Sebelum pergi ke tempatnya bekerja, Ayana menyempatkan diri untuk mendatangi lembaga bantuan hukum. Ia ingin segera menyelesaikan poin-poin perjanjian perceraiannya. Awalnya, Ayana ingin menyelesaikannya seorang diri. Namun, Ayana telah memikirkannya cukup lama dan ia tak bisa merelakan anaknya begitu saja jika ia benar hamil. Oleh sebab itu, akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan profesional. Dia sudah berada di depan kantor tempat bantuan hukum pilihannya dan bersiap masuk. Tubuhnya berjengit kaget saat seseorang mengetuk bahunya dua kali. Ayana menoleh dan terkejut mendapati pria di hadapannya. "Kak Dean?" Gadis itu mengerut. "Apa yang Kakak lakukan di sini?" Ya, berdiri di hadapannya adalah Dean yang baru saja Ayana kenal kemarin. Pria itu mengenakan kemeja kerja yang dibalut jas hitam seperti biasa, tanda ia masih terikat dengan rutinitas pekerjaannya. "Aku baru saja bertemu dengan seseorang," jawabnya, kemudian memandang Ayana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gad
“Anda yakin tidak akan memberikan keringanan, Tuan Muda?” tanya Pak Ping, salah satu pelayan pria di kediaman Mark. Keduanya tengah berada di balkon kamar Mark. Dari tempat itu, ia bisa melihat langsung Ayana yang tengah menginjak-injak gorden itu dengan kaki telanjang. “Sekarang sudah malam, Tuan Muda, dia bisa saja masuk angin—”“Jika ingin membantahku, lebih baik jangan di sini, Pak Ping.” Mark menyela. Rahangnya masih terlihat tegang karena kesal. Bukan karena ia harus mengganti ban mobilnya yang berharga puluhan juta. Mark jelas mampu menanggungnya. Namun, fakta bahwa Ayana sama sekali tak memikirkan keselamatannya benar-benar membuat pikiran Mark berkecamuk. “Itu adalah hukuman untuknya. Aku tidak akan mengubahnya dan jangan ada satu pun yang membantunya jika tidak mau aku pecat saat itu juga!” ancam Mark dengan nada kesal. Mendengar itu, Pak Ping tak mampu berkilah lebih jauh. Dia hanya membungkam dan saat itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari sekretaris ayahnya. “Aku
"Hei, bangunlah!" Mark berseru kepada Ayana yang masih terlelap meski mobil mereka sudah berhenti.Gadis itu tidak berkutik. "Orang seperti itu biasanya harus disentuh dulu, Tuan." Sopir mereka memberi saran. … disentuh? Alis Mark sontak menukik tajam. Ia memandang Ayana dengan sorot heran. Gadis itu terlihat jauh lebih cantik dan tentu membuat laki-laki lebih berminat untuk menyentuhnya. Namun, hal itu tak berlaku bagi Mark. Dia sudah bersumpah tidak akan menyentuh Ayana. "Hei! Bangunlah!" ucap Mark. Dia mulai menyentuh lengan gadis itu dengan sebuah kertas yang digulung-gulung. "Bangun atau aku akan membuangmu keluar dari—"Ucapan Mark terhenti saat perlahan kelopak mata Ayana terbuka. Matanya terlihat sayu, tetapi jernih hingga seakan memenjarakan Mark. "Apakah kau tidak tahu cara membangunkan orang dengan benar?" Ayana sedikit memprotes seraya mengusap lengannya. "Kamu yang tidur seperti zombie!" balas Mark, "Cepat turun! Yang lain sudah menunggu."Akhirnya, mereka keluar d
Semuanya terasa berbeda setelah perjanjian itu ditandatangani. Mark tahu ia tidak akan selamanya terjebak dengan Ayana dan hal itu melegakan perasaannya. Begitu Mark terbangun, keadaan sangat sunyi. Semenjak ingin memberikan hukuman kepada Ayana, Mark selalu bangun lebih pagi. Begitu pula kali ini. Akan tetapi, saat Mark turun, keadaan rumah sudah sangat rapi dan bersih.“Apakah Ayana yang membersihkan semua ini, Bik?” tanya Mark penasaran. Rasanya tidak mungkin Ayana yang melakukannya. Pukul berapa gadis itu bangun hingga sanggup melakukan semua pekerjaan ini? Akan tetapi, pelayan itu mengangguk membenarkan. “Dia sedang hamil, bagaimana bisa kalian membiarkannya melakukan pekerjaan ini?” Mark tiba-tiba memprotes. Bik Darti sedikit kaget mendengar jawaban Mark. “Maaf, Tuan. Nona bangun pagi-pagi sekali, Tuan, sebab saat saya bangun rumah sudah rapi, jadi saya tak bisa mencegahnya,” jawab Bik Darti, mencoba menjelaskan keadaannya. Di samping itu, belum ada satu pun pelayan yang
