~Orang jahat biasanya akan sulit mendapatkan pekerjaan yang baik, itu sudah hukum alam~
Delia membanting pintu kamarnya. Ia tidak peduli dengan badannya yang masih sakit. Badannya memang sakit, tapi rasa sakit itu terkalahkan dengan rasa khawatir pada bayinya."Tenanglah Delia. Anak kamu pasti akan segera diketemukan. Jangan banyak gerak dulu. Tubuh kamu belum pulih." Papa Delia sibuk menenangkan putrinya."Gimana bisa Delia tenang Pa? Bayi Delia enggak ada di tangan Delia sekarang. Dan papa apa percaya sama orangtuanya Danar? Bisa jadi karena dendam mereka malah menyakiti bayiku. Mereka semua harus mendapatkan balasannya. Bahkan termasuk Sagita. Aku menyesal kenapa sore itu harus menemuinya. Selalu saja sial jika aku berurusan dengan Sagita.""Sabar sayang! Sabar! Anak buah Papa sedang berusaha untuk menemukan cucu kesayangan papa itu. Dan masalah orangtua Danar serta Sagita, kamu jangan khawatir. Mereka semua akan mendapatkan hu~Orang penting dan orang penting saling berteman itu adalah hal biasaPak Bay menatap ke arah Cika dan Risa. Ia lalu tersenyum. Tampaknya jelas ada sebuah gagasan yang muncul di dalam kepalanya."Atau kalian saja yang ikut kerja ke Australia. Masih bisa daftar untuk saat ini. Kalian rekan kerjanya Sagita di kebun kan? Kalian pasti kinerjanya tidak jauh dari kinerja Sagita."Cika dan Risa saling tatap. Bukan ini tujuan mereka untuk datang kemari. Mereka ingin Sagita bisa melanjutkan cita-citanya untuk bekerja di Australia, bukannya malah mereka yang menyerobot peluang Sagita."Enggak Pak. Kita enggak tertarik sekarang. Kitanya maunya Kak Sagita yang pergi. Lagian mana mungkin kami bisa ikut seleksinya. Kami butuh persiapan yang matang Pak."Penjelasan Risa disampaikan dengan sangat jelas. Cika juga mengangguk. Belum ada rencana untuk pergi jauh meninggalkan Indonesia."Kalian yakin? Ini saya tawarkan langsung
~Banyak yang semakin tua, tapi tidak semakin bijak~Sudah seminggu Sagita mendekam di dalam penjara. Waktu yang cukup menguras tenaga dan kesehatan mental Sagita. Ia merasa seperti tidak ada harapan bagi dirinya. Satu Minggu juga jelas bukan waktu yang sebentar bagi Delia. Ia terus saja marah-marah pada papanya karena dinilai lamban. Sebenarnya Papa Delia juga sudah mulai frustasi, lama-lama ia juga merasa muak dengan sikap anaknya yang dianggap tidak dewasa.Yoga mulai menemukan titik terang. Ia sudah mengantongi tempat dimana orangtua Danar tinggal. Itu berdasarkan tempat-tempat yang memungkinkan dikunjungi oleh orangtua Danar. Semua listing tempat-tempat itu diberikan oleh Danar."Jika nanti kamu bertemu dengan orangtua. Tolong jangan sakiti mereka." Danar berkata memelas pada Yoga. Dia sudah tidak ada di rumah sakit lagi. Namun ada di sebuah sel tahanan. Kondisi Danar yang membaik membuatnya bisa kembali dimasukkan ke sel tahanan. Yoga t
~Manusia normal seharusnya berambisi agar hidupnya bahagia. Bukan malah berambisi agar hidup orang lain menderita. Jadilah manusia normal. Bukan manusia setengah iblis~"Bayinya selamat. Ia demam tinggi karena mengalami alergi pada susu formula yang diberikan. Bayi yang dari lahir hanya minum asi, sebaiknya jangan asal diberi minum susu formula. Apalagi kalau bayinya alergi dengan susu formula yang berasal dari susu hewani. Itu bisa berbahaya bagi si bayi. Harus dipulihkan susu yang tepat." Dokter menjelaskan panjang lebar tentang kondisi bayi Delia. Yoga mengangguk. Ia tidak mengerti banyak soal susu bayi. Namun, melihat Delia bisa lega menggendong bayinya, itu sudah banyak membantu bagi Yoga. Hatinya tenang."Terima kasih banyak Dokter. Terima kasih banyak. Saya sangat senang dan tenang sekarang." Papa Delia berkata sambil menjabat tangan dokter itu. Dokter itu tersenyum dan beranjak meninggalkan semua orang di ruang perawatan."Untung kam
~Setiap manusia punya potensi untuk menjadi monster yang mau menang sendiri. Tinggal bagaimana caranya agar monster itu tidak benar-benar hidup dalam sanubari. Sekalinya ia hidup, maka manusia bisa jadi bukan manusia lagi~"Yoga! Aku dari tadi nyariin kamu muter-muter. Mana tadi nggak ada suster yang bisa ditanya lagi. Itu panggilan aku malah kamu tolak. Kamu kenapa sih?" Jidan datang langsung menemui Yoga. Yoga justru menepuk pundak Jidan."Ceritanya panjang Bro.""Kenapa Lu? Ada apa?" Jidan menyipitkan matanya. Yoga menceritakan semua yang baru saja terjadi. Jidan mengangguk, ia mengerti sekarang."Jadi maaf. Bukannya aku enggak mau angkat. Kamunya nelepon di saat yang tidak tepat. Kalau sekarang, ayo telepon aku. Aku bakal angkat.""Ya ngapain? Aku udah di depan hidung kamu Yoga.""Siapa tahu kamu rindu suaraku yang tampan di saluran telepon? Aku akan berikan apa yang kamu mau.""Dah gila ini an
~Nama manusia itu adalah anugerah~Setangkai bunga mawar, mekar sempurna. Warnanya merah menyala. Merah yang membuat siapa saja yang melihatnya menjadi semangat. Dan berkahnya lagi, mawar itu mekar tidak sendirian, ia mekar bersama puluhan mawar yang lainnya, yang juga ada di dalam kebun itu.Sagita memainkan guntingnya. Ia menggunting daun-daun mawar yang akan kering. Itu dilakukan agar bunga-bunga mawar itu lebih terlihat menarik di mata para calon pembeli. Sesekali Sagita menyempatkan diri menghirup aroma mawar itu. Harum sekali. Wanginya kontras dengan wangi penjara yang ia tempati seminggu yang lalu."Mawar, mawar apa yang bisa bikin lontong?" tanya Cika pada Risa."Kalau ngasih tebak-tebakan itu tolong yang masuk akal. Mana ada mawar bisa masak lontong." Risa menjawab sambil mengelap pot-pot bunga ya terbuat dari batu marmer."Adalah. Mawar anak tetangga kita, dia bisa buat lontong. Kan kemarin kamu yang makan lon
"Makan malam yang tepat dapat mengakrabkan siapapun~"Nanti malam?" Sagita bertanya pada Jidan. Jidan mengangguk."Yaudah. Nanti aku kasih tahu sama Cika dan Risa juga.""Eh! Jangan! Enggak ada yang ngajak dua bocah itu.""Maksudnya?" Sagita jadi bingung. Jidan justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Malam nanti, ia sengaja mau mengundang Sagita ke rumahnya untuk makan malam. Bukan makan malam biasa, Jidan sudah menyiapkan sebuah rencana."Kok Kakak bilang gitu? Emang kenapa? Cika sama Risa enggak boleh tahu? Kenapa memangnya? Bukannya biasanya kalau ada acara mereka juga selalu ikut?""Ini acara khusus untuk kita berdua aja Git. Cika Risa jangan diajak. Kita aja. Berdua.""Berdua? Kita enggak boleh berdua-duaan Kak. Nanti yang ketiga adalah setan.""Eh, anu! Maksudnya Kakak emang kita enggak berdua. Kita bareng keluarga kakak. Makan malam. Ada Anis, ada mama papa kakak juga.
~Saat momen sakral, terkadang hal-hal aneh justru bisa terjadi, merusak momen sakral tersebut~Yoga menyetir mobil dengan sangat tidak semangat. Matanya sayu. Malam itu, sepertinya bukanlah malam yang baik untuknya. Ia merasa dirinya kurang beruntung, jauh berbeda dengan Jidan yang saat ini Yoga yakin sedang berbahagia.Bagaimana Jidan tidak berbahagia, wanita yang dicintainya sedang makan bersama dengan keluarganya. Sagita malam itu juga terlihat sangat cantik di mata Jidan. Pakaiannya, senyumnya, bahkan plastik buah tangan yang dibawa Sagita sajapun menarik di mata Jidan."Om, Tante, makasih banyak ya, atas udangan makan malamnya." Sagita berkata sambil menganggukkan kepala."Loh, siapa yang ngundang kamu Git? Bukan kami. Tapi ituloh Jidan. Jidan yang mengundang kamu. Kami juga malam ini diundang sama dia. Enggak tau tuh, kenapa. Katanya malam ini, dia mau ngomong serius. Haduh, Jidan kadang emang suka gitu, suka buat penasaran.
~Siapa yang bersalah, dialah yang harus merasa bersalah bukan orang lain. Rasa sungkan itu terkadang harus dikendalikan dengan baik~"Alhamdulillah!"Semua orang memuji Tuhan begitu Jidan bersin. Dan memang seperti itu sunahnya. Jidan juga menyambut perkataan baik itu dengan Yarhamkumullah. Ia lalu menarik napas lega, hidungnya juga sudah tidak gatal lagi. Anis dengan sigap memberikan Jidan sebotol hand sanitizer. Jidan menerimanya dan langsung menggunakannya di tangan. Melihat tangannya bersih, Jidan seperti sadar akan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ada di tangannya yang kosong sekarang. Otaknya seolah lamban memproses apa yang tengah terjadi. Lalu, ketika otaknya bisa menerima informasi yang sebenarnya, Jidan langsung memekik."Cincin! Cincin! Mana cincinnya?"Spontan semua orang panik. Anis langsung turun ke bawah meja, melihat apakah cincin yang dipegang Jidan tadi jatuh ke bawah meja. Papanya dJidan meraba-raba