“Kamu mau ikut blind date?”
“Nggak usah teriak bisa nggak?” pinta Padma dengan jengkel saat mendengar suara Mili yang meningkat tiga oktaf ketika Padma memberi tahu rencananya minggu depan.
Perempuan yang hari itu sudah mengenakan jersey klubnya menoleh pada ponsel yang ada di meja. Ia memang memasang mode loudspeaker karena Mili menelepon ketika ia tengah bersiap untuk latihan menembak seperti biasanya.
“Namanya juga orang kaget.” Mili menggerutu pelan. “Blind date dari mana ini? Ikut sehati.com kayak yang waktu itu aku saranin atau dari biro jodoh di tangan Mama?”
Padma langsung tertawa ketika Mili menyebut biro jodoh di tangan Mama. Hal itu adalah istilah yang mereka pakai kalau berkenalan dengan seseorang berkat campur tan
“Gimana pacar barumu?”“Dia bukan pacarku.” Padma mengibaskan tangannya di udara. “Kami cuma dekat.”“Yakin? Aku bisa menghitung berapa kali dan di mana aja kamu dan laki-laki itu kencan.”“Dan kenapa kamu bisa tahu semua itu?” Padma memicingkan matanya, menatap Ksatria yang tengah tertawa penuh konspirasi di samping Mili yang ikut tertawa. “Kamu beneran stalking aku ya?”“Nggak, hanya kebetulan kita ada di lingkup pergaulan yang sama.” Pelajaran dalam berbohong yang lupa diterapkan orang lain adalah konsisten.Sejak beberapa bulan lalu Ksatria dengan
Badai tak pernah tahu persalinan biasanya memakan waktu berapa lama. Yang pasti, kakinya sudah kebas ketika akhirnya keluar dari ruang bersalin dan mengabarkan pada keluarganya kalau anaknya sudah lahir dengan selamat.“Tasya gimana, Dai?”Badai menatap orangtua Anastasya yang langsung menyerbunya begitu ia keluar. Kelahiran anak Badai dan Anastasya hari ini memang benar-benar di luar prediksi mereka. Dokter memperkirakan Anastasya akan melahirkan sekitar dua minggu lagi.Makanya Badai cukup kaget saat sore tadi, salah satu pelayannya di rumah menelepon dengan panik dan mengatakan kalau Anastasya tengah dibawa ke rumah sakit.“Sempat pendarahan, Ma, tapi untungl
“Pagi, Pak Badai.”“Pagi, Bu….” Saat Badai mendongak, ia tak menyangka kalau orang yang ia temui pertama di ruang meeting Sadira Group adalah Padma. “Pagi, Bu Padma. Mau kopi?”Padma menatap paper cup berlogo Starbucks yang dipegang Badai. Paper cup itu berukuran venti, ukuran gelas paling besar yang dimiliki gerai berlogo duyung hijau tersebut.Dari aromanya, Padma bisa menilai kalau kopi itu cukup kuat dengan tambahan one shot espresso (atau mungkin juga lebih).“No, thanks.” Padma tersenyum. Kemudian ia kembali menatap laptopnya untuk mempelajari bahan meeting hari ini.
“Dai, apa kamu masih mengingat Padma sampai saat ini?”Badai baru saja duduk di tepi ranjang kamar Angkasa Nirada Tanaka—anaknya dengan Anastasya—ketika Anastasya masuk dan bertanya hal itu padanya.Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia benar-benar lelah. Begitu sampai rumah, Asa sudah menangis dan baru diam ketika ia menggendongnya—tentu setelah ia mandi dengan kilat dan berganti pakaian.Baru saja Asa tertidur dan ia bisa merebahkan tubuhnya di kamar Asa, Anastasya sudah melanggar peraturan yang dulu mereka setujui.Menyebut nama Padma.“Aku nggak amnesia, tentu masih ingat dia.”“Maksudku dalam konteks romantis.” Anastasya duduk di sampin
“Kupikir kamu keberatan datang ke sini.”“Keberatan kenapa?”“Karena tempat ini punya mantan tunanganmu.”Padma tertawa seraya menggeleng mendengar ucapan Catra Kamandaru. Mereka masuk ke The Clouds dan lelaki itu langsung menggandeng tangannya agar ia tak terbawa arus gerombolan orang yang suka berjalan sembrono, atau digoda oleh laki-laki hidung belang.“Aku nggak sesentimental itu.”Bohong, ledek satu sisi diri Padma yang lainnya. Tapi ia membiarkan saja dirinya menjawab seperti itu di depan Catra.“Wow, hebat juga.” Catra mengerling jahil pada Padma. “Mungkin itu yang bikin aku suka sama kamu.”
“Kupikir kamu nggak mau dateng.”Komentar Arsa membuat Padma mencebikkan bibirnya. “Aku nggak secupu itu.”“Aku ngeliat kamu nangis di perpustakaan pas nggak sengaja liat undangan pernikahanmu dan Badai dulu,” lanjut Arsa dengan tidak tahu dirinya. “Malam-malam dan nggak cuma sekali sejak aku pulang ke sini. Kupikir kamu udah bakar semuanya.”Padma tertegun mendengar kata-kata Arsa yang terlampau jujur. Arsa baru pulang sejak Senin lalu—Padma bahkan tak tahu kenapa tiba-tiba adiknya pulang.Karena kamarnya bersebelahan dengan Arsa dan tak cukup kedap suara, Padma sering menyendiri ke perpustakaan di lantai satu rumahnya kalau
Badai Tanaka: Maaf untuk kejadian kemarin, Padma. Aku minta maaf atas nama Anastasya.Padma menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Badai. Dikirim semalam, tapi Padma belum membalasnya sampai saat ini. Ia masih memikirkan kalimat yang tepat selain kata ya.“Kamu udah bawa semuanya?” Suara Arsa membuyarkan lamunan Padma.Padma mengangguk seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Nanti, ia masih bisa membalas pesan Badai nanti. Atau mungkin tidak usah dibalas? “Udah.”“Sunblock?”“Udah.”
“Apa keberangkatan kamu hari ini berhubungan dengan dia?”Padma menahan diri untuk tidak menoleh pada Catra. Kalau ia melakukan hal tersebut, sudah dipastikan lelaki itu akan langsung tahu. Dia yang dimaksud Catra pastilah Badai Tanaka.Atau, yah… Catra sebenarnya memang sudah tahu.“Sedikit banyak.” Padma akhirnya menoleh pada Catra dan tersenyum kecut. “Tapi aku udah memutuskan untuk pergi sama kamu sebelum ketemu dia di acara keluarga kami kok.”Dan hal itu memang benar. Malam sebelum ia ke rumah keponakannya—Kalvin, Padma sudah menyetujui ajakan Catra dan mereka membeli tiket pesawat di saat itu juga.