Mata Karina seketika berubah terkejut sekaligus khawatir melihat bekas-bekas luka di tubuh Adimas. Sebelum menghilang, tubuh atletis dengan otot-otot yang kokoh itu terlihat bersih. Kini, sudah banyak luka yang tercetak di sana. Mulai dari bekas goresan, lebam, bahkan bekas jahitan. Adimas sudah seperti tentara yang baru kembali dari medan perang. Adimas terlihat sama terkejutnya. Dia lupa jika masih ada banyak luka di tubuhnya. “Bukan apa-apa,” jawabnya. Dia cepat-cepat hendak kembali mengenakan kausnya, tetapi Karina langsung menghalangi tangan pria itu. Naluri kuatnya sebagai wanita dan seorang istri telanjur aktif. Dia yang semula sedikit gugup kini langsung melangkah lebih dekat. “Mas kenapa? Dari mana semua luka ini?” tanyanya. Nada suara wanita itu terdengar cemas sekaligus menuntut. Adimas terlihat sedikit bimbang. Tidak mungkin dia menjelaskan semua yang telah ia lalui. Adimas tidak ingin Karina mengetahuinya. Cukuplah wanita itu tahu jika ia sudah kembali dengan selama
Itu adalah kali pertama Bella menghabiskan malam bersama seorang pria. Wanita itu langsung panik mendapati dirinya sudah tidak terbalut oleh kain apa pun saat terbangun. Dia menoleh ke samping dan lebih terperanjat melihat Jade turut terlelap di sisinya. Tanpa mengenakan apa pun. 'Aku pasti sudah gila,' gumam Bella. Tanpa berpikir panjang, wanita itu langsung mengenakan pakaiannya dan bergegas pergi. Ia merasa sangat malu dan satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah melarikan diri dari Jade.Apa yang harus dia lakukan jika Jade terbangun nanti? Seluruh tubuh Bella sudah bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya. Oleh sebab itu, gadis itu pergi meninggalkan apartemen Jade tanpa berpikir dua kali. Kini, dia menyesalinya. Bella baru teringat jika ia tidak memiliki tempat tujuan apa pun. Ke rumah Karina, tidak mungkin. Ke rumah sang ibu, Bella belum siap untuk menghadapinya. Ke hotel apalagi. Bella tidak yakin uangnya cukup. Ditambah, ia justru membawa ponsel lamanya yang baterai
Bella tidak tahu apa motif Jade. Pria itu benar-benar menarik tangan Bella dan mengajaknya kembali memasuki restoran tersebut. Amel dan Denis sendiri sudah siap beranjak masuk ke dalam ruangan mereka di sudut restoran, tetapi mereka dikejutkan oleh Bella yang kembali memasuki tempat ini. Kali ini, Bella tidak sendirian. Dia bersama seorang pria tampan dengan pakaian kasual. Ya, Jade memang hanya berpakaian sekenanya. Kaus kasual dan celana pendek. Namun, penampilan itu dan kulit bersihnya menampilkan kesan orang berada. Jade mengajak Bella duduk di salah satu meja tanpa ragu. Salah seorang pelayan mendekati mereka. “Bawakan menu kalian,” titah Jade. Terdengar ramah sekaligus percaya diri. Dengan segan, Amel berjalan mendekat. “Bella, siapa dia?” tanya wanita itu. Bella melirik ke arah Jade. Tiba-tiba wanita itu kebingungan untuk menjawab. “Dia ….” “Aku adalah kekasihnya.” Jade menyela dengan percaya diri. Tanpa ragu, pria itu mengulurkan tangannya dan merangkul Bella. “Maaf,
Seakan belum cukup mengeluarkan sejumlah uang dari rekeningnya hari ini, Jade mengajak Bella ke sebuah butik yang terkenal menjual pakaian-pakaian bermerk dengan kualitas tinggi. Keadaan benar-benar berbalik. Beberapa hari lalu, Bella yang mengajak Jade ke sebuah toko pakaian pria. Sekarang, Jade melakukan hal yang sama untuk Bella. “Ambil apa pun yang menurutmu bagus dan cocok untukmu.” Jade memberitahu saat mereka tiba di dalam.Bella mengedarkan pandangan ke sekeliling, terlihat ragu, kemudian wanita itu menggeleng. “Aku memiliki banyak pakaian di rumah,” tuturnya. “Maksudmu, yang ada di kosanmu? Itu tidak—” Jade hampir saja keceplosan menyebutkan itu tidak bagus. Namun, ia tidak ingin membuat Bella tersinggung. Cepat-cepat ia memutar otak untuk mencari kata lain. “Itu tidak masuk hitungan. Sekarang, pilihlah.” Dia melanjutkan. Memberikan gestur seakan ia bisa membelikan apa pun yang Bella pilih dari toko ini. Bella masih belum beranjak. Dia memandang ke arah Jade dengan leka
Adimas sedang memeriksa laporan pengelolaan bisnisnya di bawah pimpinan Markus saat telepon itu datang. Telepon dari seorang pengantar paket untuk Adimas. Selang beberapa menit, seorang satpam pun menghampiri kediaman itu. Karina baru saja turun dari kamarnya dan melihat Adimas berjalan masuk sembari membawa sebuah paket. “Apa itu?” Karina bertanya dengan penasaran. Dia terlihat santai. Malam itu memang berlalu dengan tenang. Bella pun sudah kembali. Sekarang, wanita itu tengah bermain bersama Mark di lantai atas. “Paket.” Adimas menjawab dan kembali duduk di sofa.Alih-alih duduk di sisi Adimas, Karina memilih berdiri dan bersandar pada sofa yang diduduki pria itu. Ia mengamati Adimas saat pria itu mulai membuka isi paketnya. Perhatian Karina tersita pada alamat pengirim yang rupanya dari Australia. “Sanders.” Karina membaca nama pengirim paket itu. “Siapa dia?” “Dia adalah pria yang sudah menyelamatkanku.” Adimas menjawab. Paket itu berhasil dilepaskan dari pembungkusnya. Adi
“Apakah semuanya sudah siap, Bella?” Karina bertanya sembari menghampiri kamar Bella.Ya, semenjak Bella datang, salah satu kamar di kediaman Adimas telah disulap menjadi kamar untuk Bella. Kamar itu terlihat rapi dan Bella menempatinya dengan baik. Bahkan, sekarang kamar itu cenderung kosong. Bella telah memindahkan baju dan beberapa barangnya ke dalam koper. Tampak siap untuk pergi. “Sudah, Kak,” jawab wanita itu, “Padahal aku hanya membawa beberapa baju, tapi saat pulang jadi membawa banyak barang.” Itu karena Karina membelikannya banyak barang dan busana. Terlebih, saat tahu Bella akan kembali, Karina memberinya lebih banyak barang. Dari Bella yang semula hanya membawa satu tas, kini harus menyeret dua koper. “Tidak apa-apa,” ucap Karina sembari berjalan masuk. Dia duduk di tepi ranjang. Tatapannya seakan tersayat melihat sang adik sudah bersiap pergi jauh lagi darinya. “Apakah kamu yakin tidak akan tinggal di sini saja?” Karina bertanya. “Pengalaman kerja kamu bagus, Bella.
“Celana dalamnya mau yang isi tiga atau lima, Bu?” Seorang wanita yang berprofesi sebagai kasir itu bertanya. Sekarang, Karina tengah berada di sebuah mal pasaraya. Setelah Bella pergi, perasaan Karina menjadi sedikit muram. Akan tetapi, wanita itu dituntut untuk tetap melakukan tugas rumah tangganya. Apalagi, Adimas sudah kembali sekarang. Ada banyak keperluan yang ia beli. Karena itu, setelah mengantar Bella, Karina memutuskan untuk mulai berbelanja. Ia membawa serta Mark dan ditemani oleh seorang pengasuh. “Isi lima boleh,” ucap wanita itu. “Baiklah. Totalnya menjadi satu juta, Bu.” Dengan santai, Karina menyodorkan kartu hitam kepadanya. Black Card itu adalah milik Adimas yang diberikan kepadanya setelah Adimas menghilang. Sampai sekarang, Karina masih memegangnya. “Mama mauuu. Mama mawuuu.” Mark mengoceh. Bocah yang sekarang menginjak usia satu setengah tahun itu tampak nyaman dalam dekapan Karina. Tangannya menggapai-gapai pada kotak berisi celana dalam yang dipegang ka
Tiga jam berlalu. Akan tetapi, kamar ruang operasi itu belum juga terbuka. Bella masih setia menunggu. Matanya yang sembab dan lelah menatap penuh harap pada pintu aluminium itu. Di sisinya, ada Karina dan Adimas yang ikut menunggu. Karina memandang kepada sang adik dengan cemas.Sejak tadi, ia sudah mencoba menawarkan makan dan minum, tetapi Bella selalu menolaknya. Karina tahu wanita itu pasti syok. Namun, ia pun mengkhawatirkan kondisi Bella. Wanita itu terlihat benar-benar patah dan menyesal. Jangankan makan dan minum, untuk bernapas pun Bella merasa tidak pantas. Batinnya diliputi rasa bersalah. Jade, harus mendapatkan nasib seperti ini karena dirinya. Bagaimana mungkin Bella bisa bernapas dengan tenang sementara Jade sekarat di dalam sana? Wanita itu tidak akan pernah bisa. Tak lama, seorang petugas rumah sakit menghampiri mereka. “Barang-barang pasien sudah diamankan sebelumnya. Apakah kalian ingin melihatnya?” Dia memberitahu. Adimas, Karina, dan Bella saling bertukar
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki