~Setiap manusia punya potensi untuk menjadi monster yang mau menang sendiri. Tinggal bagaimana caranya agar monster itu tidak benar-benar hidup dalam sanubari. Sekalinya ia hidup, maka manusia bisa jadi bukan manusia lagi~
"Yoga! Aku dari tadi nyariin kamu muter-muter. Mana tadi nggak ada suster yang bisa ditanya lagi. Itu panggilan aku malah kamu tolak. Kamu kenapa sih?" Jidan datang langsung menemui Yoga. Yoga justru menepuk pundak Jidan."Ceritanya panjang Bro.""Kenapa Lu? Ada apa?" Jidan menyipitkan matanya. Yoga menceritakan semua yang baru saja terjadi. Jidan mengangguk, ia mengerti sekarang."Jadi maaf. Bukannya aku enggak mau angkat. Kamunya nelepon di saat yang tidak tepat. Kalau sekarang, ayo telepon aku. Aku bakal angkat.""Ya ngapain? Aku udah di depan hidung kamu Yoga.""Siapa tahu kamu rindu suaraku yang tampan di saluran telepon? Aku akan berikan apa yang kamu mau.""Dah gila ini an~Nama manusia itu adalah anugerah~Setangkai bunga mawar, mekar sempurna. Warnanya merah menyala. Merah yang membuat siapa saja yang melihatnya menjadi semangat. Dan berkahnya lagi, mawar itu mekar tidak sendirian, ia mekar bersama puluhan mawar yang lainnya, yang juga ada di dalam kebun itu.Sagita memainkan guntingnya. Ia menggunting daun-daun mawar yang akan kering. Itu dilakukan agar bunga-bunga mawar itu lebih terlihat menarik di mata para calon pembeli. Sesekali Sagita menyempatkan diri menghirup aroma mawar itu. Harum sekali. Wanginya kontras dengan wangi penjara yang ia tempati seminggu yang lalu."Mawar, mawar apa yang bisa bikin lontong?" tanya Cika pada Risa."Kalau ngasih tebak-tebakan itu tolong yang masuk akal. Mana ada mawar bisa masak lontong." Risa menjawab sambil mengelap pot-pot bunga ya terbuat dari batu marmer."Adalah. Mawar anak tetangga kita, dia bisa buat lontong. Kan kemarin kamu yang makan lon
"Makan malam yang tepat dapat mengakrabkan siapapun~"Nanti malam?" Sagita bertanya pada Jidan. Jidan mengangguk."Yaudah. Nanti aku kasih tahu sama Cika dan Risa juga.""Eh! Jangan! Enggak ada yang ngajak dua bocah itu.""Maksudnya?" Sagita jadi bingung. Jidan justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Malam nanti, ia sengaja mau mengundang Sagita ke rumahnya untuk makan malam. Bukan makan malam biasa, Jidan sudah menyiapkan sebuah rencana."Kok Kakak bilang gitu? Emang kenapa? Cika sama Risa enggak boleh tahu? Kenapa memangnya? Bukannya biasanya kalau ada acara mereka juga selalu ikut?""Ini acara khusus untuk kita berdua aja Git. Cika Risa jangan diajak. Kita aja. Berdua.""Berdua? Kita enggak boleh berdua-duaan Kak. Nanti yang ketiga adalah setan.""Eh, anu! Maksudnya Kakak emang kita enggak berdua. Kita bareng keluarga kakak. Makan malam. Ada Anis, ada mama papa kakak juga.
~Saat momen sakral, terkadang hal-hal aneh justru bisa terjadi, merusak momen sakral tersebut~Yoga menyetir mobil dengan sangat tidak semangat. Matanya sayu. Malam itu, sepertinya bukanlah malam yang baik untuknya. Ia merasa dirinya kurang beruntung, jauh berbeda dengan Jidan yang saat ini Yoga yakin sedang berbahagia.Bagaimana Jidan tidak berbahagia, wanita yang dicintainya sedang makan bersama dengan keluarganya. Sagita malam itu juga terlihat sangat cantik di mata Jidan. Pakaiannya, senyumnya, bahkan plastik buah tangan yang dibawa Sagita sajapun menarik di mata Jidan."Om, Tante, makasih banyak ya, atas udangan makan malamnya." Sagita berkata sambil menganggukkan kepala."Loh, siapa yang ngundang kamu Git? Bukan kami. Tapi ituloh Jidan. Jidan yang mengundang kamu. Kami juga malam ini diundang sama dia. Enggak tau tuh, kenapa. Katanya malam ini, dia mau ngomong serius. Haduh, Jidan kadang emang suka gitu, suka buat penasaran.
~Siapa yang bersalah, dialah yang harus merasa bersalah bukan orang lain. Rasa sungkan itu terkadang harus dikendalikan dengan baik~"Alhamdulillah!"Semua orang memuji Tuhan begitu Jidan bersin. Dan memang seperti itu sunahnya. Jidan juga menyambut perkataan baik itu dengan Yarhamkumullah. Ia lalu menarik napas lega, hidungnya juga sudah tidak gatal lagi. Anis dengan sigap memberikan Jidan sebotol hand sanitizer. Jidan menerimanya dan langsung menggunakannya di tangan. Melihat tangannya bersih, Jidan seperti sadar akan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ada di tangannya yang kosong sekarang. Otaknya seolah lamban memproses apa yang tengah terjadi. Lalu, ketika otaknya bisa menerima informasi yang sebenarnya, Jidan langsung memekik."Cincin! Cincin! Mana cincinnya?"Spontan semua orang panik. Anis langsung turun ke bawah meja, melihat apakah cincin yang dipegang Jidan tadi jatuh ke bawah meja. Papanya dJidan meraba-raba
~Teman adalah tempat pelarian di saat wajah mendung berawan. Meminta satu dua pencerahan adalah salah satu cara terbaik~Yoga memarkirkan mobilnya. Ia melihat sekilas rumah Jidan. Rumah yang dalam satu bulan belakangan tidak ia kunjungi. Yoga melirik ke arah depan garasi. Ia melihat Jidan yang baru saja menutup garasinya. Sebuah kebetulan. Ia tidak perlu mengetuk pintu rumah itu. Jidan sendiri menyipitkan matanya. Ia memperhatikan Yoga yang masuk ke halaman rumahnya."Hola! Dari mana Luh Dan? Jam segini baru masukin mobil ke garasi." Yoga menyapa Jidan dan langsung duduk di depan teras."Kalau baru dateng itu bilangnya Assalamualaikum. Gitu sunnahnya. Bukannya hola-hola.""Yakan cuman sunah.""Jangan menyepelekan sunah Yoga. Itu ada pahalanya. Kamu ini, kalau dibilangin ngeyel. Udah kayak manusia paling banyak pahalanya aja, enggak butuh amalan sunah." Jidan menggeleng-gelengkan kepalanya. Malam itu suasana malam memang
~Apa yang hilang, jangan terlalu disedihkan. Bisa jadi yang hilang itu akan ditemukan kembali atau bahkan jika tidak ditemukan kembali, yang hilang itu akan digantikan dengan yang lebih baik. Selalu begitu adanya dalam hidup ini~Mana yang lebih menggembirakan? Kabar tentang Sagita yang sudah menerima lamaran Jidan? Atau opor ayam yang terhidang di atas meja? Jawabannya bagi Cika jelas opor ayam."Ini nih, kalau mamanya Kak Jidan buka usaha kuliner, pasti usahanya laris manis. Enyak banget ini." Cika berkata sambil mulutnya penuh dengan nasi dan opor ayam."Makan itu dikunyah, jangan asal diteken." Risa mencoba mengingatkan."Seyamat atas pertunangan kakak dengan Kak Jidan ya. Kami siap jadi bridesmaidnya kakak." Cika bicara lagi dengan kondisi mulut yang masih tetap penuh."Ini udah kami prediksi sih. Pasti suatu hari nanti hati kakak akan terbuka. Pasti itu. Tinggal menunggu waktu."Sagita mengangguk
~Belajarlah dari setiap kejadian yang terjadi~Sagita menampakkan jarinya yang telah dipasangi cincin pada Jidan. Jidan yang melihatnya langsung kaget dan bersorak. Sagita hanya tertawa melihat ekspresi Jidan. Pagi itu, mereka semua yang ada di kebun juga merasakan euforia kebahagiaan itu. Bahkan Anis dan mamanya sampai berpelukan karena senang. Mereka semua bahagia kecuali Cika."Hari ini, aku mau permisi dulu ya." Sagita berkata pada Jidan."Loh, kenapa?" Jidan mengerutkan dahinya."Mau ke dokter.""Kamu sakit apa Git?" Jidan langsung khawatir. Ia menduga jika Sagita tengah sakit. Namun, Sagita menggeleng. Ia menceritakan bagaimana bisa cincin itu ditemukan dan efeknya pada gigi Cika."Ini semua karena Kakak." Cika berkata dengan nada kesal sambil terus memegangi pipinya."Maaf Cika. Kakak enggak tahu kalau cincinnya jatuh ke opor ayam. Maaf ya. Semoga gigi kamu cepat sembuh. Kalau enggak sembuh
~Orangtua adalah teladan bagi anak-anaknya~Dalam hidup ini, setiap manusia selalu memiliki pilihan. Yoga, juga sudah punya pilihan. Pilihan untuk mengutarakan rasa cintanya pada Delia, sekali lagi. Walau kali ini, dia bukan hanya ingin itu, tapi juga ingin lebih. Ia ingin melamar Delia. Sama seperti Jidan melamar Sagita, di depan orangtua Delia.Mama Delia tidak tinggal di Indonesia. Hanya ada ada papanya yang tinggal bersama Delia. Sejak Delia bercerai dengan Danar, mamanya Delia memilih untuk tinggal di Amerika. Itu pilihan terbaik katanya. Tujuannya untuk meredam rasa malu akibat kehancuran rumah tangga Delia. Bagaimanapun menjadi orang terpandang itu tidak mudah. Selalu ada beban sosial yang ditanggung.Sore itu, saat sehabis waktu adzan Ashar, Yoga pergi ke rumah Delia. Rumah yang seharusnya saat ini diselimuti kebahagiaan karena anggota kekuarga yang paling kecil sudah kembali ke pangkuan ibunya."Halo Yoga!" Pa