. Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi gadis itu jika mendengar saran Markus tersebut. Namun, satu yang tidak Adimas ketahui adalah bahwa Karina diam-diam mengikuti langkahnya dan bersembunyi di balik dinding. Gadis itu terlihat terkejut dan langsung menutupi bibirnya dengan tangannya untuk menahan keterkejutan. "Apa-apaan ini? Saya tidak akan menyetujuinya!" bantah Ilona tanpa berpikir lebih lama. Mendengar itu, Bella memandang lemah ke arahnya, sementara Markus tampak kesal, tetapi berusaha keras menyembunyikan kejengkelannya itu."Nasib kami akan bergantung pada keputusanmu, Adimas," ujar Siska, menyerahkan seluruhnya ke tan
Bella berhenti berjalan di tengah jalan setapak menuju gerbang keluar. Dia menatap ke arah ibu dan ke arah sang ayah. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. "Dia siapa, Yah?" Bella terus mendesak. Dia memang tidak mengetahui banyak hal tentang masa lalu Karina. Namun, dia masih memiliki beberapa informasi. Siska dan Markus masih membungkam. Keduanya bersikap seolah tidak mengetahui apa pun. Pada akhirnya, Bella menggeram frustrasi. "Gargh! Benar-benar keluarga yang tidak jelas!" sergahnya, kemudian melanjutkan berjalan dengan penuh kekesalan. *** "Kau yakin tidak akan pulang, Bella?" tanya Irene, sahabat wanita itu. Hari sudah larut dan Bella masih menginap di indekos milik Irene. Malam tadi, tiba-tiba Bella datang dengan raut kesal dan meluapkan semua kekesalannya kepada Irene. Kini, hari sudah hampir tengah malam dan gadis itu juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumahnya. "Tidak," kata Bella, "Keluargaku benar-benar kacau. Tidak ada satu pu
"Kamu tekan nomor satu yang lama, nanti akan otomatis terhubung ke ponselku. Lihat ini." Adimas menunjukkan ponselnya yang menampilkan panggilan dari Karina. "Apakah kamu mengerti?" tanya pria itu. Karina memperhatikan ponsel Adimas dan miliknya dengan saksama, kemudian mengangguk. "Ngerti, Mas," jawab gadis itu. Adimas langsung mengembangkan senyum dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan bangga. "Pintar," pujinya, "Jika terjadi sesuatu, pastikan kamu menggunakan teknik ini." Dia berpesan. Tangannya terus bergulir di layar ponsel Karina hingga alisnya seketika mengernyit saat melihat nama Juna di sana. "Juna--" Dia menoleh ke arah Karina dan ponselnya bergantian. "Ini adalah... Dokter Juna?" tanya pria itu. Karina mengangguk polos, tidak berusaha menyembunyikan apa pun. "Kamu memiliki nomor Juna?" Dia bertanya. Seingat Adimas, dia tidak pernah menyimpan nomor pria itu di ponsel Karina. Dengan cepat Adimas menyelidiki lebih dalam. Rupanya, tidak hanya menyimpan, mereka ju
"Halo, Ibu? Apakah Ibu bersama Karina?" Adimas langsung bertanya sedetik setelah panggilan terhubung. "Apa? Karina? Tidak!" Ibunya menjawab dengan setengah berteriak. Bising keributan di belakangnya menunjukkan bahwa wanita itu sedang di luar. "Ibu sedang pergi. Karina masih di rumah. Memangnya, ada apa?" Ilona justru balas bertanya. Panggilan langsung terputus. Dengan cepat, Adimas beralih menghubungi kepala pelayannya. "Nyonya? Sepertinya, dia di kamarnya--Tidak ada, Tuan. Nyonya tidak ada di kamarnya," tutur kepala pelayan itu setelah berjalan pergi mengecek kamar Karina."Kalau di dapur? Kebun? Halaman belakang? Kolam? Cari dia di seluruh tempat!" titah Adimas dengan tidak sabar. "Dia tidak ada di mana pun!" Satu suara di belakang terdengar berseru. Jantung Adimas semakin bertalu-talu dengan lebih cepat hingga rasanya hampir meledak. Jade bisa menerka situasi gawat itu dari raut wajah Adimas. "Apakah ada hal buruk yang terjadi, Tuan?" Dia bertanya dengan suara lirih, tamp
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki