~Dalam kondisi seburuk apapun, tetap yang paling khawatir adalah orangtua~
Jidan menutup pintu mobilnya. Ia menendang rodanya, kesal sendiri dengan situasi yang ada sekarang. Malam semakin larut. Ia jelas belum mendapat kabar baik dari Yoga. Jidan melihat ke arah pintu rumahnya. Ada seseorang yang menunggunya di ambang pintu. Papanya."Nak, kamu baru pulang?" tanya Papanya Jidan. Jidan hanya mengangguk. Wajahnya tampak lelah sekali."Papa buatkan teh ya. Ayo masuk dulu. Kamu pasti capek."Papa Jidan melangkah masuk ke dalam dapur. Ia membuatkan secangkir teh hangat untuk Jidan. Jidan meletakkan jaketnya di atas sofa. Kemudia dia menjatuhkan badannya begitu saja. Satu tangannya sibuk memijat kepalanya sendiri."Papa dari tadi nungguinnya?" tanya Jidan yang melihat papanya datang dengan membawa secangkir teh hangat."Iya. Mama yang suruh. Kata Mama, Papa enggak boleh tidur sebelum kamu pulang. Ini tehnya, dimin~Tuhan selalu mengirim orang baik untuk orang baik lainnya~"Hai Kak Git! Apakah kakak baik-baik aja?" Cika berkata dengan nada lemah. Walau ia bersemangat karena akhirnya bisa bertemu dengan Sagita, tetap saja hatinya hancur melihat Sagita dalam kondisi yang menyedihkan seperti sekarang. Jilbab Sagita kusut dan belum lagi bajunya yang lusuh. Hal itu merupakan pemandangan yang sangat menyakitkan di mata Cika dan Risa."Ini kami bawakan makanan nasi Padang untuk Kakak. Kakak pasti suka." Risa menyodorkan bungkusan nasi Padang yang dibawanya. Sagita menghapus air matanya. Ia merasa terharu dengan apa yang Cika dan Risa lakukan. Padahal jelas sekali, Sagita merasa bersalah meninggalkan taksi begitu saja. Seharusnya dia tidak keluar dari taksi dan ikut pulang bersama Cika dan Risa. Jika hal itu terjadi, Sagita pasti tidak akan mendapatkan masalah seperti ini."Kakak minta maaf! Seharusnya kakak enggak...""Cukup Kak! Kami yang minta m
~Orang jahat biasanya akan sulit mendapatkan pekerjaan yang baik, itu sudah hukum alam~Delia membanting pintu kamarnya. Ia tidak peduli dengan badannya yang masih sakit. Badannya memang sakit, tapi rasa sakit itu terkalahkan dengan rasa khawatir pada bayinya."Tenanglah Delia. Anak kamu pasti akan segera diketemukan. Jangan banyak gerak dulu. Tubuh kamu belum pulih." Papa Delia sibuk menenangkan putrinya."Gimana bisa Delia tenang Pa? Bayi Delia enggak ada di tangan Delia sekarang. Dan papa apa percaya sama orangtuanya Danar? Bisa jadi karena dendam mereka malah menyakiti bayiku. Mereka semua harus mendapatkan balasannya. Bahkan termasuk Sagita. Aku menyesal kenapa sore itu harus menemuinya. Selalu saja sial jika aku berurusan dengan Sagita.""Sabar sayang! Sabar! Anak buah Papa sedang berusaha untuk menemukan cucu kesayangan papa itu. Dan masalah orangtua Danar serta Sagita, kamu jangan khawatir. Mereka semua akan mendapatkan hu
~Orang penting dan orang penting saling berteman itu adalah hal biasaPak Bay menatap ke arah Cika dan Risa. Ia lalu tersenyum. Tampaknya jelas ada sebuah gagasan yang muncul di dalam kepalanya."Atau kalian saja yang ikut kerja ke Australia. Masih bisa daftar untuk saat ini. Kalian rekan kerjanya Sagita di kebun kan? Kalian pasti kinerjanya tidak jauh dari kinerja Sagita."Cika dan Risa saling tatap. Bukan ini tujuan mereka untuk datang kemari. Mereka ingin Sagita bisa melanjutkan cita-citanya untuk bekerja di Australia, bukannya malah mereka yang menyerobot peluang Sagita."Enggak Pak. Kita enggak tertarik sekarang. Kitanya maunya Kak Sagita yang pergi. Lagian mana mungkin kami bisa ikut seleksinya. Kami butuh persiapan yang matang Pak."Penjelasan Risa disampaikan dengan sangat jelas. Cika juga mengangguk. Belum ada rencana untuk pergi jauh meninggalkan Indonesia."Kalian yakin? Ini saya tawarkan langsung
~Banyak yang semakin tua, tapi tidak semakin bijak~Sudah seminggu Sagita mendekam di dalam penjara. Waktu yang cukup menguras tenaga dan kesehatan mental Sagita. Ia merasa seperti tidak ada harapan bagi dirinya. Satu Minggu juga jelas bukan waktu yang sebentar bagi Delia. Ia terus saja marah-marah pada papanya karena dinilai lamban. Sebenarnya Papa Delia juga sudah mulai frustasi, lama-lama ia juga merasa muak dengan sikap anaknya yang dianggap tidak dewasa.Yoga mulai menemukan titik terang. Ia sudah mengantongi tempat dimana orangtua Danar tinggal. Itu berdasarkan tempat-tempat yang memungkinkan dikunjungi oleh orangtua Danar. Semua listing tempat-tempat itu diberikan oleh Danar."Jika nanti kamu bertemu dengan orangtua. Tolong jangan sakiti mereka." Danar berkata memelas pada Yoga. Dia sudah tidak ada di rumah sakit lagi. Namun ada di sebuah sel tahanan. Kondisi Danar yang membaik membuatnya bisa kembali dimasukkan ke sel tahanan. Yoga t
~Manusia normal seharusnya berambisi agar hidupnya bahagia. Bukan malah berambisi agar hidup orang lain menderita. Jadilah manusia normal. Bukan manusia setengah iblis~"Bayinya selamat. Ia demam tinggi karena mengalami alergi pada susu formula yang diberikan. Bayi yang dari lahir hanya minum asi, sebaiknya jangan asal diberi minum susu formula. Apalagi kalau bayinya alergi dengan susu formula yang berasal dari susu hewani. Itu bisa berbahaya bagi si bayi. Harus dipulihkan susu yang tepat." Dokter menjelaskan panjang lebar tentang kondisi bayi Delia. Yoga mengangguk. Ia tidak mengerti banyak soal susu bayi. Namun, melihat Delia bisa lega menggendong bayinya, itu sudah banyak membantu bagi Yoga. Hatinya tenang."Terima kasih banyak Dokter. Terima kasih banyak. Saya sangat senang dan tenang sekarang." Papa Delia berkata sambil menjabat tangan dokter itu. Dokter itu tersenyum dan beranjak meninggalkan semua orang di ruang perawatan."Untung kam
~Setiap manusia punya potensi untuk menjadi monster yang mau menang sendiri. Tinggal bagaimana caranya agar monster itu tidak benar-benar hidup dalam sanubari. Sekalinya ia hidup, maka manusia bisa jadi bukan manusia lagi~"Yoga! Aku dari tadi nyariin kamu muter-muter. Mana tadi nggak ada suster yang bisa ditanya lagi. Itu panggilan aku malah kamu tolak. Kamu kenapa sih?" Jidan datang langsung menemui Yoga. Yoga justru menepuk pundak Jidan."Ceritanya panjang Bro.""Kenapa Lu? Ada apa?" Jidan menyipitkan matanya. Yoga menceritakan semua yang baru saja terjadi. Jidan mengangguk, ia mengerti sekarang."Jadi maaf. Bukannya aku enggak mau angkat. Kamunya nelepon di saat yang tidak tepat. Kalau sekarang, ayo telepon aku. Aku bakal angkat.""Ya ngapain? Aku udah di depan hidung kamu Yoga.""Siapa tahu kamu rindu suaraku yang tampan di saluran telepon? Aku akan berikan apa yang kamu mau.""Dah gila ini an
~Nama manusia itu adalah anugerah~Setangkai bunga mawar, mekar sempurna. Warnanya merah menyala. Merah yang membuat siapa saja yang melihatnya menjadi semangat. Dan berkahnya lagi, mawar itu mekar tidak sendirian, ia mekar bersama puluhan mawar yang lainnya, yang juga ada di dalam kebun itu.Sagita memainkan guntingnya. Ia menggunting daun-daun mawar yang akan kering. Itu dilakukan agar bunga-bunga mawar itu lebih terlihat menarik di mata para calon pembeli. Sesekali Sagita menyempatkan diri menghirup aroma mawar itu. Harum sekali. Wanginya kontras dengan wangi penjara yang ia tempati seminggu yang lalu."Mawar, mawar apa yang bisa bikin lontong?" tanya Cika pada Risa."Kalau ngasih tebak-tebakan itu tolong yang masuk akal. Mana ada mawar bisa masak lontong." Risa menjawab sambil mengelap pot-pot bunga ya terbuat dari batu marmer."Adalah. Mawar anak tetangga kita, dia bisa buat lontong. Kan kemarin kamu yang makan lon
"Makan malam yang tepat dapat mengakrabkan siapapun~"Nanti malam?" Sagita bertanya pada Jidan. Jidan mengangguk."Yaudah. Nanti aku kasih tahu sama Cika dan Risa juga.""Eh! Jangan! Enggak ada yang ngajak dua bocah itu.""Maksudnya?" Sagita jadi bingung. Jidan justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Malam nanti, ia sengaja mau mengundang Sagita ke rumahnya untuk makan malam. Bukan makan malam biasa, Jidan sudah menyiapkan sebuah rencana."Kok Kakak bilang gitu? Emang kenapa? Cika sama Risa enggak boleh tahu? Kenapa memangnya? Bukannya biasanya kalau ada acara mereka juga selalu ikut?""Ini acara khusus untuk kita berdua aja Git. Cika Risa jangan diajak. Kita aja. Berdua.""Berdua? Kita enggak boleh berdua-duaan Kak. Nanti yang ketiga adalah setan.""Eh, anu! Maksudnya Kakak emang kita enggak berdua. Kita bareng keluarga kakak. Makan malam. Ada Anis, ada mama papa kakak juga.
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi