"Chika, teman yang lain sudah bersiap, kamu tidak ikut berkumpul?" Inara, salah satu teman Chika di kampus barunya, bertanya. Sejak tadi, gadis itu berada di kamarnya, menatap pada layar ponselnya dengan resah dan menunggu balasan dari Mark. "Tidak ada yang menarik," ucap Chika. Rasa antusiasnya sudah hilang sejak Mark kembali secara tiba-tiba. Semuanya menjadi amat membosankan bagi gadis itu. Inara hanya tersenyum. "Kita mau ke kelab di daerah sini. Katanya sangat bagus dan menarik. Lupakan saja Mark yang sedingin kulkas itu dan cari pria lain yang lebih tampan!" ucap Inara, tak tahan melihat Chika yang terus berharap. Padahal, sudah jelas jika selama ini tak ada siapa pun yang berani mendekati Mark. "Duluan saja," ucap Chika, "Aku masih ingin di kamar."Inara selesai memasang antingnya dan tampak modis dengan pakaiannya. Riasannya pun terlihat merah merona. "Kamu pandangi lima jam pun dia tidak akan meneleponmu," ucap Inara, kemudian beranjak pergi. Tiba-tiba Chika mulai bera
Keduanya baru kembali menjelang sore. Untuk pertama kalinya, baik Mark maupun Ayana sama-sama kembali ke kamarnya dengan senyum di wajahnya. “Selamat malam,” ucap Ayana, tepat di ambang pintu kamarnya. “Beritahu aku jika terjadi sesuatu,” jawab Mark dengan senyum tipis di wajahnya. Ayana mengangguk dan mundur satu langkah sebelum menutup pintu. Tepat ketika pintu tertutup, Mark memejamkan mata dengan geram. Pada saat seperti ini, seharusnya ia menggendong Ayana ke kamar mereka dan melakukan hal-hal manis lainnya. Ia benar-benar menyesal karena membuat keduanya tidur di kamar yang terpisah sejak awal. Mark pun memasuki kamarnya dan membanting tubuhnya ke ranjang. Ia mengaktifkan ponselnya dan menemukan pesan dari Chika. Alih-alih membalasnya, Mark justru mengambil foto hasil USG tersebut dan mengirimkan kepada ketiga adiknya. “Calon penerus Abang. Cantik nggak?” Ketiga adiknya itu merespons dengan cepat. “Gilaaa, calon keluarga baru kita,” tutur Celine. “Sehat, kan, Bang? Se
Andreas dan Cakra paling menyadari sikap Mark yang menjadi aneh belakangan ini. Pria itu seperti tak bisa fokus pada diri dan kehidupannya sendiri. Karena itu, setelah kembali ke Indonesia, mereka setuju untuk mendatangi kediaman Mark langsung. Sayangnya, Mark sudah tidak tinggal bersama keluarganya—satu hal yang membuat mereka tambah heran. Akhirnya, mereka berhasil mendapatkan alamat terbaru Mark dari sang ibu dan langsung meluncur ke sana. Andreas dan Mark merasa heran karena tahu Mark tinggal seorang diri. Kini, keduanya dibuat makin terkejut saat melihat Ayana berada di sana. Ayana yang tengah menenggak segelas air untuk membasahi tenggorokannya itu seketika tersedak. Mark pun sontak berdiri dengan terkejut. "Ba—bagaimana bisa kalian tiba di sini?" tanya pria itu, terdengar gugup. "Seharusnya kami yang bertanya," ucap Andreas dengan tidak percaya, "Mengapa Ayana bisa berada di sini? Apa yang kalian lakukan?" Andreas dan Cakra kompak menjadikan Ayana sebagai objek pengam
Chika ingin sekali menghantam punggung Ayana dengan tas di tangannya. Belum pernah Chika merasa tersaingi oleh wanita lain. Terlebih, wanita dengan standar jauh di bawahnya. Hal itu membuat emosi Chika menjadi tidak terkendali."Mengapa Chika mengikuti Ayana?" Andreas bertanya kepada dua temannya yang lain. Sejak tadi, ketiganya tengah berdiri berkumpul di dekat ruang kuliah. Beberapa mahasiswi memandang kagum pada ketiganya yang terlihat kompak, tetapi mereka tak menghiraukannya. Pandangan mereka langsung tertuju pada Ayana saat gadis itu datang dan mereka merasa aneh saat Chika mengikutinya. "Mungkinkah dia ingin melakukan sesuatu?" tanya Cakra. Mark masih membungkam. Alisnya mengerut saat ia menajamkan pandangannya. Sejak tadi, Chika memang mengikuti Ayana dengan raut tak senang. Ketiganya mulai waspada saat tahu-tahu Chika mengarahkan tangannya pada rambut Ayana. Ayana lantas menoleh dengan waspada saat merasa disentuh dari belakang. Dia terkejut mendapati Chika di sana. "
Mark berkata pria itu harus menghadiri sebuah pertemuan yang dihadiri pebisnis besar manca-Asia. Sebagai mahasiswa S2 jurusan bisnis, Ayana tahu betapa pentingnya rapat itu. Ia bisa membayangkan betapa hebatnya bisa menghadiri acara semacam itu. Bagi Ayana, ia berusaha belasan tahun pun belum tentu berhasil.Ayana tahu Mark pasti akan menyombong seperti biasa. Oleh karena itu, ia sengaja menunggu Mark kembali. Ayana tak sabar mendengar seluruh cerita yang akan disampaikan Mark. Namun, menit demi menit dan jam demi jam telah berlalu, tetapi Mark tak juga kembali. Ayana berniat mengirim pesan kepadanya, tetapi ia justru melihat foto terbaru pada akun sosial media Chika. Di sana, terlihat jelas gambar Mark tengah berbincang dengan wanita paruh baya yang mirip Chika. Entah mengapa, dada Ayana terasa sesak dan berat untuk bernapas. Ia refleks menaruh ponsel tersebut, kemudian tersenyum getir. … sebenarnya, apa yang sedang ia lakukan? Tanpa berpikir panjang, Ayana membereskan semua b
Ayana tidak menyangka jika kata-kata itu berhasil meluncur dari bibirnya. Tanpa menangis ataupun terdengar goyah. Padahal, jantungnya sudah seperti tersayat saat mengatakannya. Sementara itu, manik hitam Mark seolah meredup seketika. Entah mengapa, ia merasa jantungnya seperti diremas kuat-kuat hingga ia kesulitan bernapas. Detik demi detik berlalu, keduanya hanya terjebak dalam keheningan yang canggung. Ayana menelan saliva dengan gugup. “Aku harus pergi,” katanya, kemudian beranjak pergi. Melewati Mark begitu saja. Kelima jari Mark refleks mengepal dengan geram. Kata-kata Ayana menusuk jantungnya seperti panah dan kini kakinya terasa amat berat untuk digerakkan. Akhirnya, Mark berpaling dan berniat mengejar Ayana, tetapi seseorang sudah berdiri dan menghalangi jalannya. “Chika,” gumam Mark dengan suara rendah. Nadanya hampir terdengar geram. Chika bergantian menatap ke arah punggung Ayana yang sudah jauh dan Mark dengan penasaran. “Apakah ada masalah?” tanyanya, bersikap s
Gila! Kepala Ayana pusing dan napasnya tersengal begitu mobil mereka berhenti di halaman depan kediaman keduanya. Tangan Ayana refleks menyentuh dadanya sebelah kiri. Jantungnya berdegup dengan ketukan amat cepat. Ayana mengira dia akan mati di perjalanan tadi. “Turun.” Mark memerintah dengan dingin. “A—apa?” Ayana bertanya dengan alis mengerut. Mark baru saja membawanya dalam kecepatan paling tinggi dalam hidup Ayana dan tiba-tiba pria itu menyuruhnya keluar tanpa menyediakan waktu untuk mengendalikan diri.Tanpa kata, Mark menekan tombol yang secara otomatis membuka pintu di sisi Ayana. “Turun dari mobilku,” ucap Mark lagi. Pria itu sudah kembali pada sikap arogannya. Tanpa membantah, Ayana beranjak turun dari mobil sport itu. Begitu ia melangkah mundur, Mark menutup pintunya, bermanuver dengan sengit untuk memutar, kemudian meluncur pergi menuju gerbang. Ayana mendengkus dan bergidik di tempatnya berdiri. Mark saat marah benar-benar menyeramkan. Ia hendak beranjak masuk, t
Tak hanya berisikan anggota yang cukup elit, tetapi kelompok Mark pun amat sesuai dengan gosip hangat yang tengah beredar di kampus belakangan ini. Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang berani untuk membantah. "Batas tugas dikumpulkan akhir minggu ini. Sekian, silakan apabila ada yang hendak ditanyakan," tutur dosen itu, kemudian kembali duduk di kursinya. Daripada pertanyaan, Ayana lebih mengharapkan perubahan. Ia telah mendengar nama-nama satu kelompoknya dan hanya bisa memasang wajah pias. Seakan tak cukup buruk berada di kelompok yang sama dengan suaminya, kini ia pun terjebak dengan wanita yang tergila-gila dengan suaminya. Ayana tak bisa mengharapkan apa pun selain nilai dan poinnya yang tidak menurun pada materi ini. Begitu kuliah selesai, keempatnya berkumpul di koridor dekat pintu ruang kuliah mereka. Berbeda dengan kelompok lain yang langsung membaur dan saling merangkul, kelompok Mark amat sunyi dan canggung. Setelah berkumpul pun keempatnya hanya terdiam. Wajah
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki