Napas Ayana seakan tercekat di lehernya begitu membaca judul dokumen yang dicetak tebal. Kebahagiaan yang sebelumnya ia rasakan seolah menghilang begitu saja.“Ini ….”“Baca sampai habis,” titah Mark dengan suara dingin. Akhirnya, Ayana melepaskan sampul cokelat itu dan membaca keseluruhan tulisan yang tercetak di sana. Benar-benar tidak masuk akal.Di sana, dengan jelas dikatakan bahwa mereka akan bercerai tepat setahun setelah mereka menikah. Ayana akan diberikan uang kompensasi sebesar satu milyar sebagai gantinya.Selain itu, ada juga poin persyaratan yang mengharuskan mereka berpura-pura mesra di depan keluarga masing-masing. Di poin lainnya, Mark membuat peraturan untuk tidak saling mengenal di kampus. “Kita akan bercerai, tetapi berpura-pura di depan orang tua dan juga bersikap tak kenal di kampus,” ucap Mark. “Bagaimanapun, pernikahan kita tidak akan berjalan dengan normal. Aku ingin menikahi wanita yang tepat, dan itu bukan dirimu.” Suara Mark terdengar dingin dan terasa
Tatapan Mark dan Ayana bertemu, tetapi tidak ada emosi apa pun di sana. Mereka terlihat dingin seperti orang asing.Dia sudah memenuhi permintaan Mark untuk bersikap tak saling mengenal di lingkungan kampus. “Aku tidak mengenalnya,” jawab Ayana, "Tidak mungkin aku mengenal orang berpikiran pendek seperti pria itu." Ayana menambahkan. Nada suaranya terdengar penuh dendam dan bibirnya tertarik ke samping membentuk senyum miring. Jika Mark berpikir Ayana akan langsung menurutinya begitu saja, maka pria itu salah. Jelas dia akan melawan, dengan cara apa pun yang bisa dia lakukan.Mendengar itu, seketika ruangan menjadi hening. Semua orang memandang ke arah Ayana dengan tidak percaya. Terlebih Mark yang kini membelalakkan mata ke arahnya. Selama ini, Mark menjadi salah satu mahasiswa elit dan eksklusif. Semua orang bersikap segan kepadanya dan ini adalah penghinaan pertama yang Mark dapatkan. Ia menatap tajam kepada Ayana. Gadis itu jelas sengaja menyulut emosinya. "Kau …." Mark me
Dalam hati, Ayana merutuki dirinya yang tak memeriksa wajah pria itu terlebih dahulu. Sejak awal ia memasuki ruangan, pria di hadapannya menunduk dan fokus membaca berkas di depannya hingga Ayana hanya bisa mengamati rambut hitamnya.Ia sama sekali tak menyangka jika CEO perusahaan ini adalah ayah mertuanya sendiri. "Apa yang kau lakukan di sini?" Adimas langsung berdiri dan bertanya. Ayana berkedip satu kali, kemudian cepat-cepat menyembunyikan map cokelat itu ke belakang punggungnya. "Aku … aku ingin menemui seseorang di sini," tuturnya, "Sepertinya, aku salah ruangan. Maafkan aku."Ayana menganggukkan kepala dan berniat langsung pergi dari sana. Ia telah menolak tawaran Adimas kemarin. Entah mengapa, Ayana merasa malu jika tertangkap basah tengah mencari pekerjaan ke sana kemari. "Tunggu." Adimas kembali bersuara dan tubuh Ayana membeku seketika. Dia memutar tubuhnya menghadap Ayana dan berkas itu kembali ia sembunyikan. "A—ada apa?" Dia bertanya dengan nada sopan sekaligus
Setiap kali terbangun di kediaman Mark, Ayana selalu mengembuskan napas panjang. Memang, kediaman itu mewah dan nyaman. Namun, Ayana selalu teringat dengan ayah mertuanya yang harus menanggung semua itu.Ia bangun dan segera bersiap seperti biasa. Ia masak dan bersiap pergi ke kampus. Saat Ayana kembali turun, Mark sudah duduk di meja makan. Suasana hati Ayana kembali menjadi buruk. Namun, ia tak bisa memungkiri wajah Mark yang benar-benar terlihat tampan meski baru bangun tidur. “Tumben,” gumam Ayana dalam hati. Biasanya, pria itu masih terlelap saat Ayana berangkat. Namun, kali ini dia tengah sarapan. Penampilannya sudah rapi dan tampak siap untuk berangkat. Namun, Ayana tak peduli dan melenggang pergi begitu saja. “Mau ke mana kamu?” tanya pria itu dengan suara berat. Meski enggan, Ayana menghentikan langkahnya. “Ke mana lagi? Ke kampus,” jawab Ayana dengan senang tak senang. Mark menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu menaruh tisu bekas tersebut di dekat piring kotornya.
Mark berjengit kaget saat gelas di sisinya jatuh dan pecah karena tersenggol sikunya. Pria itu segera bangkit. "Maaf," ucapnya. "Tidak apa-apa, Tuan. Kami akan segera membereskannya," ucap bartender yang sejak tadi sibuk di seberang mejanya. Wajah Mark sedikit tegang. Bukan karena gelas tersebut, tetapi karena gelas itu pecah saat ia memikirkan Ayana. "Sudahlah, Bro. Duduk santai saja. Kenapa tiba-tiba kau jadi tegang begini?" Andreas yang duduk di sisinya berusaha mencairkan suasana. Sepulang dari perkuliahan, tiga pria itu setuju untuk berkumpul di salah satu bar mewah langganan mereka. Tiga pria itu adalah Mark, Andreas, dan Cakra. Ketiganya digadang-gadang sebagai tiga pria paling populer dan tampan di kampus. Selain karena latar belakang keluarga yang tidak main-main, juga karena paras ketiganya yang nyaris sempurna. Kali ini pun, terhitung belum dua puluh menit mereka duduk dan sudah banyak wanita yang melirik dengan tertarik."Sepertinya, di mana-mana wanita selalu tertar
Tak ada jawaban. Ayana coba memanggil lagi. Namun, hasilnya nihil. Nomor itu tetap tak tersambung. Tampaknya, ibunya sudah mengganti nomor lagi untuk kesekian kalinya. Selalu. Tiap kali Ayana berhasil mendapatkan nomor sang ibu dan mencoba menghubunginya, ibunya akan memblokir nomornya. Gadis itu mengembuskan napas panjang. "Sebenarnya, Ibu di mana?" gumam gadis itu dengan lirih. ******"Baik, Tuan. Aku akan mencoba mencarinya." Demikian balasan yang Mark dapat dari sekretaris ayahnya. Ia baru saja memintanya untuk mencari tahu lebih banyak tentang ibu Ayana. Tepat setelah Mark mematikan ponselnya, Ayana selesai menuruni tangga. Dia sudah membawa tas di punggungnya. "Tepat sekali," ucap Mark. Dia menyeka sudut bibirnya dan menaruh tisu itu sembarangan. "Sama seperti kemarin, bereskan ini dan seluruh rumah sebelum berangkat," titahnya. Ayana mengembuskan napas panjang. Dia menaruh tasnya di salah satu kursi, kemudian mulai membersihkan piring bekas makan Mark. Meski Ayana s
Sebelum pergi ke tempatnya bekerja, Ayana menyempatkan diri untuk mendatangi lembaga bantuan hukum. Ia ingin segera menyelesaikan poin-poin perjanjian perceraiannya. Awalnya, Ayana ingin menyelesaikannya seorang diri. Namun, Ayana telah memikirkannya cukup lama dan ia tak bisa merelakan anaknya begitu saja jika ia benar hamil. Oleh sebab itu, akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan profesional. Dia sudah berada di depan kantor tempat bantuan hukum pilihannya dan bersiap masuk. Tubuhnya berjengit kaget saat seseorang mengetuk bahunya dua kali. Ayana menoleh dan terkejut mendapati pria di hadapannya. "Kak Dean?" Gadis itu mengerut. "Apa yang Kakak lakukan di sini?" Ya, berdiri di hadapannya adalah Dean yang baru saja Ayana kenal kemarin. Pria itu mengenakan kemeja kerja yang dibalut jas hitam seperti biasa, tanda ia masih terikat dengan rutinitas pekerjaannya. "Aku baru saja bertemu dengan seseorang," jawabnya, kemudian memandang Ayana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gad
“Anda yakin tidak akan memberikan keringanan, Tuan Muda?” tanya Pak Ping, salah satu pelayan pria di kediaman Mark. Keduanya tengah berada di balkon kamar Mark. Dari tempat itu, ia bisa melihat langsung Ayana yang tengah menginjak-injak gorden itu dengan kaki telanjang. “Sekarang sudah malam, Tuan Muda, dia bisa saja masuk angin—”“Jika ingin membantahku, lebih baik jangan di sini, Pak Ping.” Mark menyela. Rahangnya masih terlihat tegang karena kesal. Bukan karena ia harus mengganti ban mobilnya yang berharga puluhan juta. Mark jelas mampu menanggungnya. Namun, fakta bahwa Ayana sama sekali tak memikirkan keselamatannya benar-benar membuat pikiran Mark berkecamuk. “Itu adalah hukuman untuknya. Aku tidak akan mengubahnya dan jangan ada satu pun yang membantunya jika tidak mau aku pecat saat itu juga!” ancam Mark dengan nada kesal. Mendengar itu, Pak Ping tak mampu berkilah lebih jauh. Dia hanya membungkam dan saat itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari sekretaris ayahnya. “Aku
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki