Mark tidak hadir sampai kuliah berakhir. Begitu pula Chika. Ayana ingin sekali menghubungi pria itu, tetapi dia kembali berteguh pada perjanjian mereka untuk menangani urusan masing-masing. Hari itu hari Sabtu. Seharusnya, Ayana libur bekerja, tetapi ketua divisi memintanya untuk bekerja lembur hingga Ayana baru kembali menjelang sore. Ia menemukan mobil Mark sudah terparkir di halaman dekat air mancur. Dalam hati Ayana bertanya-tanya apakah Mark mengantar Chika pulang seperti kemarin. Gadis itu langsung menggelengkan kepala. Ia harus segera menyelesaikan thesisnya. Tak ada waktu untuk memikirkan pria itu. Ia hendak melenggang pergi ke kamarnya. Namun, tepat sebelum menaiki tangga, ia melihat Mark tengah duduk di meja makan. Wajahnya penuh luka dan dia berusaha membersihkannya dengan kotak P3K di depannya. Melihat itu, Ayana langsung tersenyum getir. Rupanya rumor itu benar. Mark-lah yang menolong Chika. Entah bagaimana caranya mereka bisa bertemu, Ayana tidak peduli. Lebih te
Rupanya tidak semudah itu. Mark mencoba tidak peduli dan bersikap masa bodoh kepada Ayana, tetapi ternyata tak semudah itu. “Mengapa kamu tidak diantar Pak Waryo hari ini?” Mark bertanya setengah berbisik. Keduanya tengah berada di perpustakaan kampus. Ya, Mark sampai ikut datang lebih pagi untuk mengikuti ritme Ayana. Namun, Mark masih menjaga rahasia hubungan mereka sehingga ia berbicara kepada Ayana dari jarak beberapa langkah. Gadis itu tengah memilah-milih buku. “Aku hanya ingin naik angkutan umum,” jawab Ayana. Matanya masih fokus menatap deretan judul buku di hadapannya. “Kan, sudah kubilang kau harus diantar olehnya.” Mark terdengar bersikeras dengan suara rendah. Ayana tak menjawab. Dia berusaha mengambil buku di rak bagian atas. Namun, tangannya tak kunjung sampai. Mark melirik ke kanan dan kiri, kemudian mendekati Ayana. Dia meraih buku yang diincar Ayana. Namun, rupanya ada Chika yang juga mencoba mengambil buku yang sama. “Ini—”Mark hendak memberikan kepada Ayan
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ayana dengan panik. Pikirannya seakan berhenti bekerja, ditambah keduanya yang dikejar waktu karena mereka sudah di jalan. Mark menarik napas panjang dan berusaha mengendalikan dirinya. "Mereka pasti akan mendamprat jika tahu keadaan kita. Pertama, kita harus memindahkan barang-barangmu," tutur Mark. Ayana lantas menganggukan kepala tanda setuju. Itu masalah paling krusial. Adimas pasti bisa menerka hubungan mereka jika tahu keduanya tidur di kamar yang terpisah. "Kalau begitu, aku akan memindahkan barangku," ucap Ayana, berniat melangkah ke kamarnya. Akan tetapi, Mark mencekal tangan gadis itu. "Kenapa? Kau bilang aku harus memindahkan barangku, 'kan?" tanya gadis itu, tidak mengerti dengan sikap Mark. "Biar Pak Ping yang melakukannya," tutur pria itu dengan suara berat, "Lebih baik kamu membersihkan diri," titahnya. Ayana tidak langsung beranjak. Untuk sesaat, pandangan gadis itu seakan terpaku pada iris hitam Mark. Untuk pertama k
BUGH Ayana refleks menendang kaki Mark tepat setelah pria itu mengatakannya. “Akh!” Mark menunduk untuk mengusap kakinya dan merintih kesakitan. Ayana berkedip cepat, terkejut dengan refleksnya sendiri. “A—aku akan mencari cara agar hal itu tidak terjadi!” ucapnya, kemudian bergegas memasuki kediaman pria itu. Meninggalkan Mark yang masih merintih kesakitan. “Shit,” gumamnya pelan. Sementara itu, Bik Dini terlihat terkejut saat memasuki kamarnya dan mendapati Pak Ping sudah tertidur di atas ranjang mereka. Ya, Bik Dini dan Pak Ping memang menyandang status suami istri. Mark lebih dahulu mengenal Pak Ping sebelum menerima Bik Dini menjadi kepala pelayan di rumah itu. “Pak, kamu tidak bantu mengembalikan barang-barang Nona Ayana lagi?” tanya Bik Dini seraya menepuk bahu suaminya. Pak Ping yang sudah setengah sadar itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu,” gumamnya, setengah meracau karena sudah hampir sampai ke alam mimpi. Lagi, Bik Dini menepuk bahu suaminya. Kali ini dengan
Chika memandang nomor kontak Mark berulang kali. Lampu kelap-kelip khas kelab malam memantul di sekitarnya, tetapi pandangan Chika terfokus pada layar ponselnya. Pria itu tidak memasang foto apa pun di profilnya dan Chika sudah mengirim pesan, tetapi tak ada balasan dari pria itu. “Kamu tidak bergabung, Chik?” tanya Joana, teman Chika yang seusia dengannya. Gadis cantik dengan rambut pirang itu baru saja selesai menari dengan yang lainnya ditemani alunan musik DJ. Namun, perhatian Joanna teralihkan kepada Chika yang sejak tadi hanya duduk di depan meja bartender. "Aku hanya ingin duduk di sini," ucap Chika, kemudian mematikan layar ponselnya. "Bagaimana kampus barumu?" tanya Joanna, ikut duduk di sisinya, "Cocktail saja," ucapnya pada bartender di depan mereka. "Tidak jauh berbeda," jawab Chika. Wanita itu terlihat menawan dengan busana lengan pendeknya, menampilkan kulit langsat yang terawat. "Yang benar?" goda Joanna, "Apakah ada pria yang berhasil menarik perhatianmu?" tanya
“Tumben kau berminat untuk ikut, Mark.” Cakra berkomentar seraya melihat sahabatnya sudah bergabung bersama mereka.Sebagian mahasiswa fakultas bisnis itu sudah berkumpul di bandara. Tidak terkecuali Mark. Pria yang biasanya enggan mengikuti acara semacam ini kini tampak sudah siap dalam busana kasual yang modis. Cakra masih ingat saat mereka menempuh S1 dahulu Mark bahkan melewatkan acara gathering kampus dan memilih tidur di rumah. “Demi nilai tambahan,” ucap Mark singkat. Ia mencuri-curi pandang ke sekitar dan berusaha menemukan Ayana di sekitar kerumunan. “Yakin, Bro?” Andreas bertanya seraya merangkul bahu sahabatnya. “Bukan karena Chika juga ikut perjalanan ini?” godanya. Cakra ikut terkekeh. “Benar juga. Dulu tidak ada Chika, jadi kau lebih memilih tidur. Sekarang berbeda.” Mark mengerutkan alis dengan tidak setuju. Heran dengan kedua temannya yang selalu mencomblangi dirinya dengan gadis itu. “Tuh, Mark, Chika datang!” ucap Cakra, berseru lirih. Seorang gadis berjalan m
Suasana kediaman Mark terasa lebih sunyi saat Ayana pulang bekerja. Biasanya, ada pria itu yang duduk di sofa. Entah sekadar menghabiskan waktu dan memainkan tabletnya ataupun sengaja untuk menunggu Ayana. Ya, menunggu dan siap untuk memulai perdebatan dengannya. Biasanya, ia dan Mark tak banyak bicara, tetapi entah mengapa kehadiran pria itu membawa pengaruh yang cukup besar. Kini, saat Mark tak ada, rumah itu terasa sangat sepi. Setelah selesai membersihkan diri, Ayana kembali ke meja makan untuk menikmati makan malam. Untuk mengisi kekosongan, ia membuka ponselnya dan justru menemukan berbagai foto perjalanan teman-teman kampusnya. Ayana mengembuskan napas berat. Bohong jika gadis itu tidak iri. Ayana belum pernah pergi jauh ke suatu tempat dan dia sangat penasaran bagaimana rasanya. Sekarang, mungkin Mark juga tengah makan ataupun berkumpul bersama teman-temannya. … atau menghabiskan waktu bersama Chika. Ayana langsung menggelengkan kepala, berusaha menghempas jauh-jauh pik
"Chika, teman yang lain sudah bersiap, kamu tidak ikut berkumpul?" Inara, salah satu teman Chika di kampus barunya, bertanya. Sejak tadi, gadis itu berada di kamarnya, menatap pada layar ponselnya dengan resah dan menunggu balasan dari Mark. "Tidak ada yang menarik," ucap Chika. Rasa antusiasnya sudah hilang sejak Mark kembali secara tiba-tiba. Semuanya menjadi amat membosankan bagi gadis itu. Inara hanya tersenyum. "Kita mau ke kelab di daerah sini. Katanya sangat bagus dan menarik. Lupakan saja Mark yang sedingin kulkas itu dan cari pria lain yang lebih tampan!" ucap Inara, tak tahan melihat Chika yang terus berharap. Padahal, sudah jelas jika selama ini tak ada siapa pun yang berani mendekati Mark. "Duluan saja," ucap Chika, "Aku masih ingin di kamar."Inara selesai memasang antingnya dan tampak modis dengan pakaiannya. Riasannya pun terlihat merah merona. "Kamu pandangi lima jam pun dia tidak akan meneleponmu," ucap Inara, kemudian beranjak pergi. Tiba-tiba Chika mulai bera
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki