Para tamu hadirin bersorak sorai dan berteriak sah secara bersamaan, mereka bahagia atas sahnya hubungan pernikahan Kirana dan Sabian, terutama keluarga Handoko dan Alexander yang lega dengan pernikahan kedua mempelai putra dan putri mereka.
"Sah, selamat ya nak akhirnya kalian resmi menjadi suami istri," tuan Alexander menitikkan air mata haru hatinya sudah lega, plong melihat Sabian sudah menikah, mengingat perjuangan mereka berdua yang begitu panjang untuk sampai ke titik ini.
"Adikku, akhirnya hari ini menjadi hari bahagiamu, jadilah suami yang bisa melondungi dan membimbing istrimu," ucap Sandra menepuk bahu adiknya, Sandra juga ikut bahagia atas berlangsungnya pernikahan sang adik.
Sabian tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengucap syukur dan berterima kasih kepada keluarganya, tuan Handoko dan Luna juga mengucapkan selamat kepada Kirana, mereka merangkul Kirana dan menangis bersama, akhirnya Kirana sah menjadi
Bima bersiap meraih tangan mama dan ayahnya, Hap! Telapak tangannya menempel pada telapak tangan ayah dan mamanya, menggenggam erat kedua tangan orang tuanya dengan senyuman lebar."Apakah kau suah siap Bima?" tanya Sabian dengan tawa riang."Iya ayah Bima sudah siap hidup bahagia bersama ayah dan mama," ucap Bima dengan senyuman lebar.Berjalan menuju tempat yang sudah berkumpul para gadis yang belum menikah, pasangan pengantin yang sedang berbahagia itu siap melemparkan buket bunga pengantin mereka."Para gadis bersiaplah menerima buket bunga ini, semoga salah satu dari kalian yang akan menikah selanjutnya," ucap Sabian dengan senang."Kami sudah siap, lekas lemparkan buket bunga itu," ucap salah satu tamu.Sabian melirik Kirana dan Bima seolah memberikan kode untuk segera melempar buket bunga yang sudah di nantikan oleh banyak gadis yang sudah berkumpul di hadapan mereka, dengan menggunakan kode berhitung Sabian me
Kirana menatap Sabian dengan senyuman, menunggu apa yang akan dia sampaikan tentang sebuah janji yang ingin dia dapatkan dari seorang istri yang hari ini sah menjadi pendamping hidupnya. "Janji apa Sabian, aku tidak ingin berjanji apapun padamu, karena jika aku mengucapkannya saat sedang bahagia, takutnya aku mengingkarinya kelak," ucap Kirana masih dengan senyuman manisnya. "Emm, aku hanya ingin satu janji darimu?" ucap Sabian tampak ragu mengatakannya. Melihat kedua pasangan yang sedang berbahagia itu begitu canggung mengungkapkam perasaannya, Luna mengambil inisiatif mengode para sahabat dan keluarga dekat untuk memberkikan waktu agar pengantin itu bisa bersama menghabiskan waktu berdua malam ini. "Bima ikutlah dengan nenek bibi dan kakek buyut hari ini, biarkan mama dan ayahmu berdua saja hari ini, besok kamu dan kedua orang tua mu akan pergi liburan," ucap Luna membujuk Bima agar mau iku
Sabian melihat ke arah Kirana yang tampak jelas tersirat di wajahnya kekecewaan yang mendalam, ia hanya tersenyum melihat ekspresi wajah istrinya itu."Mandilah aku akan memberi kompensasi istriku yang sampai susah jalan karena perbuatanku itu," Sabian mengedipkan mata sembari menutup pintu kamar mandi."Padahal aku menginginkan hal itu pagi ini, sepertinya aku haus belaian Sabian," gumam Kirana.Kirana melanjutkan mandinya dengan busa agak banyak aroma mawar yang menawan, membuatnya betah lama-lama di kamar mandi, rambutnya juga di keramasi dengan shampo aroma mawar, kini seluruh badannya sudah segar kembali sesaat setelah mandi.Srekkk! Pintu terbuka Sabian terlihat Santai dengan ponsel di tangannya serta rokok di tangan satunya, masih memakai handuk sexy dia berjalan menuju suaminya yang sedang terlihat santai di sebuah sudut ruangan.“Sayang, sepertinya sedang santai tanpa beban,” Kirana menggoda dengan handuk sexy dan sua
Sabian mengernyitkan dahinya, menatap dengan tatapan bengis kepada lawannya, tidak ada seorangpun yang berani meminta barang miliknya apalahi wanita pujaan hatinya."Nyalimu sungguh besar anak muda, apakah kamu tahu apa yang kamu katakan itu bisa saja membuatku memotong lidah milikmu?" Sabian menegaskan kepada adik Han."Aku sungguh takut kepada tuan muda Sabian yang berkata sungguh kejam seperti itu," gumam adik Han itu.Brakk! Sabian menggebrak mejanya dia berdiri meraih kerah baju Henri dengan kencang, bug! Sebanyak tiga kali Sabian memukul Henri dengan kencang, ia tidak suka di permainkan apalagi Henri dengan terang-terangan meminta Kirana untuk menjadi miliknya."Kamu jangan asal-asalan berkata, pertama kamu sudah mencemarkan namaku, kedua kamu sudah melecehkan istriku, kamu pantas mendapatkan pelajaran," Sabian meninju lagi wajah Henri dengan keras.Kirana sedikit ngeri mel
Luna memeluk Kirana dengan erat, di usapnya lembut rambut Kirana, beban hidup di usia belia membuatnya rapuh, dan merindukan kasih sayang tulus seorang ibu, Luna jadi tak tega meninggalkannya."Kirana jangan takut lagi, sekarang di sampingmu ada suami yang hebat, ia akan melindungimu sepanjang waktu," ucap Luna menguatkan keponakannya."Bibi, aku akan merindukanmu," ucap Kirana sambil menitikkan air mata.Walau berat Luna harus tetap kembali menunaikan kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri, dia berjanji pada Kirana akan selalu menghubunginya bagaimanapun Kirana masih tetap anggota keluarganya."Kirana walau bibimu kembali ke luar negeri, kamu masih bisa bertukar kabar dengannya," ucap tuan Handoko."Mama jangan bersedih lagi, kita akan antar nenek ke bandara besok pagi," Bima memeluk Kirana.Kirana tersenyum melihat wajah putranya, kekuatan utama Kirana
Bima dan Kirana memasuki sekolah yang cukup luas dan bersih, salah satu sekolah yang terkenal di ibu kota, biasanya yang sekolah di sini adalah murid dengan orang tua yang memiliki kekayaan berlimpah."Selamat siang apakah saya bisa mendapatkan informasi sekolah ini," Kirana mendatangi kantor pusat informasi mengenai sekolahm"Bisa bu, mari masuk saya jelaskan tentang sekolah ini," seorang petugas memoersilahkan masuk Kirana dan Bima.Selesai mendapatkan penjelasan mengenai seluk beluk sekolah, petugas mengajak Bima dan Kirana berkeliling sekolah, halaman yang luas, ruang kelas yang nyaman lengkap dengan pendingin ruangan, perpustakaan, kantin, semuanya di susun dengan rapi sehingga membuat siswa betah dan nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah.Kirana bertanya pada Bima apakah cocok dengan sekolah itu atau tidak, jika cocok mungkin Kirana akan langsung mendaftarkannya saat itu juga."Bagai
Sabian mengangguk ia memilih sekolah yang sama dengan putra Mike, asisten pribadi Sabian itu kemudian menjelaskan apa saja kelebihan dan kekurangan kepada Kirana, setelah berunding akhirnya mereka memutuskan dimana Bima akan bersekolah."Aku akan menyekolahkan Bima di sekolah yang sama dengan Marcel putra dari Mike," ucap Sabian menunjuk salah satu brosur."Aku setuju dengan mu saat masuk tadi aku sudah srek di hati, tinggal keputusan dari putraku apakah dia setuju kita memilih sekolah ini," ucap Kirana yang matanya menyapu seisi ruangan mencari putranya.Sabian menunjuk dengan jari ada dimana sang putra, melohat Kirana yang mencari sang buah hati, seakan ia tahu apa yang ada di pikiran istrinya itu."Putramu ada disana, dia tidak akan lepas dari pengawasanku walau aku sedang sibuk mengurusi bisnis," ucap Sabian sambil menunjukkan arah dimana Bima berada."Ya ampun anak mama tidu
Kirana terdiam tidak menyahut pertanyaan Sabian, sementara Bima banyak mengoceh menuntut kedua orang tuanya menuruti apa yang ia inginkan."Ayah aku ingin makan burger, tapi mama tidak mengijinkan aku makan fast food," ucap Bima sambil melipat kedua tangannya."Putraku tak tahukah kamu jika fast food itu tidak baik untuk pencernaanmu?" Sabian bertanya pada anaknya sekaligus mengetes pemgetahuan anaknya.Bima menggelengkan kepala, ia tetap bertahan dengan pendapatnya jika ia tetap ingin makan burger, Bima semakin merajuk menginginkan burger."Putra ayah jika ayah tidak mengijinkanmu makan fast food bagaimana?" Sabian mencoba menenangkan Bima yang merajuk."Aku minta sama paman Sandra pasti semua keinginanku akan di kabulkan olehnya," ucap Bima yang masih merajuk.Kirana tak enak hati dengan ucapan Bima, ia merangkul erat lengan tangan Sabian berharap suaminya tak marah dengan ucapan Bima, memang benar sejak lahir Bima selalu di manja oleh San