Menurut keterangan yang Adimas dapatkan dari Juna, Karina sempat menghubungi Juna satu kali dan memberitahu di mana keberadaannya. Sejak awal, Juna sudah curiga karena Karina berada di tempat seperti itu. Kebetulan, pria itu sedang libur berjaga di rumah sakit dan langsung saja Juna membawa mobilnya ke sana. Saat ia tiba, Juna tidak mendapati siapa pun, hingga ia berjalan lebih jauh menelusuri jalan setapak di belakang kafe tersebut dan mendapati seorang wanita mencoba menusuk Karina. Karina menahan dengan tangannya begitu saja. Tangannya berlumuran darah, sementara wanita asing itu tampak kaget karena Karina dapat menahannya. Begitu menyadari keberadaan Juna, wanita asing itu langsung melarikan diri. Juna tidak sempat mengejarnya karena terfokus pada luka di tangan Karina. Kini, selang satu jam kemudian, Bella berhasil diringkus dan dibawa ke kediaman keluarga Adimas. Tidak hanya Bella, Markus dan Siska ikut berada di sana. Serta Juna yang kelak akan dimintai keterangan. Karina
"Kebetulan, rapat malam ini ditunda karena ada kendala, Tuan. Tuan bisa kembali besok pagi." Jade memberitahu Adimas melalui sambungan telepon. "Baik. Maaf karena sudah menimbulkan keributan." Adimas menjawab. Suaranya terdengar lebih lirih dan letih. Terdapat jeda selama beberapa detik sebelum suara Jade, sekretarisnya, kembali terdengar. "Apakah semuanya baik-baik saja, Tuan?" Dia bertanya, tampak sungkan untuk mempertanyakan masalah pribadi seperti itu. "Ya. Semuanya baik-baik saja." Adimas mengusap wajahnya satu kali. "Syukurlah," katanya. Setelah sambungan telepon ditutup, pria itu mulai berjalan menuju kamarnya sendiri. Kini, ada satu orang pelayan pria dan seorang satpam yang berjaga di sekitar kamarnya.Adimas membuka pintu dan sosok pertama yang dia lihat adalah Karina. Sorot mata gadis itu terlihat jujur dan bening. Begitu bening hingga Adimas bisa dengan jelas perasaan bersalah di sana. Pandangan Adimas langsung tertuju pada telapak tangan kiri Karina yang diperban. "
"Apakah kau gila? Mengapa kau nekat melakukan hal berbahaya seperti itu?" sentak Markus dengan kesal. Ketiganya telah kembali ke kediaman Covey. Sepanjang jalan, tidak ada yang bersuara, bahkan kedua orang tuanya hanya membisu. Hingga Markus langsung mendamprat Bella begitu tiba di rumah mereka. "Sst, jangan membentak Bella seperti itu," ujar Siska, tidak terima putri bungsunya dibentak oleh sang ayah. Dia memandang ke arah Bella dengan mata penuh kecemasan, kemudian mengusap pipi gadis itu dengan penuh kasih sayang. "Bella pasti merasa sangat frustrasi dan tertekan sampai berani melakukan hal seperti ini," ujar Siska dengan lembut. Mendengarnya, Bella mengangguk dan menatap sang ibu dengan pandangan berkaca-kaca. Ia masih syok dan terombang-ambing dalam atmosfer penuh ketegangan di rumah keluarga Nelson. Bella sama sekali tidak menyangka ia akan disidang seperti itu. "Itu benar," isaknya dengan suara gemetar, "Aku sangat frustrasi sampai tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana
Entah sudah berapa lama Siska tidak kembali ke rumah besar itu. Semenjak menikah dengan Markus dan memiliki tiga anak, Siska memang jarang kembali ke rumah kedua orang tuanya. Rumah itu amat besar dan luas. Ayah Siska merupakan pengusaha sukses. Sebab itu, Siska sudah terbiasa hidup dalam keadaan berkecukupan. Namun, kali ini, dia menurunkan harga dirinya untuk menemui sang ayah. "Tumben sekali kamu datang," ujar sang Ayah, "Apa yang kamu butuhkan kali ini?" Dia langsung bertanya. Seakan bisa serta-merta menerka alasan kedatangan Siska. Benar, Siska memang hanya datang jika membutuhkan bantuan. "Bagaimana kabar, Ayah?" tanya Siska seraya memberikan satu buket buah yang telah ia siapkan. "Tidak perlu berbasa-basi," jawab Bernard, ayah Siska itu. Sudah banyak keriput di wajahnya. Namun, ia tidak terlihat setua orang lain pada usianya sekarang. "Katakan saja apa yang kamu butuhkan," lanjutnya. Siska tersenyum canggung, kemudian kembali berusaha meleburkan suasana. "Jangan sepert
"Dari mana saja kalian?" Ilona bertanya saat melihat Karina dan Adimas baru saja kembali. Pagi ini, ia terbangun dan mengetahui keduanya telah pergi. Padahal, Ilona sangat tahu jika Adimas libur. Kini, ia melihat keduanya turun dari mobil dan berjalan masuk. "Kami baru saja mencari anak." Karina yang menjawab dengan wajah berseri. "Eh, membuat." Dia membenarkan kata-katanya. Mendengar itu, Adimas menoleh ke arahnya dengan terkejut, begitu pula Ilona yang langsung membelalakkan mata ke arah sang putra. "Apa itu benar, Adimas?" sergahnya. Dia langsung melangkah maju dan langsung berniat menyerang sang putra. "Sudah Ibu bilang jangan sampai melakukan itu," sergah Ilona sembari terus menyerang bahu putranya, "Bagaimana jika kalian benar-benar memilikinya?!" "Tidak, Bu," Adimas membantah, tetapi sang ibu terus menyerang bahu pria itu. Sementara Karina hanya terdiam memperhatikan. "Kami baru saja dari bandara!" Adimas menjelaskan di tengah-tengah serangan itu dan Ilona seketika berhe
PLAAAKK Tepat sebelum bibir keduanya bersentuhan, sebuah tamparan mendarat di pipi Adimas. Kali ini, datangnya bukan dari Karina, tetapi dari diri Adimas sendiri. "Sadarlah!" sergahnya kepada dirinya sendiri, kemudian menampar pipinya berulang kali. Berharap hal itu dapat menghilangkan pikiran kotor itu dari kepalanya. Karina, yang sejak tadi terdiam seperti patung, seketika mengerjap dan memandang bingung ke arah Adimas. "...kenapa?" tanyanya. Bagaimana tidak bingung. Biasanya, Karina yang menampar pria itu, sekarang Adimas justru menyakiti dirinya sendiri. Adimas menggeleng. "Tidak apa-apa," jawabnya, kemudian beranjak berdiri, "Sepertinya, aku harus mandi agar pikiranku segar kembali."Setelah mengatakan itu, Adimas langsung melenggang ke kamar mandi dan Karina hanya memandangnya dengan penasaran. ***"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu, Tuan?" Jade bertanya. Dia menatap lurus ke arah Adimas. Kemarin, mereka baru saja libur, tetapi Adimas justru terlihat tidak baik pagi
Karina terbangun dengan tubuh yang kaku. Pandangannya tampak kosong dan pipinya memanas setiap kali mengingat perlakuan Adimas tadi malam. Tangannya terangkat untuk menyentuh bibirnya dengan insting naluriah. Masih segar di ingatannya bagaimana Adimas memperlakukannya dengan begitu lembut. Tiba-tiba gadis itu menggelengkan kepala. Ia menoleh ke samping dan mendapati Adimas masih terlelap. Tengkuknya bergidik seketika. Rupanya, seperti itu rasanya. Benar-benar aneh, pikir Karina. Adimas mulai menggeliat dan sayup-sayup matanya terbuka. Pria itu masih setengah sadar, tetapi langsung tersenyum saat menyadari keberadaan Karina di sisinya. "Kamu sudah bangun," sapanya hangat. Karina tidak menjawab. Bibirnya terkatup rapat seolah terkunci. Kini, duduk di sisi Adimas pun berhasil membuat jantungnya berdegup cepat. Gadis itu hanya merespons dengan anggukan. Berusaha menyembunyikan kegugupannya. Namun, Adimas bisa menyadari hal itu dengan cepat. Pria itu beranjak duduk dan memandang ke
Pikiran Siska menjadi terganggu setelah penemuan lipstik itu. Jika diingat-ingat, itu adalah lipstik yang sama yang pernah ditunjukkan Adimas kepadanya. Hal itu dia tanyakan setelah menjadi sopir Markus. ...mungkinkah, pria itu juga mendapati lipstik yang sama pada mobil Markus? Jika bukan milik dirinya atau Bella, lantas siapa pemilik lipstik itu?Pikiran Siska terus dipenuhi oleh pikiran-pikiran semacam itu. Selama ini, Siska memang tidak pernah memeriksa ponsel Markus atau mencurigai pria itu. Di matanya, Markus adalah suami yang baik dan juga ayah yang baik bagi Bella. Meski pria itu sedikit temperamental, tetapi Markus tidak pernah berkata kasar kepada Siska. Ditambah, Markus selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Mungkinkah... pria itu berselingkuh di belakangnya? Ting Lamunan Siska terganggu oleh bunyi notifikasi dari ponsel Markus. TIng Ting Bunyi itu terdengar lagi dua kali, disusul layar ponsel yang menyala. Markus memang sedang berada di kamar mandi, sementara pons
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki