~Serapi apapun kejahatan disembunyikan, ada masanya kejahatan itu mencuat sendiri ke permukaan. Dan bila hal itu sudah tiba, hanya masalah waktu kejahatan itu akan terbalaskan~"Sebentar ya, aku mau ke toilet dulu." Sagita berkata pada semuanya. Suasana bandara masih terlihat ramai dengan kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang."Ikut!" teriak Cika."Ikut!" Yoga juga ikut teriak memperagakan cara Cika teriak. Jidan menepuk bibir Yoga, sementara wajah Cika sudah cemberut duluan."Dasar anak bebek. Kemana-mana mau ikut.""Kak Yoga bawel!" Cika berlalu sambil menarik tangan Sagita. Mereka berjalan berdua menuju ke toilet. Toilet wanita di bandara itu tengah sepi. Hanya ada Sagita dan Cika di dalamnya. Sagita merapikan hijabnya dan merapikan sedikit riasan tipis yang ada di wajahnya."Cklek!" bunyi pintu terbuka terdengar. Suara high heels yang dihentakkan ke lantai sangat jelas terdengar di telinga. Sagita men
~Ketika kita mendapatkan sesuatu, bisa jadi kita justru telah kehilangan banyak untuk sesuatu yang kita dapatkan itu~"Kamu mau buat aku malu? Iya?" Delia menatap Danar dengan tatapan penuh amarah. Ia kecewa mengetahui jika Danar masih menyayangi Sagita. Mobil yang mereka naiki berdua berjalan pelan. Menyisakan seorang sopir yang bingung melihat dua penumpang di belakangnya yang naik ke mobil dengan kaeadaan penuh emosi. Untunglah sopir itu adalah sopir pribadi Delia. Jadi, ia sudah paham situasinya dan memilih untuk tidak ikut campur."Jawab aku Danar! Jangan hanya diam!" Delia semakin kalap melihat Danar yang terus saja diam."Apa kamu tidak kasihan dengan Sagita? Dia aku tinggalin gitu aja? Demi siapa? Demi kamu, kan? Aku cuman mau ngomong empat mata sama dia untuk minta maaf. Itu aja. Aku mau kami tetap saling menjalin silaturahmi yang baik. Kasihan Sagita. Dia itu yatim piatu. Tidak punya keluarga yang bisa diandalkan. Hanya aku d
~Biarkan hidup mengalir apa adanya, biarkan masalah terselesaikan dengan ajaibnya, jangan pernah melawan takdir yang ada~"Kamu enggak apa-apa Git?" Jidan bertanya pada Sagita yang ada di sebelahnya. Air mata Sagita sedari tadi masih mengalir. Ia berusaha agar tidak menangis lagi karena Danar, tapi memang kali ini tangisannya bukan untuk Danar, tapi untuk Jidan."Enggak apa-apa Kak."Pesawat itu baru saja lepas landas. Sagita dan Jidan bergerak menuju ke salah satu kawasan di Kalimantan, meninggalkan Risa, Cika dan Yoga yang masih penuh dengan emosi. Tidak banyak yang mereka bahas setelah pertengkaran bersama Delia dan Danar. Jidan dan Sagita harus bergegas naik ke pesawat. Lagipula memang tidak ada lagi yang perlu dibahas. Bagi mereka semua, satu fakta penting telah terkuak. Delia adalah orang yang berada di balik Jidan yang babak belur dihajar preman. Siapa sangka? Wanita pintar, lembut dan terlihat baik hati itu sanggup berurusan dengan p
~Cinta harus diperjuangkan, jangan hanya didiamkan untuk kemudian berlalu begitu saja~"Selamat datang di tanah Borneo, Jidan dan Sagita. Perkenalkan nama saya Sokim. Salah satu anggotanya Bos Don yang sudah lama ditersangkakan di bumi Kalimantan." Jidan menjabat tangan pria yang bernama Sokim ini. Jika Jidan menebak, usianya pasti ada di angka empat puluhan."Saya Jidan. Dan ini Sagita. Kami dikirim ke Bos Don untuk tugas di sini. Enggak tahu sampai kapan, jelasnya sampai semua masalah beres." Jidan berkata dengan tegas."Halo Pak Sokim. Nama bapak bagus.""Halo Nona cantik. Baru kamu yang bilang begitu. Sisanya bilang nama saya aneh. Kalau begitu, ayo naik ke dalam mobilku. Malam ini kalian akan menginap di rumahku. Istriku sudah memasak gulai ikan lezat di rumah. Kalian pasti suka. Ayo naik."Pak Sokim, orang yang berkulit hitam dan kumisnya tebal. Walau demikian, wajahnya manis karena selalu tersenyum. Tipikal orang
