Hatinya yang bergejolak menahan rindu pun tak bisa dia hindari lagi, semakin di tahan rindu itu semakin membara membakar dada. Rasa sesak pun mulai menjalar di rongga paru-parunya, dia ingin segera bertemu sang kekasih agar berakhir penderitaan hatinya.
Louisa sang pujaan hati tidak bisa dihubungi, Marco telah mencoba menghubunginya beberapa kali namun hasilnya nihil.
Louisa merupakan keturunan Italia namun keluarganya telah lama menetap di London. Louisa yang berparas cantik berhasil membuat Marco jatuh cinta pada pandangan pertama.
Perasaan Marco tidak bertepuk sebelah tangan Louisa juga menaruh hati kepada pemuda itu. Hubungan mereka berjalan dengan baik selama lima tahun, tidak ada pertikaian serius di antara mereka. Akan tetapi, beberapa bulan terakhir terjadi perselisihan antara mereka berdua.
Hal itu terjadi karena Louisa yang ingin ada kepastian hubungan antara dia dengan Marco. Louisa selalu mempertanyakan kepada Marco, pemuda yang telah di kencaninya selama bertahun-tahun apakah sungguh serius dengannya dan hubungan mereka akan di bawah ke jenjang selanjutnya yaitu pernikahan atau sebaliknya.
Marco telah menjelaskan kepada Louisa walaupun dia sangat mencintai gadis itu, dia belum siap menikahinya. Apa lagi sang ayah yang menginginkan Marco menggantikan kedudukan sang paman di perusahaan mereka, jika Marco menolak kesempatan itu maka ayahnya akan mencoret nama Marco sebagai pewaris dari kekayaan yang ayahnya miliki.
Hari itu terlihat awan hitam yang bergelombang mengitari langit yang sebelumnya terlihat cerah. Gemuruh langit mulai terdengar melantunkan tembang khasnya. Serta embusan angin yang mulai menggelitik pori-pori kulit.
Marco yang berdiri menatap keluar jendela sambil memegang sebuah tiket pesawat tampak bingung dan gelisah atas apa yang dia pilih. Sebagai satu-satunya anak lelaki di keluarganya, maka dia harus melakukan keinginan dari sang ayah.
Di tengah lamunannya, seorang wanita muda mendekatinya, dan memeluk pemuda itu dari belakang dengan eratnya.
“Jangan pergi Marco!” Pinta wanita muda itu dengan suara sedih.
Marco membalikkan badannya dan memeluknya. Di kecupnya kening pujaan hatinya itu lalu di tatapnya dengan penuh kasih. “Louisa, ikutlah denganku,”
Gadis itu pelan-pelan melepaskan pelukannya, matanya menatap lembut, terlihat butir-butir air mata hampir jatuh dari matanya. Dia bersedia ikut jika Marco ke rumah orang tuanya dan melamar dirinya. Dia akan ikut Marco ke mana saja pemuda itu pergi jika dia telah resmi menjadi istrinya.
Marco yang mendengar kata-kata Louisa hanya diam, tak menanggapi. Louisa bertanya lagi, namun Marco begitu berat menyetujui permintaan Louisa untuk menikah dengannya.
“Sekarang aku tahu, kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Pergilah dan lupakan hubungan kita.” Louisa pergi dari sana dengan air mata yang terus berlinang membasahi pipinya.
Alih-alih mengejar Louisa yang pergi dari hadapannya, Marco malah membereskan semua barang bawaannya. Dengan tiket yang sudah ada di tangannya, Marco segera menuju bandara tanpa kata perpisahan kepada sang kekasih.
Tapi cinta tetaplah cinta. Marco ternyata tidak bisa jauh dari Louisa seberapa besar usahanya mengalihkan pikirannya. Bayang-bayang gadis itu selalu hadir menghantui dirinya.
Louisa yang tidak bisa di hubungi membuat Marco melampiaskan kesedihan dan penyesalannya dengan meminum- minuman yang beralkohol.
Malam itu sepulang kerja, Marco mencoba menghubungi Louisa lagi dan lagi nomor itu tetap tidak bisa dihubungi. Marco mencoba menelepon nomor rumahnya, berdering. Tetapi tidak ada yang mengangkat teleponnya.
Marco mengambil sebuah botol minuman yang ada di ruang kerjanya, dia terus menegak minuman itu. Entah sudah berapa botol yang telah dihabiskannya sehingga pemuda itu tak kuat lagi menahan matanya yang telah mengantuk hingga jatuh tertidur di sana.
***
Sang mentari telah menampakkan senyumnya di pagi hari yang cerah. Sayup-sayup terdengar suara burung yang berkicau saling bersahutan, berirama.Pemuda yang semalam tertidur karena terlalu banyak minum, mulai membuka matanya menatap teriknya mentari dari celah tirai jendela. Pusing di kepala masih terasa berat, enggan rasanya dia beranjak dari tempat dia tertidur.
Teringat olehnya kenapa dia bisa tidur di ruang kerjanya, dipegangnya dada sebelah kirinya yang masih terasa sakit, sakit karena rindu yang tak bisa dia obati.
Marco segera menuju ke kamarnya, membersihkan diri lalu berganti pakaian. Marco yang hari itu tidak pergi ke kantor masuk ke ruang kerjanya.
Pak Salim menghampirinya, pemuda itu tampak sibuk di depan laptop. Pak Salim menyampaikan kepada Marco jika ibunya sudah berapa hari menanyakan kabar pemuda itu. Marco hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu pun berpamitan keluar setelah selesai dengan tugasnya.Setelah Pak Salim pergi, Marco mengambil ganggang telepon yang ada di meja. Pemuda itu menekan beberapa nomor, tidak berapa lama kemudian dari seberang terdengar suara wanita.
“Morning Mom, how are you?” Sapa Marco sambil tersenyum senang.“I’m good, are you okay, son?” tanya sang ibu balik. Setelah berbincang-bincang dengan sang anak, ibu Marco menutup teleponnya.
Marco melanjutkan pekerjaannya di depan laptopnya.
Ting!
Terdengar suara ada pesan masuk di handphonenya. Marco melihat nama pengirim yang tertera dan hatinya berubah senang karena pesan itu datang dari Louisa. Dia meraih handphonenya untuk membuka pesan. Sepasang matanya terbelalak tak percaya melihat foto yang di kirim Louisa. Jantungnya berdetak kencang, raut mukanya berubah pucat pasi.
Jari jemarinya yang bergetar menekan layar, dan langsung menelepon Louisa. Tidak berapa lama telepon itu terhubung. Marco mendengar suara dari seberang itu yang ternyata bukan suara Louisa, tetapi suara ibu Louisa.
Marco meminta penjelasan atas pesan yang di kirim kepadanya. “Apakah itu benar?”
“Benar, Louisa telah menikah seperti yang kamu lihat di foto itu,” Jawab ibu Louisa dengan dingin. Kentara jelas jika dia tidak suka dengan Marco dan mengharapkan respons seperti ini dari pria itu.
“Tidak, itu tidak benar. Louisa hanya mencintai aku.”
Ibu Louisa meminta Marco untuk tidak mengganggu putrinya lagi, dia menegaskan seharusnya Marco bahagia karena Louisa telah menemukan seseorang yang benar-benar mencintai putrinya.
Mendengar ucapan dari ibu Louisa seperti pukulan yang menyakitkan bagi Marco. Dia seakan-akan dianggap tidak mencintai Louisa karena belum siap menikahi sang kekasih.
Marco pergi keluar mengendarai mobilnya. Dia yang mulai paham dengan lingkungan barunya itu pergi sendiri tanpa seorang sopir. Pria itu melaju dengan cepat menuju sebuah Klub yang pernah di kunjunginya bersama Roni.
Di sana, Marco memesan beberapa botol minuman. Dia menegak minuman itu tanpa henti, tak peduli sudah berapa botol yang telah dihabiskannya.
Sedangkan di meja lain, segerombolan wanita muda baru sampai dan memesan beberapa minuman dan makanan. Salah seorang di antara mereka memperhatikan sosok pemuda yang duduk sendiri tidak jauh dari tempat mereka.
“Anna kamu lihat pemuda itu? Dia bukannya pemuda yang tempo hari itu kan,” kata wanita itu kepada Anna.
Setelah melihat lebih dekat, Anna yakin pemuda itu adalah Marco. Dia menghampiri dan bertanya kepada Marco. Namun Marco yang sudah mabuk hanya tersenyum sinis. Terlihat tatapan kesedihan yang terpancar di bola matanya.
Marco meminta sebotol bir lagi, namun pelayan di tempat itu tidak memberikannya. Pemuda itu menjadi marah, dia berteriak sekuat tenaganya.
Dengan terhuyung-huyung dia berjalan menuju tempat bartender, dia berniat ingin mengambil minuman itu sendiri. Tidak berapa lama dia berjalan badannya tumbang. Sontak orang-orang di sana berkerumun mendekatinya.
Anna meminta teman-temannya membantu membopong Marco masuk ke dalam mobilnya. Kemudian, Anna membawa Marco ke apartemennya yang tidak jauh dari tempat itu.
Di apartemennya, Anna membaringkan tubuh Marco di sebuah kamar. Wanita itu membersihkan wajah Marco yang lengket karena minuman. Saat sedang membersihkan wajah Marco dari dekat, lagi-lagi Anna terpesona dengan ketampanan Marco.
Dia mengkhayalkan pemuda itu mendekap tubuhnya, mencumbuinya. Fantasi liar Anna telah membuatnya berkeringat dingin, di tengah-tengah fantasi itu, Anna kaget.
Marco membuka matanya lalu menatapnya panas.
Anna yang kaget karena tiba-tiba Marco menatapnya panas dan dalam hitungan detik Marco langsung mencium bibirnya.Ciuman Marco yang hampir menutupi mulut Anna, membuat gadis itu tak mampu berkutik. Marco melumat bibir tipis nan merah itu berkali-kali.Anna yang sebelumnya berfantasi liar, tidak mensia-siakan kesempatan itu. Anna membalas ciuman Marco bertubi-tubi hingga membuat nafsu pemuda itu semakin memuncak.Mereka berdua saling membalas ciuman satu sama lain, membuat gairah mereka sampai ke ubun-ubun. Apalagi ketika tangan perkasa Marco mulai menunjukan aksi nakalnya. Tangannya mulai meraba-raba bagian sensitif gadis itu.Pemuda itu mulai meremas-remas, lalu memainkan puting pa*u*ara yang berwarna merah mudah itu. Dia mencumbuinya dari atas kebawah sehingga gadis itu tak mampu lagi menahan hasrat birahinya.Gairah yang membara itu tidak bisa mereka tahan lagi, satu persatu keduanya saling melepas helai pakaian yang
Sang bibi sengaja menuduh Sinta yang macam-macam agar dia punya alasan untuk memarahi gadis itu. Sinta yang baru memasuki pintu rumah mencoba menghiraukan tuduhan bibinya, melihat Sinta yang mengabaikannya dia langsung menjambak rambut Sinta.Gadis itu menjerit kesakitan ketika akar-akar rambutnya seolah lepas dari kulit kepalanya. Sinta pun memohon kepada bibinya supaya berhenti menjambak rambutnya. “ Ampun Bi, Aldi hanya antar aku pulang, kita ketemu di jalan, bener Bi.” Sinta memelas supaya bibinya memberinya belas kasih.“ Alasan, kamu sudah berani bohong ya,” bentak sang bibi.Bibinya menarik rambut gadis itu semakin kencang sehingga gadis itu berteriak lagi, jeritan kesakitan itu telah menciptakan keributan yang membuat paman Sinta terbangun dari tidurnya. Sang paman dengan matanya yang masih mengantuk karena semalaman lembur di kantornya, segera menuju sumber keributan itu.Dan, alan
Marco terperanjak mendengar ucapan Roni, dia tidak mengerti maksud Roni belum terlambat. Marco tahu seberapa besar cintanya terhadap Louisa, dia tidak mungkin merebut Louisa yang sudah menikah dengan seorang laki-laki yang telah disetujui oleh gadis itu.Roni yang mengetahui kebingungan Marco, lalu menjelaskan kepada saudara sepupunya itu jika Louisa belum resmi menikah. “ Marc, mereka baru bertunangan. Coba kamu perhatikan lagi foto ini.”Marco memperhatikan foto itu lagi secara seksama, tapi pemuda itu tidak menemukan perbedaan. “ Bagaimana kamu tahu, Ron, jika dia belum resmi menikah?” ucap Marco lalu meletakkan handphone-Nya ke atas meja.“ Aku pernah menghadiri pernikahan teman aku. Termasuk saat mereka bertunangan, jadi aku tahu perbedaan keduanya,” Marc, jika kamu butuh kepastian yang lebih, kamu temui dia di London,” lanjut Roni.Marco terdiam sejenak lalu memperhatikan kembali foto yang di kirim ke
Seorang pemuda berdiri tepat di depan Anna, pria itu berpakaian kasual, namun sangat modis. Di batang hidungnya yang mancung bertengger kacamata putih, yang cocok untuk mukanya yang lancip dan tampak berwibawa. Anna yang mulai jengkel karena sudah lama menunggu berniat meninggalkan pemuda itu.Pemuda itu mencegah Anna pergi, dia menjelaskan alasannya kepada Anna kenapa dia bisa datang terlambat. Namun, Anna terlanjur jengkel sehingga dia tidak mau mendengar penjelasannya. Pemuda itu segera membujuk Anna, dia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari saku celananya.“ Happy birthday, Anna. Aku sudah sampai kesini tadi, tapi aku melupakan ini makanya aku pulang lagi.”“ Oh, Peter. Lama kamu di luar negeri ternyata kamu tidak pernah berubah.” Muka Anna seketika berubah menjadi merah muda.Sebelumnya, Peter yang baru tiba di rumahnya segera menelepon Anna. Dia juga mengutarakan ingin bertemu dengan gadis itu, Ann
Namun, Sinta mendapati bahwa Peter telah pergi pergi masuk ke dalam rumahnya. Hatinya sedikit kecewa, Sinta menghela napas yang terdengar berat. Sekali-kali dia menggelingkan kepalanya., tak kala dia teringat sosok wanita cantik, yang sedang tidur di dalam mobil Peter."Wanita itu, pasti kekasihnya," gumam Sinta dalam hati.Ah, entahlah Sinta tidak ingin terlalu jauh memikirkan siapa wanita tersebut. Lagi pula, pertemuannya dengan Peter merupakan suatu ketidaksengajaan. Sinta berpikir mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan Peter.
Marco yang melihat sosok wanita yang tak asing lagi, menerobos masuk ke ruang kerjanya, sontak membuat pemuda itu hampir memuntahkan air kopi yang baru masuk ke dalam mulutnya.“ Maaf, Pak, wanita ini memaksa untuk masuk. Pada hal, sudah saya larang,” ucap salah seorang security.“ Anna, kamu ada masalah apa?”Roni mendekati Anna, dan menyuruh security itu keluar. Anna hanya memandang Roni sekilas, matanya terus menatap Marco yang tampak bingung dengan kehadirannya.“ Ron, aku ingin bicara empat mata dengan, Marco!”Roni melongo dengan ucapan Anna yang to the point kepadanya. Roni melihat kearah Marco, pemuda itu memberi isyarat kepada Roni untuk meninggalkan mereka berdua. Roni mengerti dia pun keluar dari ruangan kerja Marco, walaupun di hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi di antara mereka berdua.Roni tahu persis, Marco dan Anna belum lama saling mengenal. Perkenalan mereka i
Ketika Anna membuka pintu dia tidak melihat siapa pun, Anna menjadi sangat sedih mendapati Peter yang telah pergi. Namun yang Anna tidak ketahui, Peter sedari tadi masih menunggu di samping kamarnya.
“Sinta, wajahmu kenapa?” ucap Peter.
" Kalau tidak salah, bukannya kamu ya, yang mendapatkan buket bunga tadi?" tanya Anna kepada Sinta.Sinta tidak menyangka jika Anna masih mengenali wajahnya, padahal Anna hanya melihat dirinya sekilas. Lalu, dia pergi meninggalkan panggung tempat mereka melemparkan buket bunga dengan mengandeng mesra tangan suaminya.Sinta mendapatkan buket bunga itu secara tak sengaja, banyaknya para tamu khususnya para wanita yang berdesak-desakan untuk mendapatkan bunga itu, membuat tubuh Sinta ikut terbawa kesana-kemari. Akan tetapi, keberuntungan sedang menghampiri Sinta, buket bunga yang direbutkan itu tiba-tiba jatuh ke tangannya.Gadis itu pun berjalan keluar, dia berniat kembali ke tempat di mana orang-orang yang membawa Kakek Lau memintanya untuk menunggu mereka.Dengan membawa buket bunga di tangannya, pikirannya berkecamuk dengan peristiwa-peristiwa yang baru dialaminya.Dia tidak pernah menduga jika dirinya akan melihat pernikahan Marco, pemuda yang selama ini selalu membuatnya jengkel s
" Marc, kamu sudah pernah melihat mereka, 'kan? Salah satu di antara mereka akan menjadi adik iparmu. Coba kamu tebak yang mana!"Mendengar permintaan Roni yang menyuruhnya menebak yang mana di antara kedua gadis itu yang merupakan kekasih Roni, Marco pura-pura tidak tahu dan dia meminta Roni untuk langsung menunjukkan yang mana calon adik iparnya.Dari jarak kurang dari dua meter, segerombolan wanita yang sedang berbincang dengan pengantin wanita, mereka melihat kearah Marco yang sedang berbicara dengan Roni serta kedua gadis yang tampak asing di mata Anna." Ann, suamimu sedang berbicara dengan siapa?" tanya seorang teman Anna. Seketika itu juga Anna langsung menoleh kearah Marco." Yang pria itu, Roni, adik sepupu Marco. Tapi, aku tidak kenal dengan kedua gadis itu."" Kamu harus ke sana, Anna. Mereka sepertinya sudah saling kenal, lihat saja mereka berbicara dengan begitu akrab," ucap teman Anna yang lain.Anna dengan dua orang temannya berjalan mendekati Marco yang sedang berbica
Anna dan Marco akan melempar bunga buket tersebut kepada tamu undangan dengan posisi membelakangi para tamu. Lalu dengan beberapa hitungan, buket bunga itu pun akan menjadi rebutan para tamu undangan.Satu, dua, tiga..Sorak para tamu yang menginginkan buket bunga itu jatuh ke tangan mereka terdengar riuh, dan menggema. Lalu, semua mata tamu undangan melihat kearah sosok yang mendapatkan buket bunga itu.Tak terkecuali sepasang pengantin yang baru mengikrarkan janji suci pernikahan mereka, buket bunga yang jadi rebutan itu jatuh ke tangan seorang wanita." Kamu beruntung bisa mendapatkan buket bunga ini, selamat ya!" ucap salah seorang tamu wanita yang juga berharap buket bunga itu jatuh ke tangannya." Selamat ya, semoga kamu cepat segera menyusul," ucap Anna yang tersenyum kearah wanita yang mendapatkan buket bunganya.Anna mengandeng erat tangan Marco, dia ingin memperlihatkan kepada orang-orang betapa beruntung dan bahagia dirinya.Sementara Marco, dia memandang wanita itu tanpa b
Luna bukannya tidak mengizinkan Sinta bekerja sesuai dengan pengalamannya, tapi dia tahu tidak mudah mendapatkan pekerjaan baru.Dan, Luna sangat paham watak ayahnya, jika pegawainya sudah memilih untuk keluar dari restoran mereka, ayahnya tidak akan pernah mau menerima pegawainya itu kembali bekerja dengannya.Tapi, Sinta yang sudah bulat dengan keputusan yakin tidak akan menyesali keputusannya tersebut." Aku pasti akan mendapat pekerjaan di tempat lain," gumam Sinta.Di sebuah ruangan, tepatnya sebuah kamar di rumah sakit, seorang pria yang sudah lanjut usia sedang duduk di tempat tidurnya, matanya menatap kesebuah layar televisi.Pria itu menatap ke layar televisi dengan sekali-kali bergumam sendiri, di sampingnya berdiri seorang pria lainnya. Pria itu terlihat lebih muda, mungkin umurnya berkisaran lima puluhan keatas, dia terlihat rapi dengan setelan jasnya." Mereka mau menikahkan anaknya tanpa peduli orang tuanya ada di mana," gumamnya lagi." Pak Alex, apa benar katamu tadi,
Kedua pemuda itu saling berjabat tangan. Ini kali pertama Peter melihat laki-laki yang dipilih dan dicintai oleh wanita yang dicintainya, Anna. Peter bisa merasakan jika Anna sangat mencintai Marco, sementara Marco terlihat biasa-biasa saja. Tapi, Peter tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa mendoakan Anna akan bahagia bersama pria yang dicintainya dan berharap Marco akan mencintai Anna dengan sepenuh hatinya.Peter memperhatikan Marco dengan seksama, dia pun merasa tidak asing dengan calon suami Anna tersebut." Sepertinya kita pernah bertemu," ucap Peter." Oh ya, di mana? aku lupa," jawab Marco pura-pura lupa." Di kantor polisi."" Sayang, kenapa kamu ke kantor polisi? tanya Anna yang penasaran." Anna, mungkin aku salah orang. Hmm, karena Marco sudah ada di sini, aku pulang dulu ya, Anna."" Kenapa harus buru-buru, tidak apa-apa. Kalian bisa melanjutkan obrolan kalian. Lagi pula, aku harus pergi masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan," ucap Marco." Anna, sudah lama men
Senja kala itu sudah menampakkan warna kemerah-merahan, sungguh indah di pandang mata. Sinta terus memandang kearah senja yang indah, dia menikmati keindahan yang diciptakan oleh sang Maha Agung.Sementara itu Marco yang melihat Sinta begitu menikmati senja yang terlihat jelas nan indah, dia pun ikut memandang detik-detik senja yang sebentar lagi akan hilang.Sekali-kali pemuda itu menoleh kearah Sinta, dia menatap lekat kearah gadis itu. Dia yakin jika dugaannya selama ini salah, Sinta bukan wanita jahat yang ingin memanfaatkan para pria kaya." Sint, kamu sudah yakin untuk menarik membatalkan laporan mu tentang penguntitan yang dilakukan oleh temanmu itu?" tanya Marco." Iya, Tuan, aku sudah yakin. Aku memberinya kesempatan untuk memperbaiki dirinya, lagi pula jika Aldi di dalam sel penjara siapa yang akan merawat orang tuanya serta membantu biasa sekolah adiknya. Dia sudah minta maaf dan dia sudah berjanji akan mencari pekerjaan di kota lain." Aku harap dia menepati janjinya kepad
Di saat Peter datang menghampirinya, dan meminta maaf karena dia tidak bisa pergi bersama Sinta. Di saat itulah, rasa cemburu, marah, dan kecewa merasuk ke dalam hati gadis itu. Dia ingin mengatakan isi hatinya, tapi saat itu mulut Sinta terkunci yang ada hanya rona wajahnya memerah.Gadis itu tidak bisa memungkiri hatinya merasa sakit dan kecewa di saat Peter selalu meninggalkannya hanya demi Anna. Dia ingin melarang Peter untuk tetap bersamanya, tapi dia tidak punya hak melakukan itu karena status mereka sebatas teman biasa." Aku tahu, kamu lebih lama mengenal Anna. Tapi, apa posisi Anna di hatimu tidak bisa digantikan oleh orang lain?" gumam Sinta.Ting ...Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Sinta, dia pun mengambil ponselnya yang ditaruhnya di dalam tasnya. Sebuah pesan dari nomor yang belum di save nya ke dalam kontak ponselnya, pesan itu bisa dibacanya dari layar atas ponselnya.Sinta yang penasaran dengan isi keseluruhan pesan dari nomor tanpa nama, dia pun membuka dan membaca
Sinta yang baru masuk ke dalam kamar 028, dia melihat si kakek menatapnya tajam. Tatapan itu sendiri menunjukkan jika dia tidak menyukai melihat sosok gadis yang berdiri tepat di hadapannya saat ini. Gadis itu berdiri dengan memegang tampan yang berisi makanan, dia meletakkan nampan itu ke atas meja lalu dia menaruh tas selempangnya di atas sofa yang berada di kamar VIV itu." Kamu siapa? Kenapa kamu yang membawa makanan itu lagi?" tanya si kakek." Namaku Sinta, Kek. Aku yang bertugas menghantarkan makanan ini untuk Kakek," ucap Sinta lalu meletakkan nasi serta lauknya di atas meja kecil yang ditaruh di ranjang pasien." Kakek katamu? Siapa kamu yang beraninya memanggil aku dengan sebutan Kakek. Kamu tidak tahu siapa aku, Hah!"" Aku Sinta, Kek. Kakek Lau lupa ya dengan nama itu," ucap Sinta dengan tenang." Itu bukan namaku. Aku juga tidak mengenal kamu, jangan sekali-kali memanggil ku dengan sebutan Kakek Lau. Panggil aku dengan sebutan Tuan Besar Chan," ucapnya dengan nada tegas d
Melihat Sinta yang begitu keras kepala, akhirnya Luna mengalah. Luna tidak akan pergi menjenguk si kakek di jam kerjanya, tapi dia akan mengantar Sinta ke rumah sakit setelah itu dia kembali ke restorannya.Selama di perjalanan menuju rumah sakit kedua gadis itu tidak bicara satu sama lain, Luna fokus menyetir mobilnya sementara Sinta membuka pesan-pesan yang belum sempat dibacanya.Sesampainya di rumah sakit, Sinta langsung berjalan menuju kamar yang dihuni oleh Kakek Lau. Sementara Luna berangkat kerja seperti yang dikehendaki oleh Sinta, dia pun melaju dengan cepat meninggalkan rumah sakit itu.Sinta heran melihat kamar yang dihuni oleh Kakek Lau telah di tempati oleh orang lain, dia pun bertanya kepada salah seorang Suster yang pernah merawat Kakek bersama Dokter Peter." Kakek itu! Nona bukannya yang membawa Beliau pertama kali ke rumah sakit ini, kan? Hmm, kemarin sore Beliau dipindahkan keruang VIV. Beliau memaksa untuk ditempatkan diruang yang paling bagus di rumah sakit ini,