"Angkat saja dulu," seru bu Indi. Aku pun manut. "Iya bu Assalamu'alaikum, ""Waalaikumsalam, di mana kamu? Mau hujan loh, ibu suruh Ken jemput kamu ya?""Gak usah, sebentar lagi aku pulang ko.""Yasudah, buruan.""Iya, Bu.""Pulang sana, sebelum hujan turun.""Yuk, bareng," ajakku. Tapi bu Indi menggeleng. "Cerita kita belum selesai, di mana anak ibu dan abi?""Tita, sudah. Cepet kamu pulang sana.""Ayolah bu,""Besok lagi saja,""Ibu janji ya cerita lagi ya,""Iya, sana pulang. Hati-hati ya."Akupun pulang sebelum hujan turun, semoga tidak ada anak buah Kenzo yang melihat aku dan bu Indi mengobrol. ***Kasih, kupagari taman-taman itu di lepas pantai ketika aku melewati hutan bebatuan. Padi-padi melambai, puisi pun ikut membentangkan langit pada burung-burung yang terbang karena merindukan sangkarnya. Angin berlari-lari kecil menjelang fajar ditengah sawah antara pohon kelapa dan sayap-sayap yang patah. Birahi memelas jenazah, menghilangkan jejak di pasir putih dengan bayangannya
Semburat jingga sore itu membuat aku betah berlama-lama di halaman belakang rumah. Memetik dedaunan juga bunga di sana, menikmati segarnya air terjun buatan di kolam ikan. "Nak," sapa ayah menghampiriku. "Iya, ayah." "Boleh ayah bicara sesuatu?""Tentu saja ayah, kenapa?""Sebentar lagi kamu akan menikah, ada yang harus kamu ketahui. Ayah tidak bisa jadi wali nikahmu.""Loh, kenapa ayah?""Ayaah, anter ibu ke pasar sebentar!" belum juga ayah menjawab, ibu datang minta tolong padanya. "Boleh, ayah anter ibumu dulu ya, Nak," pamitnya. "Iya ayah, hati-hati."Ayah mau ngomong apa tadi, kenapa dia bilang tak bisa jadi wali nikah aku? Apa yang salah denganku? [Di mana?] tanyaku dalam pesan singkat whatsapp. [Kangen ya, aku di rumah sakit. Jenguk Rio.] balas Ken. [Napa gak ngajak aku, kan pengen nengok dia juga,][Ya sudah aku jemput sekarang, kamu siap-siap gih.][Ok, Sayang.]Akupun segera berbenah, mengganti pakaian yang lebih sopan dan rapi. Berhijab sesuai syariat juga. Bagaiman
"Sudah, Yank?" tanya Ken. 'Udah," jawabku. Ken membayar apa yang kubeli barusan. Kamipun melanjutkan perjalanan ke arah rumah sakit. Tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, kami segera menuju ruangan di mana Rio dirawat. Dalam perjalanan, "Bos," sapa lelaki berperawakan tinggi ceking, tanpa lengan dia berbaju sampai kelihatan badannya penuh tato. "Woiy, Tur." mereka bersalaman lalu berpelukan dengan cara mereka. Aku baru lihat orang ini, sepertinya bukan genk nya Kenzo. "Kenalin nih, calon istri gue." Ken memperkenalkan aku, aku menautkan dua tangan di depan dada lalu menyebutkan namaku. "Tita,""Satura.""Lu ngapain ada di sini?" tanya Ken lagi, kami berjalan beriringan menuju kamar rawat inap. "Ibu gue, Bos, dirawat. Sakit Demam berdarah," jawab Satura. "Innalillahi, sekarang gimana keadaannya?" tanyaku prihatin mendengar ibunya sakit. "Masih, trombosit nya belum naik. Kalian mau nengok Rio? Gimana dia, gue belum sempet lihat. Si
Pulang dari rumah sakit, aku teringat apa yang disampaikan ayah tadi sore. Kenapa beliau tidak bisa menjadi wali nikahku? Kucari sosok paling baik di rumah. "Ayah mana, Bu?" aku bertanya pada ibu karena tak kutemukan ayah ada di rumah. "Oh, lagi ke rumah calon besan ada yang harus mereka obrolkan katanya," jawab ibu sambil melipat pakaian ayah. "Loh, ko gak bilang mau ke rumah abi. Ibu kenapa gak ikut?""Capek, Nak. Terus kasihan kamu di rumah sendirian nantinya. Ada apa cari ayah?""Bu, tadi sore ayah sempet bilang kalo dia tidak bisa jadi wali Tita kalo Tita nikah nanti. Kenapa, kan Tita anak ayah?""Oh, nanti ayah yang cerita dan jelasin ya, Nak.""Kenapa tidak ibu saja? Ibu pasti tau," kataku sedikit agak memaksa beliau. "Bukan wewenang ibu, Nak. Biar nanti ayah saja. Kamu makan sana, minum obat jangan lupa kan belum habis obatmu," perintah ibu. "Iya Bu, nanti kalo ayah pulang kasih tau ayah kalo Tita mau ngobrol ya, Bu," pintaku. "Besok lagi saja, Nak. Ayah pasti capek kalo
"Nanti akan ayah ceritakan semuanya, Nak.""Kenapa baru sekarang?""Ibu panggil ayah sebentar ya,"Aku mengangguk dan masih sibuk menyeka air mata di pipi. "Sini nak, peluk ayah."Perasaanku hancur berkeping-keping saat ayah bilang demikian, tak perlu jawaban iya karena dengan ayah memelukku itu sudah jawaban kalau aku memang bukan anak kandung ayah. Aku masih mematung di hadapan ayah, tak tahu harus berbuat apa. Berpikir bagaimana nanti aku menikah, bukan, bukan itu yang kupikirkan sekarang. Aku ingin tahu siapa ayah kandungku dan kenapa bisa ada ayah. "Siapa ayah kandungku?" tanyaku. Sunyi tak ada yang menjawab, ibu malah menunduk dengan mata berair begitupun dengan ayah yang berulang kali hendak memelukku tapi aku selalu menepisnya."Kami tidak tahu, Nak." Akhirnya ayah menjawabnya. "Kamu dibesarkan dari masih merah, seseorang mengirimmu kemari.""Siapa seseorang itu?""Ayah Kenzo," jawab ibu lalu berlari pergi ke kamar. Abi? Kenapa harus abi? Berarti perjodohan ini sudah mere
Sebuah euforia aksara yang diusung saban hari oleh para pujanggaSepertinya mulai menguap, terdistilasi mengembun hendak rebah pada awan jenuh yang menghitamEntah akan turun seperti derai hujan rindu penuh elegi, sarkas merangsek agar binasa atau malah mencumbu peluh sebuah asmara Terpenting adalahSeseorang akan terus memungut makna sebagai sarana pembelajarTenggelam dalam setiap jengkal aksara yang tertulis, bahkan dalam mulut bungkamTetapi tarian penuh celoteh ringan hingga gelak sandiwara serupa bayang bayang nirwanaNikmatilah, selagi tarian ini kita padu berduaTentang cinta, rindu, luka hingga beberapa yang tak perlu disebutkan, bisa kita cipta Selagi bisaSelagi adaSelagi di duniaMaukah kau menari bersama, Sayang?Kuketik diksi-diksi itu di layar handphone lalu kukirim pada seorang Kenzo Alfarizi. [Sayang, aku akan selalu bersamamu apapun yang akan terjadi di muka bumi ini.] balas pesan Ken. Aku menitikan bulir hangat di pelupuk mataku. Andai dia tahu kalau kita sama-
"Apa maksudmu?" tanya Ken dengan air matanya yang meleleh. Aku tahu diapun sakit mendapat cerita yang selama ini dia panggul ternyata hanya sandiwara semata. "Kamu bukan anak abi dan umi," kataku. "Gue anak siapaaaa... " teriak Ken. Aku makin tak kuasa menahan tangis. "Sabar sayang, orang tua kamu sudah meninggal.""Ya Tuhan,"Aku memeluk Ken dengan hati teriris perih. "Sayang, lalu apa langkah kita selanjutnya?""Aku gak tau, Ken. Bagaimana kata khalayak kalo wali nikahku ternyata mertuaku sendiri.""Astagaaa,""Jujur aku kecewa pada mereka, kenapa bisa mereka rahasiakan ini lama sekali.""Sayang, bagaimana kalo kita kawin lari saja." Sumpah, hal konyol itu keluar dari mulut seorang Kenzo. "Jangan gegabah, Ken.""Mereka saja sudah gegabah memalsukan identitas kita," pekiknya. "Kita mencontoh mereka?" tanyaku. "Iya lah,""Apa sah nanti pernikahan kita tanpa mereka?""Dan apakah sah mereka tidak memberitahu identitas asli kita?""Yang penting syarat sahnya kita penuhi meski deng
Ken memasak nasi di tempat penanak nasi baru, aku membuat telur dadar buat lauknya. Sederhana memang tapi kami bahagia. Kami makan seperti di lesehan, hanya beralaskan karpet seadanya. "Maafin aku ya, makan seadanya dulu. Besok kita belanja semua kebutuhan buat di sini," seru Ken mengusap kepalaku. "Gak apa-apa, Sayang,""Sekalian beli baju buat ganti di sini, oiya kita nikah di KUA saja besok biar tak jadi fitnah kita di sini berdua. Aku sih gak papa cuma aku hargai kamu sayang.""Kamu yakin akan melakukan semuanya, Ken?""Yakin banget, biar kamu jadi tanggungjawab aku.""Tapi kita gak boleh benci mereka ya," pintaku sambil memberikan minum ke depan Ken. "Tidak sayang, kita sudah dewasa punya hak menentukan hidup kita ke depannya.""Terima kasih mau bersamaku," pujiku kembali mataku berair. "Sayang, gak usah sedih lagi ya. Aku akan selalu di samping kamu."***Ayu berias sepasang mata memandang ranum JenggalaTempias air Curug bersenandung tentang manah yang berdarahDia, tergela