~Setiap perjalanan memiliki rintangannya masing-masing. Hadapilah, sebab tujuanmu sudah menunggu~Glodak! Glodak!Sagita berpegangan erat di dalam mobil. Sedari tadi mobil itu melewati jalanan yang penuh berbatuan. Debu-debu bertebangan dimana-mana. Sagita merasa jika jauh sekali tempat yang mereka tuju sekarang."Ini jalan yang benar Pak Sokim?" tanya Jidan memastikan. Pasalnya samping kanan kiri yang ia lihat hanya pohon sawit saja. Tidak ada rumah penduduk yang mereka lewati."Benar Jidan. Ya ini jalannya. Memang kita harus melewati perkebunan sawit ini dulu. Baru setelah itu, kita akan masuk ke rumah penduduk dan bertemu dengan salah satu orang penting di sana." Pak Sokim menjelaskan."Jauh sekali Jidan rasa ini. Sepi lagi.""Memang begitu. Kalian terlalu sering tinggal di kota.""Aku kira Kalimantan tidak akan sesunyi ini.""Memang tidaj sesunyi ini Nona Sagita. Tapi kalau di bagian
~Manusia terkadang tidak bisa mengelak dari bahaya yang ditakdirkan untuknya. Maka bersiaplah untuk semua bahaya yang akan datang~"Kamu emang dulu pernah digigit ular dimana?" Pak Sokim memancing Jidan untuk bercerita."Di tempat temen Pak. Di kebun bekalang rumahnya.""Kok bisa digigit? Kamu apain itu ular? Setahu saya, ular kalau enggak diganggu, enggak bakal nyatok atau mbelit.""Sebenernya ularnya bukan mau menggigit saya Pak. Tapi,""Tapi apa Kak?" Sagita mulai penasaran."Oh! Saya tahu. Pasti ularnya mau menggigit pacar kamu, terus karena kamu panik dan takut pacar kamu kegigit, kamu malah ngorbanin tangan kamu biar digigit sama itu ular. Bener, kan?"Jidan menelan ludah. Ia tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Sokim, tapi juga tidak membantah apa yang dikatakan oleh Pak Sokim. Pak Sokim justru tertawa melihat reaksi dari Jidan."Bapak kok bisa tahu?" tanya Sagita y
~Hujan deras bisa membuat pikiran tenang dan juga kacau~Perlahan tapi pasti, ular di depan mereka sudah menyingkir. Mobil Pak yang disetir oleh Pak Sokim mulai berjalan pelan. Jidan melihat ke atas langit, ia mulai gelisah. Sagita juga demikian, mendung membuat hatinya jadi cemas."Kok bisa gini ya? Padahal tadi cerah." Jidan bertanya sambil menghela napas."Ya kalau memang mau hujan mau bagaimana lagi? Kita harus pelan-pelan. Yang penting selamat sampai tujuan. Lagian tenang saja Jidan, hujan itu cuman air, masa kamu takut sama air? Memangnya kamu kucing?""Bukan gitu Pak. Takutnya kerjaan kita jadi terkendala.""Halah! Gaya sekali kamu Jidan. Kalau kerjaan kamu terkendala, itu artinya jmu bakal lama bisa balik dari Kalimantan. Seharunya kamu seneng dong.""Kok gitu Pak Sokim?" Sagita yang justru penasaran."Semakin lama Jidan ada di Kalimantan, semakin lama dia bisa sama kamu Git. Bisa berdua-du
~Rumah yang kosong biasanya selalu menyimpan misteri yang tidak kosong~Pak Sokim sudah ketiduran di dalam mobil. Cuaca yang dingin dan suara hujan malah seperti meninabobokan dirinya. Ia lupa kalau Jidan dan Sagita masih bertahan di teras rumah yang kian lama semakin basah karena tempias hujan."Geser dekat sini Git! Nanti kamu basah. Enggak apa-apa jarak kita agak dekat sedikit. Inikan darurat." Jidan membujuk Sagita agar mau lebih mendekat, ia senyum pada Sagita. Senyum yang terlihat canggung, namun semakin menunjukkan aura ketampanan Jidan.Sagita malu-malu mendekat pada Jidan. Kedua tangannya erat membekap dirinya sendiri. Harum parfum Jidan semakin menjadi-jadi masuk ke dalam indra penciuman Sagita. Diam-diam, Sagita mulai nyaman dengan wangi parfum itu."Kakak, enggak dingin? Kalau dingin, pakai aja jaket Kakak ini.""Enggak Git! Kamu lebih butuh. Kamu jangan khawatir sama kondisi kakak. Kakak dari kecil su