Pulang dari rumah sakit, aku teringat apa yang disampaikan ayah tadi sore. Kenapa beliau tidak bisa menjadi wali nikahku? Kucari sosok paling baik di rumah. "Ayah mana, Bu?" aku bertanya pada ibu karena tak kutemukan ayah ada di rumah. "Oh, lagi ke rumah calon besan ada yang harus mereka obrolkan katanya," jawab ibu sambil melipat pakaian ayah. "Loh, ko gak bilang mau ke rumah abi. Ibu kenapa gak ikut?""Capek, Nak. Terus kasihan kamu di rumah sendirian nantinya. Ada apa cari ayah?""Bu, tadi sore ayah sempet bilang kalo dia tidak bisa jadi wali Tita kalo Tita nikah nanti. Kenapa, kan Tita anak ayah?""Oh, nanti ayah yang cerita dan jelasin ya, Nak.""Kenapa tidak ibu saja? Ibu pasti tau," kataku sedikit agak memaksa beliau. "Bukan wewenang ibu, Nak. Biar nanti ayah saja. Kamu makan sana, minum obat jangan lupa kan belum habis obatmu," perintah ibu. "Iya Bu, nanti kalo ayah pulang kasih tau ayah kalo Tita mau ngobrol ya, Bu," pintaku. "Besok lagi saja, Nak. Ayah pasti capek kalo
"Nanti akan ayah ceritakan semuanya, Nak.""Kenapa baru sekarang?""Ibu panggil ayah sebentar ya,"Aku mengangguk dan masih sibuk menyeka air mata di pipi. "Sini nak, peluk ayah."Perasaanku hancur berkeping-keping saat ayah bilang demikian, tak perlu jawaban iya karena dengan ayah memelukku itu sudah jawaban kalau aku memang bukan anak kandung ayah. Aku masih mematung di hadapan ayah, tak tahu harus berbuat apa. Berpikir bagaimana nanti aku menikah, bukan, bukan itu yang kupikirkan sekarang. Aku ingin tahu siapa ayah kandungku dan kenapa bisa ada ayah. "Siapa ayah kandungku?" tanyaku. Sunyi tak ada yang menjawab, ibu malah menunduk dengan mata berair begitupun dengan ayah yang berulang kali hendak memelukku tapi aku selalu menepisnya."Kami tidak tahu, Nak." Akhirnya ayah menjawabnya. "Kamu dibesarkan dari masih merah, seseorang mengirimmu kemari.""Siapa seseorang itu?""Ayah Kenzo," jawab ibu lalu berlari pergi ke kamar. Abi? Kenapa harus abi? Berarti perjodohan ini sudah mere
Sebuah euforia aksara yang diusung saban hari oleh para pujanggaSepertinya mulai menguap, terdistilasi mengembun hendak rebah pada awan jenuh yang menghitamEntah akan turun seperti derai hujan rindu penuh elegi, sarkas merangsek agar binasa atau malah mencumbu peluh sebuah asmara Terpenting adalahSeseorang akan terus memungut makna sebagai sarana pembelajarTenggelam dalam setiap jengkal aksara yang tertulis, bahkan dalam mulut bungkamTetapi tarian penuh celoteh ringan hingga gelak sandiwara serupa bayang bayang nirwanaNikmatilah, selagi tarian ini kita padu berduaTentang cinta, rindu, luka hingga beberapa yang tak perlu disebutkan, bisa kita cipta Selagi bisaSelagi adaSelagi di duniaMaukah kau menari bersama, Sayang?Kuketik diksi-diksi itu di layar handphone lalu kukirim pada seorang Kenzo Alfarizi. [Sayang, aku akan selalu bersamamu apapun yang akan terjadi di muka bumi ini.] balas pesan Ken. Aku menitikan bulir hangat di pelupuk mataku. Andai dia tahu kalau kita sama-
"Apa maksudmu?" tanya Ken dengan air matanya yang meleleh. Aku tahu diapun sakit mendapat cerita yang selama ini dia panggul ternyata hanya sandiwara semata. "Kamu bukan anak abi dan umi," kataku. "Gue anak siapaaaa... " teriak Ken. Aku makin tak kuasa menahan tangis. "Sabar sayang, orang tua kamu sudah meninggal.""Ya Tuhan,"Aku memeluk Ken dengan hati teriris perih. "Sayang, lalu apa langkah kita selanjutnya?""Aku gak tau, Ken. Bagaimana kata khalayak kalo wali nikahku ternyata mertuaku sendiri.""Astagaaa,""Jujur aku kecewa pada mereka, kenapa bisa mereka rahasiakan ini lama sekali.""Sayang, bagaimana kalo kita kawin lari saja." Sumpah, hal konyol itu keluar dari mulut seorang Kenzo. "Jangan gegabah, Ken.""Mereka saja sudah gegabah memalsukan identitas kita," pekiknya. "Kita mencontoh mereka?" tanyaku. "Iya lah,""Apa sah nanti pernikahan kita tanpa mereka?""Dan apakah sah mereka tidak memberitahu identitas asli kita?""Yang penting syarat sahnya kita penuhi meski deng
Ken memasak nasi di tempat penanak nasi baru, aku membuat telur dadar buat lauknya. Sederhana memang tapi kami bahagia. Kami makan seperti di lesehan, hanya beralaskan karpet seadanya. "Maafin aku ya, makan seadanya dulu. Besok kita belanja semua kebutuhan buat di sini," seru Ken mengusap kepalaku. "Gak apa-apa, Sayang,""Sekalian beli baju buat ganti di sini, oiya kita nikah di KUA saja besok biar tak jadi fitnah kita di sini berdua. Aku sih gak papa cuma aku hargai kamu sayang.""Kamu yakin akan melakukan semuanya, Ken?""Yakin banget, biar kamu jadi tanggungjawab aku.""Tapi kita gak boleh benci mereka ya," pintaku sambil memberikan minum ke depan Ken. "Tidak sayang, kita sudah dewasa punya hak menentukan hidup kita ke depannya.""Terima kasih mau bersamaku," pujiku kembali mataku berair. "Sayang, gak usah sedih lagi ya. Aku akan selalu di samping kamu."***Ayu berias sepasang mata memandang ranum JenggalaTempias air Curug bersenandung tentang manah yang berdarahDia, tergela
"Ada apa Bos?" tanya bang Kobra to the point pas nyampe rumah. "Bang, lu bisa bantu gue urus soal pernikahan gue sama Tita gak ke kantor KUA?""Loh, kan ada orang tua kalian. Gimana ceritanya gue yang urus?""Gue mau nikahin Tita tanpa mereka," tegas Ken mantap. Aku ke dapur membuatkan kopi untuk mereka. "Bos, jan gitu. Lu pan anak orang terhormat," ujar Bang Kobra. Masih kudengar obrolan mereka meski aku di dapur karena mereka ngobrol di ruang TV biar santai katanya. "Kita lagi ada problem, Bang. Banyak rahasia yang mereka sembunyikan selama puluhan tahun ini.""Soal apa?" tanya bang Kobra penasaran. "Interen Bang.""Yasudah, gue coba hubungi pak lebay ya.""Iya bang, tolongin kita. Abang dah seperti keluarga buat gue.""Iya, dah sini identitas kalian. Gue daftarin sekarang," katanya sambil menyeruput kopi yang masih panas itu. "Abisin dulu kopinya, Bang," kataku, dia mengangguk tersenyum. "Kalian masih muda apa kalian yakin melakukan ini semua? Neng Tita, orang tua kamu bagaim
Pukul 20.13 hujan turun perlahan, kutengok Ken dari jendela memastikan dia baik-baik saja. Dia tersenyum pasti menandakan kalau dia tidak apa di luar. Semoga dia jodohku, Tuhan.[Tidurlah, aku aman ko. Eh, jangan-jangan kamu pengen ditemenin ya tidurnya.] dasar Kenzo, dia mengirim pesan demikian.[Geer, mana ada. Aku cuma ingin memastikan calon papa dari anak-anakku gak digondol kucing, hahaha.][Hilih, dikira aku apaan. Dah sana tidur.][Siap.]Aku mulai bersiap untuk pergi tidur, namun ponsel berdering nyaring sekali. Ibu? "Assalamualaikum, Bu,""Waalaikumsalam, kamu di mana, Nak?""Tita baik-baik saja, maafin tita saat ini." Klik, kumatikan ponsel demi memutus percakapan itu. Sungguh, aku sakit melakukan ini tapi aku hanya ingin bersama Kenzo saat ini. Maafin Tita, Bu.Tok tok tok ! kaca jendela diketok Ken, aku menghampirinya."Kenapa?""Buatin aku kopi, Yank.""Sebentar, ya.""Siap nyonya." Senyum Ken mengembang.Gegas aku buatkan coffee late untuknya, kasihan dia harus tidur d
"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil melepaskan pelukannya."Kamu anakku." Bahkan ketika pernyataan itu diungkapkan ibu kandungku sendiri, aku tidak kaget malah sudah bisa kutebak ceritanya."Maaf, saya sedang tidak mau mendengar kisah-kisah usang. Saya hanya ingin bahagia saat ini, tentunya bareng Ken.""Kamu sudah tau?" tanyanya."Sorry, silahkan pergi. Calon ibu anak saya sedang tidak mau diganggu!" usir Ken, lantas dia menggandengku masuk ke dalam rumah lagi. "Ibu mohon nak, jangan menikah dengan Kenzo!" teriaknya membuat Ken kembali membuka pintu dan menghampirinya."Apa maksud anda? siapapun anda, kami tidak butuh saran anda," kata Ken."Kamu diam, Tita anak saya," tegasnya. Aku nyelonong sambil berkata,"Dan Ken calon suami saya, tolong jangan ikut campur urusan kami toh anda pun tak pernah turut campur membesarkan saya atau mendidik saya.""Tidak Nak, ini ibu kandungmu. Kamu bisa mendapatkan suami yang lebih pantas lagi.""Anda pikir anda orang baik?" tanya Ken terlihat sedang menah