Benny masih berusaha menahan desakan dari Adimas. Jika ia membiarkannya, ia tahu Adimas benar-benar akan menyerang hingga Brixton sekarat. Hal itu akan jauh merugikan mereka. “Serahkan dia pada kami! Lebih baik Anda membawa Karina sekarang juga!” Benny bersuara dengan sedikit membentak. Ya, telinga Adimas seakan ikut tertutup oleh amarah yang meluap hingga Benny sampai harus sedikit membentak majikannya itu. Namun, nama Karina dengan cepat memulihkan kesadaran Adimas. Tubuhnya yang semula tegang menjadi lebih tenang dan sorot membunuh mulai menghilang dari matanya. “Pastikan kalian memberi balasan setimpal untuk bajingan ini!” sergah Adimas, kemudian berjalan pergi meninggalkan Brixton. Adimas menoleh dan gadis itu terlihat semakin lemah dan lemah. Tubuh Karina limbung dan tepat sebelum gadis itu jatuh membentur aspal, Adimas segera menangkap tubuhnya. “Karina! Sadarlah!” Adimas memanggil-manggil. Namun, mata gadis itu masih terus terpejam. Tangannya yang terkulai lemah membuat
“Mau ke mana, Bu?” Fero bertanya saat melihat sang ibu tampak lebih rapi daripada biasanya. Hari sudah sore, bahkan menjelang malam, tetapi terlihat jelas Siska tengah bersiap untuk keluar. Siska terlihat terkejut dengan keberadaan sang putra yang kini duduk di sofa. Wajah Fero terlihat sembab. Semenjak bercerai, Fero memang ikut dengan Siska dan tinggal di rumah besar milik orang tua Siska. “Kau sudah bangun. Ibu mau menjenguk Karina di rumah sakit. Katanya, dia tidak sengaja terjatuh dan terluka.” Fero memejamkan mata. Tangannya terangkat untuk menyentuh sisi pelipisnya. Kepalanya terasa amat berat. Tadi malam, ia bermain kartu bersama temannya hingga pagi. Walau pening, ia bisa mendengar jawaban sang ibu dengan amat jelas dan Fero sedikit mendengkus. “Gadis itu masih saja gila. Kukira, dia akan lebih baik setelah tinggal dengan pria itu. Orang gila memang akan tetap gila,” gumamnya dengan dingin. Tubuh pria itu sedikit terlonjak saat mendapati pukulan dari sang ibu tepat di
Suasana yang semula penuh oleh kehangatan keluarga, seketika berubah tegang setelah kedatangan Adimas. Pakaian pria itu tampak compang-camping dan tatapannya menatap lurus kepada Siska. “Di … rumah.” Siska menjawab gugup. “Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Fero, Adimas?” Ilona bertanya. Semenjak perceraian Siska, kedua ibu mertua itu telah menjadi lebih akrab. Jelas ia merasa aneh dan tidak terima andai Adimas bersikap sedemikian dingin kepada wanita itu. Adimas berkedip dan ketegangan menghilang dari wajahnya. Ia memandang semua orang satu per satu. Mereka tengah menatap ke arah Adimas dengan aneh. Seolah ia baru saja kerasukan hantu. Pria itu berdeham. “Bukan apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Dia juga tidak hadir di sidang waktu itu,” kilahnya. “Daripada memedulikan orang lain, coba lihat dirimu. Kemejamu sangat lusuh dan kotor. Ibu sudah membawakan baju ganti. Lebih baik kamu mandi sekarang.” Ilona memerintah. Ia tidak habis pikir dengan penampilan Adimas yang
“Akhh …. Sakit, Bu!” Fero meringis saat sang ibu tengah mengganti perban yang melilit telapak tangannya. Ya, setelah kejadian malam itu, Fero pergi ke rumah sakit dan dokter mendiagnosa tulang telapak tangannya mengalami keretakan. Tidak hanya satu, tetapi tiga sekaligus hingga harus diperban dan di-gips. “Tahan,” Siska bersuara, “Lagi pula, bagaimana ceritanya tanganmu bisa jadi seperti ini?” Kruk Tiba-tiba bunyi itu kembali mengiang di kepala Fero. Bunyi yang terdengar saat Adimas meremukkan telapak tangannya begitu saja. Rasa sakitnya begitu hebat hingga sekujur tubuh Fero merinding saat mendengarnya. Rahangnya menjadi tegang. Mengingat kejadian itu kembali membuat Fero merasa geram. “Siapa yang melakukannya padamu?” Siska bertanya lagi. “Pria yang berengsek,” jawab Fero. Ia tahu hubungan Siska dengan Adimas telah membaik. Jika Fero bilang ini karena perseteruannya dengan Adimas, Siska akan menggali informasi dan situasinya akan menjadi lebih runyam. “Kau harus menuntutnya
Fero pulang tengah malam sebagaimana biasanya. Umumnya, keadaan rumah sudah sepi saat pria itu tiba, sebab Bernard, pria tua itu, selalu tidur pukul sepuluh. Namun, kali ini, seorang pelayan langsung berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. “Dari mana saja Anda, Tuan Muda? Tuan Bernard mencari Anda sejak tadi,” ucap pelayan itu dengan setengah panik. Fero memicingkan mata saat kepalanya terasa sedikit pening. Selalu seperti ini setiap kali ia minum di kelab. Ia berharap akan langsung merebahkan dirinya di ranjang. Dengan enggan, dia menyeret kakinya menuju kamar sang kakek. “Apakah Kakek mencariku?” Fero bertanya seraya berjalan masuk. Di dalam, sudah ada Siska yang duduk sambil menundukkan kepala dan Bernard yang duduk di kursi rodanya. Pria lemah dan tua renta itu terlihat marah. “Apakah kau yang menggunakan uang di rekeningku?” Bernard langsung bertanya. Suaranya terdengar geram. “Sudah kubilang aku yang menggunakannya, Ayah!” Siska menyela seraya berdiri, berusaha membela sa
Setelah hampir menyentuh angka satu minggu, akhirnya Brixton bisa menghirup udara segar di luar Vila milik Adimas. Ya, Adimas memutuskan untuk melepaskan Brixton tepat setelah dia menunaikan tugas terakhirnya. Hari sudah malam dan Brixton menaiki mobil yang disediakan Adimas. Seperti tahanan, terdapat dua orang berbadan tegap yang mengapit Brixton. Di pangkuannya, terdapat dua buah koper hitam yang akan menjadi amunisi misi terakhir Brixton. Mobil mereka berhenti di depan bangun kelab malam yang tampak gemerlap. “Ingat, jika kau berani mengatakan apa yang tidak Tuan Adimas katakan, maka kami akan memotong lidahmu!” ucap seorang pria yang duduk di sisi pengemudi. Dia adalah kepala keamanan utusan Adimas. Brixton tidak menjawab, tetapi menatap belakang kepalanya dengan penuh dendam. Berani-beraninya pria serendah dia mengancam Brixton. Brixton berjanji begitu ia keluar, ia akan langsung membalas pria ini. “Tidak menjawab?” Kepala keamanan itu berkata lagi. “Baik …,” jawab Brixton
Sudah hampir sepuluh menit Adimas duduk menatap keluar jendela mobilnya. Pandangannya terpusat pada restoran Markus yang sudah tutup. Persis seperti seorang tentara yang memantau lokasi sebelum mengirim bom, pagi ini, Adimas menyempatkan diri untuk melewati jalan ini hanya demi melihatnya. Restoran itu buka siang hingga malam dan Adimas bisa melihat sisa-sisa keramaian kemarin. Namun, perhatiannya tidak tertuju pada restoran itu, melainkan pada seorang wanita yang duduk memangku bayi yang sedang dijemur. “Istrinya sudah melahirkan sejak dua hari yang lalu, Tuan.” Jade yang duduk di kursi pengemudi memberitahu. Wajah Adimas menjadi meragu. Mengapa harus sekarang? Saat tekadnya memuncak untuk membalaskan dendam, justru muncul malaikat tak bersalah itu. “Bagaimana? Apakah Anda mau mampir?” Jade bertanya lagi. Sudah hampir lima belas menit mereka di sini dan Adimas tidak keluar mobil ataupun meminta mereka untuk lanjut berjalan. Pria itu menggelengkan kepala. “Jalan saja,” titahnya.
Tubuh Karina seakan mematung mendengarnya. Kini, Adimas duduk di pinggir ranjang dan memandang ke arahnya sembari tersenyum. Garis rahangnya melengkung sempurna. Pada saat marah, garis itu bisa terlihat sangat mengintimidasi.Detik demi detik, pada akhirnya Karina mulai berjalan mendekat. Semakin sedikit jarak di antara mereka, semakin jantungnya berdegup cepat. Hingga pada akhirnya Karina mengambil tempat duduk di sisi Adimas dengan canggung. Adimas melirik ke arahnya dan terkekeh pelan. Tangan kekar yang dilapisi jas itu merangkul tubuh Karina dan dengan cepat mengangkatnya ke pangkuannya. “Di sini duduknya,” ucap pria itu. Kepala Karina seketika tertunduk. Ia selalu senang menggoda Adimas, tetapi jika pria itu benar-benar terpancing, dia bisa menjadi lebih bahaya dan membuat Karina terhenyak. Kali ini, Karina tidak berkutik dan Adimas mengarahkan tangannya untuk melingkar di lehernya. wajah pria itu terlihat sedikit pucat. “Oh, badan Mas hangat. Mas sakit?” Karina mengangkat
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki