Badai Tanaka: Maaf untuk kejadian kemarin, Padma. Aku minta maaf atas nama Anastasya.
Padma menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Badai. Dikirim semalam, tapi Padma belum membalasnya sampai saat ini. Ia masih memikirkan kalimat yang tepat selain kata ya.
“Kamu udah bawa semuanya?” Suara Arsa membuyarkan lamunan Padma.
Padma mengangguk seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Nanti, ia masih bisa membalas pesan Badai nanti. Atau mungkin tidak usah dibalas? “Udah.”
“Sunblock?”
“Udah.”
“Apa keberangkatan kamu hari ini berhubungan dengan dia?”Padma menahan diri untuk tidak menoleh pada Catra. Kalau ia melakukan hal tersebut, sudah dipastikan lelaki itu akan langsung tahu. Dia yang dimaksud Catra pastilah Badai Tanaka.Atau, yah… Catra sebenarnya memang sudah tahu.“Sedikit banyak.” Padma akhirnya menoleh pada Catra dan tersenyum kecut. “Tapi aku udah memutuskan untuk pergi sama kamu sebelum ketemu dia di acara keluarga kami kok.”Dan hal itu memang benar. Malam sebelum ia ke rumah keponakannya—Kalvin, Padma sudah menyetujui ajakan Catra dan mereka membeli tiket pesawat di saat itu juga.
Rasanya keputusan untuk ke Bali adalah keputusan paling tepat yang Padma ambil dalam setahun terakhir ini.Padma bersenang-senang dan untuk sejenak, ia melupakan tatapan penuh amarah Anastasya di rumah Kalvin dua hari yang lalu.“Papamu nggak komentar apa pun soal cuti mendadak kamu?”Padma tertawa kecil mendengar pertanyaan Catra yang dilontarkan dengan nada jahil. Kemarin, bertepatan dengan resepsi pernikahan sepupu Catra, Padma akhirnya memutuskan untuk memperpanjang liburannya.Hari Senin ini merupakan tanggal merah, jadi ia mengajukan cuti mendadak untuk hari Selasa hingga Jumat. Ayahnya tak berkomentar banyak selain mengingatkan Padma kalau kejadian ini hanya bo
Badai memasuki Ta Wan dan langsung menemukan sosok Padma yang sedang menyantap makanannya.Untuk sesaat, ia menghentikan langkahnya setelah agak menepi supaya tidak menghalangi jalannya orang-orang di restoran tersebut. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat bagaimana Padma makan.Aneh, tapi salah satu hal yang selalu Badai ingat adalah cara makan Padma yang akan membuat siapa pun chefyang memasak makanan tersebut, akan merasa bahagia karena makanannya diapresiasi dengan sempurna.“Hai,” sapa Badai setelah berhasil melanjutkan langkahnya dan tiba di meja yang ditempati Padma. “Maaf aku terlambat.”“Nggak kok, ini aku yang datang terlalu cepat,” jawab Padma deng
Enam bulan adalah waktu yang cukup baginya untuk mempersiapkan dan memantapkan hatinya untuk hal yang lima menit lalu baru ia lakukan.“Kamu serius?” tanya Padma dengan mata yang berpindah-pindah, menatap sesuatu di hadapannya yang berkilauan karena cahaya lampu mobil, lalu berganti menatap lelaki di hadapannya.“Aku serius—kamu tahu kan, aku hampir selalu serius.”“Aku tahu.” Kali ini Padma tertawa. “Kadang aku kasihan sama para standup comedian yang videonya nggak bisa bikin kamu ketawa.”“Bukan salah mereka, waktu pembagian selera humor sebelum lahir, aku telat datengnya.”
“Kenapa dulu Papa bisa setuju untuk jodohin aku sama Badai?”Refaldy harusnya tahu dari mana asal gen gemar bertanya dan suka bertanya mendadak tanpa paragraf pengantar terlebih dulu di diri anaknya, Padma.Meskipun ia sudah sering menghadapinya bertahun-tahun (dari sang istri dan Padma), tetap saja Refaldy seakan tak pernah siap untuk mendapati pertanyaan yang di luar perkiraannya.“Kamu kenapa nanyain hal itu?”“Pengen tahu aja.”Refaldy tak langsung menjawab. Ia mengamati Padma yang tengah duduk menyamping dan menunggu jawabannya.Sudah jadi rutinitas mereka di hari Mi
PadmaHardjaja: The best night in my life.Badai tersenyum saat membaca sederet kata yang ditulis Padma sebagai caption foto langit malam, yang ia unggah di akun Instagram-nya.Foto itu hanya merupakan langit malam yang gelap. Kalau orang lain hanya melihatnya secara sekilas, foto itu seakan tak ada artinya. Mungkin hanya sebuah foto yang diunggah untuk melengkapi feeds akun perempuan itu, pikir mereka.Tapi ketika Badai tak sengaja melihat komentar yang ditulis Catra, Badai tahu kalau foto itu memiliki arti.Banyak arti.
“Aku tahu aku hari ini cantik, tapi aku takut orang mikirnya aku pakai pelet karena kamu dari tadi ngeliatin aku terus nggak berhenti-berhenti.”Catra tertawa mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Padma. Perempuan itu memang selalu berhasil membuatnya tertawa bahkan dengan kalimat yang tidak mengandung humor sekalipun.“Mungkin emang kamu pakai pelet ke aku,” kata Catra sambil berpura-pura memicingkan matanya. “Buktinya setelah kamu ngomong begitu pun, aku nggak bisa nengok ke arah lain.”“Dasar gombal.”Catra tertawa dan tak segan-segan mencium pipi perempuan yang kini sah menjadi istrinya tersebut.
Badai menimbang-nimbang rokok di tangannya dengan gamang.Seumur hidup, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia merokok. Sejak pertama kali mencoba rokok saat SMA, Badai tak terlalu tertarik dengan batangan nikotin tersebut.Tapi hari ini, sepulangnya dari resepsi pernikahan Catra dan Padma, Badai mampir ke minimarket dan diam-diam membeli sekotak rokok tanpa sepengetahuan Anastasya.Pada akhirnya Padma bahagia. Harusnya aku senang, rapal Badai bagai mantra di dalam hatinya.Ia memang ikut senang dengan bagaimana Padma tersenyum sepanjang hari ini. Pernikahan itu jauh lebih baik daripada yang mereka siapkan dulu.Mungkin karena ada c