Cuaca siang ini cukup cerah. Daniel mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang ramai tetapi lancar. Matanya yang tajam sesekali memperhatikan sekitar, menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang dilaluinya.Bukit-bukit hijau yang membentang di tepi jalan menyuguhkan panorama yang menyejukkan mata. Pemandangan seperti ini jarang sekali bisa dia nikmati saat berada di tengah hiruk-pikuk kota yang begitu menyesakkan. Seharusnya dia kembali ke kantor setelah meninjau proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru yang dikembangkan oleh perusahaannya. Namun, dia malah membawa mobilnya ke luar kota.Kota kecil tempat Bellia tinggal.Daniel sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa seperti ini, padahal Bellia sudah menolaknya berkali-kali. Namun, dia hanya mengikuti kata hatinya yang memintanya untuk pergi ke kota ini.Daniel memarkir mobilnya di seberang sekolah yang terlihat mulai lengang. Waktu pulang sekolah telah tiba dan satu per satu anak-anak meninggalkan gerban
Bellia tertegun, sepasang iris hezel miliknya terpaku pada Daniel yang sedang berjalan dengan tegap dan mantap sambil menggandeng tangan kecil Marvell. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi lelaki itu.Masih tergambar jelas di ingatan Bellia apa yang Daniel lakukan pada dirinya saat terakhir kali mereka bertemu. Daniel dengan lancang mencium bibirnya karena dia terus menyangkal kebenaran yang lelaki itu coba ungkapkan.Bukan tanpa alasan mengapa Bellia selama ini terus menyangkal. Dia takut Daniel akan merebut Marvell darinya jika lelaki itu tahu kalau Marvell adalah putranya karena mereka pernah menghabiskan malam bersama.Lagi pula Daniel sudah memiliki tunangan dan dia tidak ingin menjadi penghalang di antara hubungan Daniel dengan tunangannya.Akan tetapi, Daniel ada di hadapannya sekarang. Lelaki itu bahkan berani membalas tatapan matanya, seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan pada dirinya.Menyebalkan!Bellia tanpa sadar mengepalkan kedua tangann
Kaki Bellia bergerak gelisah, berkali-kali dia menggigit kuku jari tangannya sambil memperhatikan jalanan melalui kaca mobil yang ada di sampingnya dengan cemas. Tarikan napas panjang tidak berhasil membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Dia malah semakin merasa gelisah, takut, dan cemas.Nenek memang sering sakit-sakitan, tetapi baru pertama kali ini beliau jatuh hingga tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit.Bellia takut terjadi sesuatu yang buruk dengan neneknya karena hanya wanita itu satu-satunya keluarga yang dia miliki selain Marvell.Sementara itu Daniel fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya, dan Marvell yang duduk di kursi penumpang belakang melalui kaca spion depan.Marvell terlihat kebingungan, meskipun begitu Marvell patuh duduk diam di belakang. Sedangkan Bellia terlihat begitu panik.Sebagai seorang lelaki, Daniel tidak bisa diam saja melihat Bellia yang terlihat panik. Dia harus melakukan sesuatu agar perasaan
Bellia berulang kali menghela napas panjang lalu menatap pintu kaca yang ada di hadapannya dengan cemas. Sudah tiga jam berlalu, tetapi operasi sang nenek belum juga selesai.Marvell yang duduk di atas pangkuannya sejak tadi terus menguap. Anak itu pasti bosan menunggu nenek buyutnya. Bellia sebenarnya tidak tega membiarkan Marvell berlama-lama di rumah sakit. Dia takut Marvell tertular penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya tidak sekuat orang dewasa.Biasanya dia selalu minta tolong Mahes untuk menjaga Marvell. Akan tetapi, dia tidak mungkin melakukannya karena sedang menghindari lelaki itu. Sebenarnya Daniel tadi sudah menawarkan diri untuk menjaga Marvell. Namun, dia tidak mungkin membiarkan Marvell bersama lelaki itu. Terdengar jahat memang, tetapi Bellia meyakinkan dirinya sekali lagi kalau dia tidak punya pilihan.Dia takut Marvell akan semakin dekat dengan Daniel jika terlalu sering menghabiskan waktu dengan lelaki itu.Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir mungil
Bellia memakan nasi kepalnya dalam diam. Setelah selesai dia langsung membuang bungkus makanan itu ke tempat sampah dan kembali duduk di samping Daniel.Alis Daniel mengernyit melihat makanan yang dia beli untuk Bellia masih tersisa banyak. “Kamu tidak akan kenyang kalau cuma makan sedikit, Bellia. Cepat makan lagi!”Bellia tergagap mendengar ucapan Daniel. “Ta-tapi saya sudah kenyang, Pak.”Daniel menghela napas panjang. “Kalau begitu buang saja sisanya,” ucapnya terdengar dingin.Bellia menunduk dalam melihat wajah Daniel yang terlihat kesal. Tanpa sadar kedua tangannya meremas ujung baju yang dipakainya hingga kusut. Bellia sebenarnya tidak bermaksud mengabaikan perhatian Daniel yang sudah membeli makanan untuknya. Dia hanya sungkan jika mengambil makanan terlalu banyak.“Bukan itu maksud—” Bellia ingin menjelaskan, tetapi urung ketika mendengar pintu ruangan operasi terbuka. Bellia lebih memilih untuk cepat-cepat menghampiri seorang dokter yang baru saja keluar dari sana daripada
Bellia duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, tubuhnya sedikit condong ke belakang, sementara Marvell tertidur lelap di dalam dekapan hangatnya. Wajah Marvell yang polos serta napasnya yang teratur saat tidur berhasil membuat perasaan Bellia menjadi lebih tenang.Akan tetapi, hal itu ternyata tidak cukup meredam amarahnya pada Daniel.Bagaimana bisa Daniel melunasi biaya operasi sang nenek tanpa meminta persetujuan darinya? Bagaimana bisa Daniel dengan mudahnya mengambil keputusan atas hidupnya semau lelaki itu?Memangnya di antara mereka berdua memiliki hubungan dan ... apa dia terlihat tidak mampu?Bellia kembali menatap Marvell di pangkuan. Kini, dadanya semakin sesak.Bellia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak karena dia tak ingin membangunkan Marvell yang sedang tidur lelap.Dibesarkan tanpa orang tua, membuat Bellia tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah bergantung pada orang lain dan mengerjakan apa-apa sendi
Bellia bergeming di tempat, sepasang iris hezel miliknya menatap Marvell dengan resah. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia tidak mungkin memberi tahu Marvell jika Daniel adalah ayah kandungnya. Ketakutan tentang Daniel yang bisa mengambil anak itu darinya kapan saja, membuatnya tidak bisa jujur pada Marvell.Akan tetapi, di lain sisi Bellia tidak tega membohongi Marvell setelah melihat binar bahagia yang terpancar jelas di wajah anaknya. Bellia paham, Marvell sendiri berhak mengetahui bahwa dia sebenarnya memiliki ayah.Apa yang harus dia lakukan? Bellia benar-benar bingung sekarang.“Om Ganteng benaran papa Marvell, Ma?” Marvell bertanya lagi karena Bellia tidak kunjung menjawab. Raut bahagia terpancar jelas di wajahnya ketika menatap Daniel.Selama ini Bellia selalu menjawab papanya sedang bekerja di tempat yang sangat jauh setiap kali dia bertanya di mana papanya. Di saat teman-temannya di sekolah bercerita tentang betapa hebat papa mereka, dia hanya bi
Wajah Bellia seketika berubah pucat, darah di dalam tubuhnya seolah-olah berhenti mengalir. Bellia bergeming, kaku. Tanpa sadar kedua tangannya mendekap Marvell semakin erat ketika Daniel menatap lurus ke dalam manik matanya.“Bagaimana?” tanya Daniel. Suaranya terdengar rendah tapi tegas di saat yang sama membuat Bellia semakin ketakutan.“Tidak ...” Bellia menggeleng cepat, tanpa sadar dia bergerak mundur menghindari Daniel.Satu sudut bibir Daniel terangkat sejurus dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celananya. “Kenapa? Kamu takut?”Bellia tidak mampu menjawab. Dia terus bergerak mundur karena Daniel berjalan mendekatinya hingga membentur dinding yang ada di belakangnya.Bellia ingin pergi, tapi pergerakannya kalah cepat dengan Daniel. Lelaki itu mengungkung tubuhnya dengan menaruh kedua tangannya di sisi kanan dan kiri tubuhnya, mengunci agar dia tidak bisa bergerak. “Mau kabur lagi, huh?!” bisik Daniel tepat di depan wajahnya.Bellia tergagap, lidahnya mendadak
Bellia cepat-cepat menghampiri Marvell dan Daniel. Raut cemas tergambar jelas di wajah cantiknya. Bellia merasa panik sekali melihat Marvell menangis hingga lupa kalau dia ingin memarahi Daniel yang mengirim truk makanan ke sekolah tanpa meminta izin pada dirinya. “Marvell kenapa? Kenapa kamu menangis? Apa kamu jatuh?” Marvell mengangkat wajahnya perlahan lalu mengulurkan kedua tangannya ke atas. Bellia langsung meraih tubuh Marvell ke dalam dekapan, lalu meriksa tubuh anak itu dari atas sampai bawah untuk memastikan jika tidak ada yang terluka. Bellia akhirnya bisa bernapas sedikit lega setelah memastikan kalau Marvell baik-baik saja. Dia pun menepuk-nepuk punggung Marvell dengan pelan agar perasaan anak itu menjadi lebih tenang. “Marvell, jangan menangis lagi, ya? Mama di sini ....” Hati Bellia begitu terisis mendengar tangisan Marvell. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Marvell hingga membuat anak itu menangis sehebat ini. Apa Marvell baru saja dimarahi guru
Suasana di sekolah Marvell yang biasanya sepi tiba-tiba berubah ramai. Truk-truk makanan berjejer rapi di halaman sekolah, masing-masing dihiasi logo perusahaan milik Daniel. Para siswa, guru, bahkan staf sekolah berkerumun dengan penuh rasa ingin tahu. Kepala sekolah sendiri tampak tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya, tersenyum lebar menyambut Daniel, lelaki yang menjadi pusat perhatian siang itu. Daniel berdiri tegap di samping salah satu truk, mengenakan jas kasual yang tetap memancarkan wibawanya. Dia berbicara singkat dengan kepala sekolah, menjelaskan bahwa ini adalah bentuk perhatian untuk anak-anak di sekolah, terutama untuk Marvell. Kepala sekolah yang merasa tersanjung terus mengucapkan terima kasih, bahkan mengundang Daniel masuk ke dalam ruangan. Namun, Daniel menolak dengan sopan, lebih memilih menunggu di halaman agar bisa melihat Marvell. Senyum tipis menghiasi bibir Daniel ketika Marvell yang berjalan keluar dari kelas bersama teman-temannya dengan lesu. Anak itu
"Papa ada urusan penting di kantor dan harus berangkat pagi-pagi sekali, Sayang. Jadi Papa tidak sempat pamit sama Marvell." Marvell menatap Bellia dengan sayu. "Jadi, Papa gak ninggalin Marvell lagi?" Bellia menggeleng pelan lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Marvell. "Tidak, Sayang. Papa tidak mungkin meninggalkan Marvell lagi," ucapnya terdengar menenangkan meski di dalam hatinya dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Marvell. "Marvell mandi dulu, ya? Setelah itu sarapan lalu berangkat sekolah." Marvell mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Bellia kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya yang sempat tertunda. Selama memasak Bellia tidak berhenti memikirkan Marvell. Semakin besar, Marvell sepertinya mulai sadar jika hubungan mama dan papanya tidak sama seperti orang tua pada umumnya. Apa lagi Daniel tidak tinggal satu rumah bersama mereka. Lelaki itu hanya datang saat jam makan siang, setelah itu kembali ke kota untuk men
Daniel langsung mengantar Marvell dan Bellia pulang setelah selesai makan malam. Daniel sebenarnya ingin mengajak Marvell pergi ke toko mainan sebelum pulang, tetapi Marvell mengantuk. Akhirnya dia terpaksa mengantar mereka kembali ke rumah.Suasana di dalam mobil begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara keduanya. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya. Wanita itu sejak tadi hanya diam, memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Daniel tanpa sadar mendengkus kesal. Apa jalanan itu lebih menarik daripada dirinya?“Bell ...,” panggil Daniel pelan tetapi sukses membuat Bellia tersentak.“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”Bellia hanya mengangguk. Jujur saja dia tidak tahan terjebak di situasi yang sangat canggung bersama Daniel dan ingin cepat-cepat keluar dari mobil lelaki itu.“Bagaimana keadaan nenekmu?” Daniel akhirnya bertanya, mencoba menghilangkan rasa canggung yang sempat melingku
Bellia terkejut mendengarnya, tetapi Daniel malah tertawa.“Aku hanya bercanda,” ucap Daniel sambil mengusap puncak kepala Bellia dengan gemas. Dia buru-buru menurunkan tangannya setelah sadar dengan apa yang baru saja dirinya lakukan.“Sorry ...,” ucapnya pelan.Bellia hanya mengangguk sambil berusaha menormalkan kembali detak jantungnya.Keesokan harinya Daniel menepati ucapannya untuk datang menemui mereka. Seperti biasa dia menemani Marvell bermain sebentar setelah itu makan siang bersama Marvell dan Bellia.Obrolan mereka di meja makan mengalir begitu saja, tetapi lebih didominasi oleh Marvell yang menceritakan aktivitasnya di sekolah.“Kalian nanti malam ada acara?”Bellia seketika berhenti mengunyah makanannya lantas menatap Daniel dengan penuh tanda tanya.“Aku ingin mengajak kalian makan malam bersama.”Bellia tidak mampu menyembuyikan keterkejutannya, berbagai kemungkinan buruk seketika melintas di pikirannya.Bagaimana kalau ada orang yang melihatnya makan malam bersama Mar
Bellia sedang sibuk memotong sayur untuk dijadikan sup di dapur. Samar-samar telinganya mendengar Marvell yang sedang asyik menyusun lego dengan Daniel di ruang tengah. Terkadang Marvell tertawa kecil, bertanya tentang hal yang tidak dia ketahui, dan menceritakan banyak hal pada Daniel.Bellia tidak pernah menyangka jika hari ini akan tiba. Hari di mana Marvell akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya.Bellia pikir Marvell sudah bahagia hidup berdua dengannya. Sebagai seorang ibu pun dia sudah berusaha memberi yang terbaik untuk anak itu.Namun, dia ternyata salah. Marvell tetap membutuhkan sosok ayah untuk mendampingi hidupnya, lalu Daniel tiba-tiba saja datang dan menawarkan diri untuk merawat Marvell bersama-sama.Awalnya Bellia merasa ragu, apa lagi Daniel selama ini selalu bersikap dingin pada siapa pun. Akan tetapi, sosok Daniel yang dia lihat tadi benar-benar berbeda.Lelaki itu berbicara dengan sangat lembut pada Marvell. Tidak ada nada dingin dan intimidasi yang keluar dari
Bellia menatap kertas yang Daniel tunjukkan pada dirinya dengan perasaan tidak karuan, antara takut dan cemas. Terlebih setelah melihat logo sebuah rumah sakit yang tertulis di sana. Tanpa sadar dia menggelengkan kepala, menolak permintaan Daniel.“Kamu baca sendiri atau perlu aku yang membacanya?” tanya Daniel, suaranya terdengar rendah tetapi tegas. Menuntut Bellia agar segera membaca surat tersebut.Jantung Bellia berdetak tidak nyaman, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun berubah pucat. Bellia terlihat seperti anak kucing yang berhadapan dengan seekor serigala.Tatapan tajam Daniel membuat Bellia tidak berdaya. Dia tunduk, takluk di hadapan lelaki itu.Dengan tangan gemetar dia meraih kertas tersebut lalu membacanya. Sepasang iris hezel miliknya memperhatikan dengan lekat setiap kata yang tertulis di sana. Semakin ke bawah, jantung Bellia berdetak semakin tidak karuan. Apa lagi setelah menemukan hasil tes DNA Marvell dan Daniel.“99,99 persen cocok,”
Kaki Daniel bergerak gelisah, decakan kesal berulang kali lolos dari bibirnya. Daniel berusaha fokus memeriksa berkas yang ada di tangannya. Akan tetapi, dia tidak bisa fokus karena memikirkan hasil tes DNA-nya dan Marvell yang akan keluar hari ini.Waktu satu minggu terlalu lama bagi Daniel. Setiap hari dia terus mendesak rumah sakit yang dipilih Khaisar agar cepat memproses tes DNA-nya dan Marvell. Akan tetapi, ternyata banyak sekali prosedur yang harus mereka lakukan dan pihak rumah sakit memintanya untuk menunggu paling lama satu minggu.Daniel refleks mengangkat kepalanya ketika mendengar pintu ruangannya terbuka. Dia cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Khaisar yang baru masuk ke ruangannya dengan tidak sabar.“Bagaimana?”Khaisar tersenyum lalu mengambil sebuah amplop berlogo rumah sakit dari dalam tas yang dibawanya, setelah itu dia menyerahkannya ke Daniel.“Ini.”Daniel menatap amplop di tangan Khaisar dengan jantung berdetak hebat. Debarannya bahkan ja
Kondisi Amira berangsur-angsur membaik setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Bellia tidak pernah absen menjaga wanita itu. Dia hanya pulang sebentar untuk mengantar Marvell ke sekolah, setelah itu kembali ke rumah sakit dan meminta tolong Dita untuk menjemput Marvell di sekolah.Awalnya Marvell sempat protes karena selama lima hari ini waktunya lebih banyak tersita di rumah sakit. Sebagai seorang ibu Bellia sangat paham dengan apa yang Marvell rasakan. Anak itu pasti merindukan dirinya.Sejak kecil Marvell tidak pernah lepas darinya. Anak itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Dia bahkan membawa Marvell ke toko bunga sepulang sekolah karena dia tidak ingin merepotkan suster yang merawat neneknya di rumah. Mungkin karena alasan itu Marvell menjadi sangat bergantung pada dirinya.Jujur saja Bellia sebenarnya juga merindukan Marvell. Dia ingin mengantar jemput Marvell di sekolah seperti biasa, menemani anak itu mengerjakan tugas sekolah, menyiapkan sarapan, dan mem