Athes membaringkan tubuh Miranda di ranjang. Tatapannya menatap memuja Miranda yang terbalut oleh gaun yang tampak seksi. Dengan tidak sabar, Athes membuka pakaiannya dan melemparkannya ke lantai. Sesaat Miranda menatap kagum tubuh tegap dan dada bidang Athes yang begitu menggoda itu. Hati Miranda berdesir melihat pria itu begitu tampan.Kini Athes menindih tubuh Miranda, dia memagut bibir wanita itu. Entah apa yang ada di otak Miranda. Dia membalas ciuman Athes dengan liar. Bibir mereka saling membelit, lidah mereka saling berpagutan.“Ahh.” Miranda mengerang kala Athes menciumnya dengan begitu hebat.“You’re so damn beautiful.” Athes berbisik dengan nada rendah tepat di depan bibir Miranda.Miranda hanya tersenyum. Dia mengaitkan tangannya di leher Athes dan mencium bibir pria itu. Tidak hanya diam, Athes membalas ciuman Miranda dan tangannya mulai melepaskan pengait gaun yang dipakai oleh Miranda. Dalam sekejap, Athes berhasil menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh Miranda. Sek
Miranda melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. Saat dia hendak mengganti pakaiannya, terdengar suara dering ponselnya. Miranda langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja—dia menatap ke layar.Seketika Miranda mengembuskan napas pelan kala melihat nomor Helen yang muncul di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Miranda menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian meletakkan ke telinganya.“Ya?” Miranda menjawab saat panggilan terhubung.“Miranda, sialan kau! Kenapa kau meninggalkanku saat pesta?! Astaga, kau ini menyebalkan sekali.” Suara Helen berseru dari seberang line begitu keras. Sontak, Miranda langsung menjauhkan ponselnya saat mendengar suara Helen itu. Hingga beberapa detik, ketika Miranda sudah tidak lagi mendengar suara teriakan Helen, dia menempelkan kembali ponselnya ke telinganya.“Kau berisik sekali, Helen.”“Ini semua karenamu. Kenapa kau meninggalkanku saat pesta!”“Maaf, tadi malam aku ada urusan.”“Urusan apa? Harusnya kau berpami
“Miranda, apa kau sudah gila sejak tadi terus tersenyum.” Helen menerobos masuk ke dalam ruang kerja Miranda, tatapannya menatap kesal sahabatnya itu yang tidak henti tersenyum seperti anak remaja yang tengah kasmaran.“Helen, kenapa kau di sini?” Miranda terkejut kala Helen masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.Helen mendengkus tak suka. Dia menarik kursi dan duduk menjatuhkan tubuhnya duduk di hadapan Miranda seraya berucap, “Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau tersenyum seperti orang yang baru saja jatuh cinta.”“Kau ini bicara apa!” Miranda bersikap tenang, seolah tidak membenarkan perkataan Helen.Helen mendesah pelan. “Sudahlah, terserah kau saja. Tujuanku ke sini karena aku ingin berterima kasih tas mahal yang kau belikan sudah aku terima. Tapi meski kau sudah menyogokku dengan tas mahal, kau harus menceritakan padaku saat pesta kau pergi ke mana?”“Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Miranda mengambil cangkir yang berisikan teh dan menyesapnya p
Athes merenggangkan dasi yang mengikat lehernya. Dia menggulung kemejanya. Sesaat dia memijat pelan pelipisnya. Ya, seharian ini banyaknya meeting membuat dia benar-benar lelah. Bahkan dia sampai tidak memberi kabar pada Miranda karena begitu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan.“Tuan Athes.” Henrik melangkah masuk ke dalam ruang kerja Athes.“Ada apa?” tanya Athes dingin.“Tuan Ben tadi menghubungi Anda, tapi karena ponsel Anda tidak aktif, akhirnya dia menhubungi saya, Tuan,” jawab Henrik memberi tahu.Athes membuang napas kasar. “Apa yang dia katakan?”“Malam ini Tuan Ben mengadakan pesta di Qube Night klub. Dia meminta Anda untuk datang, Tuan,” ujar Henrik melaporkan pesan Ben, sahabat Athes yang menghubunginya itu.“Aku tidak bisa datang,” Athes menyandarkan punggungnya. Dia mengambil wine di hadapannya dan menyesapnya perlahan. “Hubungi Ben, aku tidak bisa ke sana.”“Maaf, Tuan. Tapi pesan terakhir Tuan Ben mengatakan dia memaksa Anda untuk datang. Jika tidak, dia sendiri
“Miranda, tunggu!” Athes berteriak kencang saat melihat Miranda masuk ke dalam mobil. Dia mengumpat kasar, dengan cepat dia hendak menuju mobilnya dan bergegas meninggalkan area parkir, mengikuti mobil Miranda.“Shit!” Athes memukul stir mobil, dia terus mengumpat saat mobil Miranda tidak lagi terlihat olehnya. Dia mengambil ponselnya, dan langsung menghubungi nomor Miranda. Namun, satu, dua, hingga lima kali dia menghubungi Miranda, tapi nomornya tidak aktif.Tidak ada pilihan lain, Athes langsung membelokkan mobilnya menuju rumah Miranda. Sepanjang jalan, Athes terus merutuki kebodohanya. Harusnya dia tidak membalas ciuman Esme. Sial, jika seperti ini Miranda pasti akan salah paham.Saat tiba di kediaman Spencer, Athes langsung memakirkan mobilnya sembarangan dan melompat turun dari mobil masuk ke dalam rumah itu.“Tuan Athes?” Darren terkejut saat dia hendak keluar rumah, dia berpapasan dengan Athes.“Tuan Darren, apa Nona Miranda ada di rumah?” Athes bertanya cepat tanpa basa basi
Athes menenggak vodka di tangannya dengan kasar. Sudah tiga hari sejak di mana Miranda mengungkapkan perasaan padanya, Athes tidak lagi bisa menghubungi Miranda.Beberapa kali Athes berusaha menghubungi Miranda, tapi wanita itu tidak menjawab satu pun telepon darinya. Bahkan saat meeting, Miranda sering meminta direktur perwakilan.Wanita itu tidak ingin bertemu dengan Athes. Dan ini benar-benar menyiksa Athes. Awalnya Athes pikir, dia akan biasa saja jika Miranda menghindar. Tapi kenyataannya, wanita itu telah berhasil membuat dirinya tidak bisa tenang.“Tuan Athes, apa Anda memanggil saya?” tanya Henrik saat memasuki ruang kerja Athes.“Ya, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” jawab Athes dingin.“Ada apa, Tuan?” tanya Henrik sopan.“Apa kau pernah jatuh cinta? Dan apa kau pernah menyatakan perasaan cinta pada wanita?” Athes bertanya dengan raut wajah dingin, tanpa ekspresi dan pandangan lurus ke depan.Kening Henrik berkerut mendengar pertanyaan Athes. Dia tampak bingung dan tak me
“Nona Miranda.”Langkah Miranda terhenti kala dia baru saja keluar dari kamar, dia berbalik dan mengalihkan pandangannya, menatap pelayan yang berdiri tidak jauh darinya.“Ada apa?” tanya Miranda dingin.“Maaf, Nona. Tapi Tuan Ryhan baru saja kembali dari Singapore. Dia menunggu Anda di ruang kerjanya,” jawab sang pelayan memberi tahu.Miranda membuang napas kasar. “Katakan pada ayahku, aku harus ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Nanti aku akan menghubunginya kalau aku sudah tiba di kantor.”“Nona, Tuan Ryhan tadi berpesan beliau ingin langsung Anda bertemu dengannya,” jawab sang pelayan itu lagi.Miranda berdecak tak suka. Hal yang membuat Miranda kesal adalah sifat ayahnya itu terlalu egois dan tidak suka dibantah. Seperti saat ini, dirinya harus ke kantor tapi mau tidak mau dirinya harus menemui ayahnya.Tanpa berkata apa pun, Miranda melangkahkan kakinya menuju ruang kerja ayahnya. Raut wajah kesal begitu terlihat. Masih banyak pekerjaan yang harus dia kerjaka
Miranda menatap wajah Athes yang tengah tertidur pulas. Rahang tegas, hidung mancung, alis tebal milik pria itu benar-benar membuatnya sangat tampan.Ya, Miranda mengakui tidak ada wanita yang tidak luluh dengan wajah tampan Athes. Pria itu mampu membuat para wanita berdesir kala di dekatnya. Di usia yang sudah matang, membuat sosok Athes Russel banyak dikagumi para kaum wanita.Miranda membawa tangannya menelusuri wajah tampan Athes. Senyum di bibir Miranda terukir kala dia mengingat percintaan panas yang telah mereka lakukan. Dia mengingat Athes meginginkannya lagi dan lagi. Bahkan Miranda tidak akan lupa saat Athes memuja setiap inchi tubuhnya. Namun ketika Miranda hendak menurunkan tangannya, dia terkejut tiba-tiba Athes menarik tangannya, dan mengeratkan tubuhnya ke dalam dekapan pria itu.“Athes, kau sudah bangun?” Miranda mendengkus kesal melihat Athes yang pura-pura tertidur. Jika seperti ini, dirinya akan malu. Terlebih tadi dia membayangkan apa yang terjadi sebelumnya. Astag