"Halo, Pak Ping, apakah Ayana ada di sana?" Mark bertanya melalui sambungan telepon sembari berjalan cepat menuju mobil sport-nya. "Tidak, Tuan Muda, Nona belum kembali," jawab suara di seberang telepon. TutPanggilan telepon langsung diputus secara sepihak oleh Mark. Dia memukul kemudi di depannya dengan jengkel. "Gadis itu selalu saja mencari masalah," gerutunya. Tepat sebelum Mark memundurkan mobilnya, ponselnya berdering tanda pesan masuk. "Aku langsung pergi bekerja." Begitu jawaban dari Ayana. Singkat dan padat. Ia tak tahu Mark sudah ke sana kemari seperti orang gila karena dirinya. ****** Evelyn baru saja kembali dari kampusnya dan terkejut mendapati Mark sudah duduk di sofa ruang tamu. Setelah abangnya itu menikah, aneh melihat Mark berada di rumah itu. Kini, Mark menggerakkan kakinya dengan tidak sabar. "Abang," sapa Evelyn seraya berjalan masuk. Mendengar suara itu, Mark langsung terbangun. Dia terlihat sedikit panik, tetapi alisnya langsung mengerut saat memand
Mark sengaja membuat perjanjian itu agar pikirannya menjadi lebih tenang. Dia pun tetap bisa mewujudkan impiannya. Namun, entah mengapa, pikirannya justru terus dipenuhi oleh Ayana semenjak mereka menandatangani perjanjian itu. Kali ini pun, Mark nyaris terjaga sepanjang malam. Dia sudah mencoba segala posisi. Pun telah berpindah dari sofa ke ranjang dan sebaliknya, tetapi matanya tak kunjung terpejam. Ia baru bisa tertidur menjelang subuh dan segera bangun saat teringat akan tujuannya. Kepala pria itu masih terasa berat karena baru tertidur dua jam, tetapi Mark memaksakan diri untuk turun dari kamarnya. Kemarin, ia telah memerintahkan Ayana untuk tak melakukan pekerjaan rumah apa pun. Namun, sesuai dugaan, gadis itu tak menurutinya sedikit pun. Saat Mark turun, dia melihat Ayana tengah mengelap meja dapur hingga mengkilat. Dia hendak berlanjut mencuci piring, tetapi tangan Mark menahan tangannya dengan erat. “Sudah kubilang jangan melakukan ini,” ucap Mark dengan kesal. Ayana
Pikiran Mark menjadi jauh lebih ringan setelah berhasil membuat Ayana tak berkutik. Tak lama kemudian, mobil pria itu memasuki parkiran. Dia berjalan ringan, tak sabar ingin melihat Ayana yang sudah datang lebih awal. “Bro!” Andreas memanggil dan merangkul pria itu dengan akrab. Mark refleks melepaskan rangkulan pria itu. Mereka semua sudah tahu jika Mark tak senang disentuh, tetapi selalu melakukan itu untuk menggodanya. “Kau sudah melihat berita terbaru? Ayana benar-benar membuatku kagum.” Andreas berdecak dan menunjukkan raut mencurigakan. Makna 'kagum' menurut Andreas biasanya tidak wajar. Alis Mark mengerut bingung. “Berita apa?” “Kau belum mengetahuinya?” Andreas cepat-cepat mengeluarkan ponsel. “Lihat ini. Ternyata benar dugaanku. Ayana benar-benar hamil!” sergah Andreas. Mark memandang layar ponsel sahabatnya itu dengan alis mengerut. Sedetik kemudian, matanya membelalak melihat foto syur Ayana bersama seorang pria yang tidak ia kenali. “Kau ingat dia pernah menghabis
Pikiran Mark terus tertuju pada Ayana. Bagaimana bisa orang-orang di kampus ini tahu? Apakah karena Ayana mual-mual kemarin? Atau, mungkinkah ada orang yang mengetahui hal ini? Dan lagi, untuk apa Yudith memanggil gadis itu?Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi kepala Mark. “Mark? Hei, Mark!” Berulang kali, Andreas memanggil pria di sisinya. Sahabatnya itu tenggelam dalam lamunan. Akhirnya, dia menyenggol lengan Mark dan membuat pria itu terbangun dari lamunan. Mark berkedip satu kali, kemudian menoleh pada sahabatnya. “Mengapa kau melamun?” tanya Andreas. Dia menunjukkan senyum mencurigakan. “Ah, aku tahu, kau pasti sedang mencari cara untuk mendekati gadis itu.” Alis Mark mengerut. “Gadis itu?” “Dia.” Andreas menuding ke arah depan dengan dagunya. Mark mengikuti arah pandangan pria itu dan menemukan seorang wanita yang berdiri di depan ruangan. Dia adalah wanita yang membantu Ayana.Tak diduga, wanita bernama Chika itu juga memandang ke arahnya. Pandangan mereka bertem
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki