Setelah hampir menyentuh angka satu minggu, akhirnya Brixton bisa menghirup udara segar di luar Vila milik Adimas. Ya, Adimas memutuskan untuk melepaskan Brixton tepat setelah dia menunaikan tugas terakhirnya. Hari sudah malam dan Brixton menaiki mobil yang disediakan Adimas. Seperti tahanan, terdapat dua orang berbadan tegap yang mengapit Brixton. Di pangkuannya, terdapat dua buah koper hitam yang akan menjadi amunisi misi terakhir Brixton. Mobil mereka berhenti di depan bangun kelab malam yang tampak gemerlap. “Ingat, jika kau berani mengatakan apa yang tidak Tuan Adimas katakan, maka kami akan memotong lidahmu!” ucap seorang pria yang duduk di sisi pengemudi. Dia adalah kepala keamanan utusan Adimas. Brixton tidak menjawab, tetapi menatap belakang kepalanya dengan penuh dendam. Berani-beraninya pria serendah dia mengancam Brixton. Brixton berjanji begitu ia keluar, ia akan langsung membalas pria ini. “Tidak menjawab?” Kepala keamanan itu berkata lagi. “Baik …,” jawab Brixton
Sudah hampir sepuluh menit Adimas duduk menatap keluar jendela mobilnya. Pandangannya terpusat pada restoran Markus yang sudah tutup. Persis seperti seorang tentara yang memantau lokasi sebelum mengirim bom, pagi ini, Adimas menyempatkan diri untuk melewati jalan ini hanya demi melihatnya. Restoran itu buka siang hingga malam dan Adimas bisa melihat sisa-sisa keramaian kemarin. Namun, perhatiannya tidak tertuju pada restoran itu, melainkan pada seorang wanita yang duduk memangku bayi yang sedang dijemur. “Istrinya sudah melahirkan sejak dua hari yang lalu, Tuan.” Jade yang duduk di kursi pengemudi memberitahu. Wajah Adimas menjadi meragu. Mengapa harus sekarang? Saat tekadnya memuncak untuk membalaskan dendam, justru muncul malaikat tak bersalah itu. “Bagaimana? Apakah Anda mau mampir?” Jade bertanya lagi. Sudah hampir lima belas menit mereka di sini dan Adimas tidak keluar mobil ataupun meminta mereka untuk lanjut berjalan. Pria itu menggelengkan kepala. “Jalan saja,” titahnya.
Tubuh Karina seakan mematung mendengarnya. Kini, Adimas duduk di pinggir ranjang dan memandang ke arahnya sembari tersenyum. Garis rahangnya melengkung sempurna. Pada saat marah, garis itu bisa terlihat sangat mengintimidasi.Detik demi detik, pada akhirnya Karina mulai berjalan mendekat. Semakin sedikit jarak di antara mereka, semakin jantungnya berdegup cepat. Hingga pada akhirnya Karina mengambil tempat duduk di sisi Adimas dengan canggung. Adimas melirik ke arahnya dan terkekeh pelan. Tangan kekar yang dilapisi jas itu merangkul tubuh Karina dan dengan cepat mengangkatnya ke pangkuannya. “Di sini duduknya,” ucap pria itu. Kepala Karina seketika tertunduk. Ia selalu senang menggoda Adimas, tetapi jika pria itu benar-benar terpancing, dia bisa menjadi lebih bahaya dan membuat Karina terhenyak. Kali ini, Karina tidak berkutik dan Adimas mengarahkan tangannya untuk melingkar di lehernya. wajah pria itu terlihat sedikit pucat. “Oh, badan Mas hangat. Mas sakit?” Karina mengangkat
Fero tidak pernah membayangkan dia justru akan berakhir menjadi pelayan di hotel milik ayahnya dahulu. Hal itu bagai mimpi buruk baginya. Harga dirinya seolah terinjak-injak saat berhadapan dengan pelayan lain yang dahulu pernah mendapat perlakuan semena-mena darinya. Kini, Fero justru menjadi bawahan mereka. Ia merasa lebih rendah dari keset yang biasa diinjak-injak. “Hei, apa yang kau lakukan! Cepat datang dan bawakan barang ini ke kamar tamu!” Salah seorang pelayan senior di hotel itu membentak Fero yang melamun.Pria itu langsung berkedip dan bergegas menghampirinya. “Nomor berapa?” Fero bertanya seraya membawakan handuk dan peralatan mandi.“204!” jawab pria itu dengan wajah masam. Dia telah memanggil Fero berulang kali, tetapi Fero tidak menjawab karena terlalu larut dalam lamunan. Ini adalah hari pertama Fero bekerja, dan pria itu lebih banyak melamun daripada menyelesaikan pekerjaannya. Dengan enggan, Fero mengambil nampan itu dan membawanya naik. Dia menunggu di depan li
“Dia sekarang bekerja sebagai pelayan di hotel, Tuan, sementara Brixton telah dipenjara dan sedang menunggu hasil persidangan.” Seorang pria kepercayaan sekaligus tangan kanan Juna melapor kepada bosnya itu. Keduanya tengah berada di taman pemakaman. Juna berdiri di depan sebuah makam yang penuh dihiasi bunga. Sudah hampir dua puluh menit pandangan pria itu terpusat pada makam itu. “Siapa yang melakukan semua itu?” Juna bertanya, sementara pandangannya masih menatap lurus pada makam seolah itu bisa membangkitkan tubuh yang terkubur di sana. Di atas nisan yang berkilat tertulis nama Cassie Adine Diandra. Wanita yang kerap dipanggil Cassie itu meninggal pada usia dua puluh dua dan hari ini tepat peringatan kematiannya. “Adimas, Tuan.” Pria di sisi Juna menjawab. Sudut bibir Juna tertarik ke samping membentuk seringai. Jadi, Adimas mencoba membalaskan dendam sang istri dengan memberi pelajaran kepada kedua pria itu? Adimas tidak sadar jika istrinya pun turut berdosa. Karina telah
Pikiran Juna masih tertuju kepada Karina meski gadis itu telah meninggalkan kediamannya. Rupanya, Karina bukan Pelaku atas kematian adiknya. Sebaliknya, Karina adalah sosok yang berusaha menyelamatkan Cassie. Dan, Juna hampir mencelakainya. Pria itu memijat sisi pelipisnya dan mengembuskan napas panjang. Perhatiannya kemudian teralihkan pada sebuah buku milik Karina yang terletak di atas meja. Sejak beberapa bulan lalu, Juna memang menganjurkan untuk membawa buku catatan sebagai bentuk perkembangan diri Karina. Tampaknya, gadis itu terlupa untuk memasukkannya ke dalam tas. Juna mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubunginya. Tuuut TuuutTuuut Aneh. Tidak biasanya gadis itu sulit untuk dihubungi. Terlebih, Karina baru pulang beberapa saat lalu. Seharusnya gadis itu masih dalam perjalanan. “Halo?” Panggilan berhasil terhubung. Namun, alih-alih Karina, Juna justru mendengar suara Adimas yang terdengar lemah. “Ada barang Karina yang tertinggal. Bisakah aku bicara dengannya?” Juna
Fero terperanjat kaget. Dia tengah bekerja saat tahu-tahu beberapa orang mendatanginya dan membawanya pergi. Katanya, mereka adalah anak buah Adimas dan tiba-tiba Fero dibawa ke rumah sakit. Di sana, ada Adimas yang terlihat cemas dan Karina yang tampak amat pucat. Tidak hanya itu, ada juga ibu Adimas dan seorang pria yang tidak ia ketahui. Juna langsung mengernyit da memicingkan mata melihat kedatangan Fero. Ia memang pernah mengutus orang untuk menyelidikinya, tetapi belum pernah bertemu Fero secara langsung. Dalam sekali lihat, ia bisa menerka jika Fero adalah orang yang kasar. “Coba cek kondisinya, Dok,” ucap Adimas kepada seorang dokter yang berdiri di sana. Pria itu berjalan maju dan tahu-tahu Fero membatasi dirinya dengan protektif. “Tunggu, apa-apaan ini?” Dia bertanya. Ya. Fero tidak tahu apa pun dan tahu-tahu sudah langsung dibawa kemari. Ditambah, wajah Adimas terlihat amat mencurigakan dan Fero tidak bisa mempercayainya. ”Karina membutuhkan seorang donor untuk trans
Mobil yang dikendarai Jade itu melaju cepat di jalan raya. Sepanjang perjalanan, Adimas tidak berhenti menghentakkan kakinya dengan tak sabar. “Lebih cepat, Jade!” Dia memerintah. “Ini sudah di ambang batas kecepatan, Tuan. Kita akan tertangkap jika melebihi ini.” Jade menjawab sementara matanya fokus menatap jalan di depan. Ia hampir kesulitan untuk bernapas karena dituntut untuk mengemudi dengan fokus yang tinggi. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, mobil Adimas sudah tiba di pelataran restoran. Kebetulan, Markus tengah berada di luar. Dia melihat mobil Adimas yang tiba dan langsung beranjak ke dalam. Pria itu juga menutup semua pintu dan jendela seperti orang ketakutan. Adimas mengetuknya berulang kali dengan nada mendesak. “Buka pintunya, Markus!” sergah pria itu. Jade terengah-engah di belakang Adimas. “Aku melihatmu, Markus. Cepat buka pintu ini!” desak Adimas. Dari sudut dalam, terlihat Markus yang berusaha menahan pintu depan restoran itu dengan tubuhnya. Ia mend
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki