~Saat momen sakral, terkadang hal-hal aneh justru bisa terjadi, merusak momen sakral tersebut~
Yoga menyetir mobil dengan sangat tidak semangat. Matanya sayu. Malam itu, sepertinya bukanlah malam yang baik untuknya. Ia merasa dirinya kurang beruntung, jauh berbeda dengan Jidan yang saat ini Yoga yakin sedang berbahagia.Bagaimana Jidan tidak berbahagia, wanita yang dicintainya sedang makan bersama dengan keluarganya. Sagita malam itu juga terlihat sangat cantik di mata Jidan. Pakaiannya, senyumnya, bahkan plastik buah tangan yang dibawa Sagita sajapun menarik di mata Jidan."Om, Tante, makasih banyak ya, atas udangan makan malamnya." Sagita berkata sambil menganggukkan kepala."Loh, siapa yang ngundang kamu Git? Bukan kami. Tapi ituloh Jidan. Jidan yang mengundang kamu. Kami juga malam ini diundang sama dia. Enggak tau tuh, kenapa. Katanya malam ini, dia mau ngomong serius. Haduh, Jidan kadang emang suka gitu, suka buat penasaran.~Siapa yang bersalah, dialah yang harus merasa bersalah bukan orang lain. Rasa sungkan itu terkadang harus dikendalikan dengan baik~"Alhamdulillah!"Semua orang memuji Tuhan begitu Jidan bersin. Dan memang seperti itu sunahnya. Jidan juga menyambut perkataan baik itu dengan Yarhamkumullah. Ia lalu menarik napas lega, hidungnya juga sudah tidak gatal lagi. Anis dengan sigap memberikan Jidan sebotol hand sanitizer. Jidan menerimanya dan langsung menggunakannya di tangan. Melihat tangannya bersih, Jidan seperti sadar akan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ada di tangannya yang kosong sekarang. Otaknya seolah lamban memproses apa yang tengah terjadi. Lalu, ketika otaknya bisa menerima informasi yang sebenarnya, Jidan langsung memekik."Cincin! Cincin! Mana cincinnya?"Spontan semua orang panik. Anis langsung turun ke bawah meja, melihat apakah cincin yang dipegang Jidan tadi jatuh ke bawah meja. Papanya dJidan meraba-raba
~Teman adalah tempat pelarian di saat wajah mendung berawan. Meminta satu dua pencerahan adalah salah satu cara terbaik~Yoga memarkirkan mobilnya. Ia melihat sekilas rumah Jidan. Rumah yang dalam satu bulan belakangan tidak ia kunjungi. Yoga melirik ke arah depan garasi. Ia melihat Jidan yang baru saja menutup garasinya. Sebuah kebetulan. Ia tidak perlu mengetuk pintu rumah itu. Jidan sendiri menyipitkan matanya. Ia memperhatikan Yoga yang masuk ke halaman rumahnya."Hola! Dari mana Luh Dan? Jam segini baru masukin mobil ke garasi." Yoga menyapa Jidan dan langsung duduk di depan teras."Kalau baru dateng itu bilangnya Assalamualaikum. Gitu sunnahnya. Bukannya hola-hola.""Yakan cuman sunah.""Jangan menyepelekan sunah Yoga. Itu ada pahalanya. Kamu ini, kalau dibilangin ngeyel. Udah kayak manusia paling banyak pahalanya aja, enggak butuh amalan sunah." Jidan menggeleng-gelengkan kepalanya. Malam itu suasana malam memang
~Apa yang hilang, jangan terlalu disedihkan. Bisa jadi yang hilang itu akan ditemukan kembali atau bahkan jika tidak ditemukan kembali, yang hilang itu akan digantikan dengan yang lebih baik. Selalu begitu adanya dalam hidup ini~Mana yang lebih menggembirakan? Kabar tentang Sagita yang sudah menerima lamaran Jidan? Atau opor ayam yang terhidang di atas meja? Jawabannya bagi Cika jelas opor ayam."Ini nih, kalau mamanya Kak Jidan buka usaha kuliner, pasti usahanya laris manis. Enyak banget ini." Cika berkata sambil mulutnya penuh dengan nasi dan opor ayam."Makan itu dikunyah, jangan asal diteken." Risa mencoba mengingatkan."Seyamat atas pertunangan kakak dengan Kak Jidan ya. Kami siap jadi bridesmaidnya kakak." Cika bicara lagi dengan kondisi mulut yang masih tetap penuh."Ini udah kami prediksi sih. Pasti suatu hari nanti hati kakak akan terbuka. Pasti itu. Tinggal menunggu waktu."Sagita mengangguk
~Belajarlah dari setiap kejadian yang terjadi~Sagita menampakkan jarinya yang telah dipasangi cincin pada Jidan. Jidan yang melihatnya langsung kaget dan bersorak. Sagita hanya tertawa melihat ekspresi Jidan. Pagi itu, mereka semua yang ada di kebun juga merasakan euforia kebahagiaan itu. Bahkan Anis dan mamanya sampai berpelukan karena senang. Mereka semua bahagia kecuali Cika."Hari ini, aku mau permisi dulu ya." Sagita berkata pada Jidan."Loh, kenapa?" Jidan mengerutkan dahinya."Mau ke dokter.""Kamu sakit apa Git?" Jidan langsung khawatir. Ia menduga jika Sagita tengah sakit. Namun, Sagita menggeleng. Ia menceritakan bagaimana bisa cincin itu ditemukan dan efeknya pada gigi Cika."Ini semua karena Kakak." Cika berkata dengan nada kesal sambil terus memegangi pipinya."Maaf Cika. Kakak enggak tahu kalau cincinnya jatuh ke opor ayam. Maaf ya. Semoga gigi kamu cepat sembuh. Kalau enggak sembuh
~Orangtua adalah teladan bagi anak-anaknya~Dalam hidup ini, setiap manusia selalu memiliki pilihan. Yoga, juga sudah punya pilihan. Pilihan untuk mengutarakan rasa cintanya pada Delia, sekali lagi. Walau kali ini, dia bukan hanya ingin itu, tapi juga ingin lebih. Ia ingin melamar Delia. Sama seperti Jidan melamar Sagita, di depan orangtua Delia.Mama Delia tidak tinggal di Indonesia. Hanya ada ada papanya yang tinggal bersama Delia. Sejak Delia bercerai dengan Danar, mamanya Delia memilih untuk tinggal di Amerika. Itu pilihan terbaik katanya. Tujuannya untuk meredam rasa malu akibat kehancuran rumah tangga Delia. Bagaimanapun menjadi orang terpandang itu tidak mudah. Selalu ada beban sosial yang ditanggung.Sore itu, saat sehabis waktu adzan Ashar, Yoga pergi ke rumah Delia. Rumah yang seharusnya saat ini diselimuti kebahagiaan karena anggota kekuarga yang paling kecil sudah kembali ke pangkuan ibunya."Halo Yoga!" Pa
~Mempertimbangkan segala sesuatu untuk masa depan adalah hal yang sangat penting~"Jadi, apakah restu itu saya dapatkan Pak?" Yoga bertanya dengan wajah yang amat sangat berharap. Papa Delia menatap ke arah Yoga. Ia mengangguk. Sebuah anggukan yang tidak perlu dijelaskan lagi apa maknanya. Papa Delia setuju.Namun jalan Yoga belum selesai. Ia masih harus berhadapan dengan Delia. Selama ini mereka memang dekat. Apalagi saat Yoga berhasil menyelamatkan bayi Delia. Yoga seperti malaikat tanpa sayap bagi Delia. Dan hal itu juga yang mendorong Yoga untuk percaya diri mengungkapkan perasannya di depan Delia."Om akan panggilkan dia."Papa Delia berdiri dan menuju ke dalam rumah. Yoga menunggu dengan perasaan berdebar. Ia serasa tidak tahu sehancur apa hatinya jika Delia menolak.Derap langkah Delia terdengar. Cukup lama Yoga menunggu. Waktu menunggu itu disempatkan oleh Yoga untuk berdoa. Berdoa agar Delia mau men
~Menunggu kepastian itu memang sulit~Jemuran kalau digantung kering, tapi bagaimana dengan perasaan Yoga. Apakah juga akan kering? Jelasnya bukan ini yang dia mau. Digantung seperti ini jelas tidak enak.Malam itu alunan musik kafe yang Yoga dan Jidan datangi memainkan lagu patah hati. Yoga tidak suka mendengarnya. Lagu itu serupa mewakili perasannya. Walau belum waktunya dia untuk patah hati, namun harapan itu ia rasa sangat sedikit."Seharusnya kau mendesak Delia itu menjawab saat itu juga. Bukannya malah memberi waktu. Sekarang? Rasakan sendiri. Kau akan berada dalam fase kegalauan yang sebenarnya. Makan tak kenyang, tidur tak nyenyak, mandi tak basah. Semuanya terasa serba salah. Waiters!"Jidan tidak memberi kesempatan Yoga menyanggah perkataanya terlebih dahulu. Ia keburu memanggil pelayan kafe. Pelayan kafe segera menghampiri meja mereka."Nasi goreng seafood 2, kopi 2, dan tolong kentang gorengnya 2 porsi
~Pesta pernikahan yang terbaik adalah impian bagi setiap calon pengantik~"Kalian berdua akan menikah satu bulan lagi. Itu artinya butuh persiapan. Persiapannya harus matang. Agar pernikahan itu meriah, megah dan banyak mengundang orang. Jelasnya pernikahan itu harus bisa dibanggakan. Pelaminannya yang bagus, makannya yang enak-enak, bajunya yang bagus-bagus, bahkan harus ada video cinematic dan juga undangan menggunakan format digital.""Cik. Bisakah kau diam sejenak." Risa mencoba menutup mulut Cika. Namun, Cika malah menepis tangan Risa. Ia merasa keberatan jika harus diam."Mulut manusia diciptakan untuk dua hal. Pertama itu untuk nyerocos dan kedua untuk makan. Nah, aku lagi pakai mulutku yang berkekuatan tinggi ini untuk nyerocos. Seharusnya tidak ada masalah bukan? Apa salahnya. Mulut digunakan untuk nyerocos itu jelas hal yang benar."Risa hanya mendelik. Ingin sekali dia melempar Cika dengan novel yang sedang ia bac
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi