~Cobalah untuk tidak pelit pada teman sendiri, tapi jangan juga memeras teman dengan dalih persahabatan~
Bruuuk!Yoga memeluk Jidan dengan erat. Ia merasa bahagia sekali. Raut wajahnya menunjukkan raut bahagia yang belum pernah ia seperti itu. Jidan membalas pelukan itu dengan canggung. Lama mereka selama ini berteman, namun tentu jarang berpelukan. Bahkan tidak pernah seingat Jidan.Di kebun sedang ramai-ramainya. Semua orang tampak melihat ke arah Yoga dan Jidan. Jidan berusaha melepaskan pelukan Yoga. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri."Kamu kenapa heh? Sakit?" Jidan bertanya pada Yoga."Delia menerimaku. Dia menerima lamaranku. Kami akan menikah. Akan menikah Jidan. Kau percaya itu? Terima kasih banyak. Terima kasih banyak."Baru berkata seperti itu dan belum sempat melihat ekspresi Jidan, Yoga langsung berlari ke arah Sagita, Cika dan Risa. Mereka bertiga ada di dalam ruanga kerja kebun itu. Pintu te~Kejadian tak terduga bisa terjadi kapanpun~Hari-hari selanjutnya berjalan sempurna. Jidan dan Sagita sibuk dengan persiapan pernikahan mereka. Cika dan Risa juga tidak kalah sibuk membantu Sagita mempersiapkan semuanya. Mereka ingin pernikahan itu nantinya di adakan di kebun itu dengan konsep wedding garden.Konsep itu adalah konsep yang dipilih Sagita. Mereka bahkan tidak perlu menggunakan jasa dekorasi, mereka bisa menggunakan semua bunga yang ada di kebun itu. Konsep itu juga disetujui Jidan. Lebih tepatnya Jidan setuju apapun konsepnya selama ini tetap bisa menikah dengan Sagita.Yoga juga tidak kalah sempurna hari-harinya. Ia juga mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Delia. Bahkan satu kabar baik muncul, instruktur pengajar mengurus bayi menghubunginya. Instruktur itu berkata jika uang pendaftaran Yoga dan Jidan tidak hangus, mereka boleh kembali lagi kapanpun mereka mau. Delia yang mendengar rencana Yoga untuk belajar mengurus ba
~Hujan deras membawa cerita~Risa dan Cika mengusap peluh yang ada di dahi mereka. Nyatanya mengirim undangan juga menghabiskan tenaga. Mereka harus jalan dari rumah ke rumah, pintu ke pintu untuk memastikan undangan yang mereka antarkan sampai ke semua undangan.Hari ini jalur pembagian undangan mereka ada di jalan samping kanan dan kiri rumah Jidan. Beberapa tetangga Jidan memang sudah mengenal Cika dan Risa. Apalagi belakangan ini, keduanya sering naik sepeda keliling kompleks perumahan Jidan dengan alasan untuk olahraga sore.Semua undangan sudah tersebar. Cika dan Risa merasa lega. Setidaknya mereka sudah melakukan tugas hari itu dengan baik. Cika merasa dirinya sangat bersemangat hari itu. Mereka berdua lalu mulai kembali mengayuh sepeda, kembali ke kebun. Sayangnya baru beberapa goesan, Risa mengingat sesuatu."Cika!""Apa?""Kita lupa.""Lupa apa?""Ada satu lagi Cik. Satu
~Hujan selalu membawa kisah cinta yang baru~Hujan masih tetap deras. Cika dan Risa semakin ketar-ketir, apa lagi langit mengeluarkan kilat beberapa kali. Mereka berdua hanya memakai baju lengan panjang biasa, tidak ada yang memakai jaket. Dingin mulai masuk ke tulang."Hei, ambil ini."Seorang pemuda mengulurkan payung pada Cika dan Risa. Cika dan Risa saling tatap. Mereka tidak menyangka jika pemuda tampan yang mampu membuat mereka terpana tadi mau berbaik hati memberikan payung."Enggak. Kami enggak mungkin pulang pakai payung. Mana bisa. Kamikan naik sepeda." Cika berbicara dengan nada setengah berteriak. Pasalnya jika tidak berteriak, suaranya akan kalah dengan suara hujan."Yang nyuruh kalian pulang naik sepeda siapa?" Pemuda itu bertanya."oh, kamu mau nganterin kita naik mobil?" Cika bertanya dengan polos."Sakit Luh? Siapa yang mau nganterin kamu naik mobil? Aku cuman mau nyuruh kali
~Masalah yang satu selesai, maka masalah yang lain akan muncul. Selama manusia masih hidup, maka masalah akan tetap ada~Yoga memarkirkan mobilnya di depan kebun Jidan. Ia lalu buru-buru menuju ke arah Jidan yang sibuk menggunting beberapa daun pohon. Wajah Yoga tampak panik.Udara pagi terasa segar, tapi tidak dengan wajah Yoga pagi itu. Kesegaran pagi itu seolah menguap dengan sesuatu yang ada di dalam kepalanya. Yoga menuju ke arah Jidan dengan langkah yang terburu-buru."Jidan!" Yoga memanggil Jidan. Jidan yang sibuk menggunting daun-daun tanaman menoleh ke arah Yoga. Ini masih terlalu pagi Yoga ada di tempat ini. Biasanya sepagi ini Yoga berada di jalan menuju ke kantornya."Tumben sepagi ini kamu udah di sini. Cika, Risa sama Sagita aja belum datang. Kenapa? Mau numpang ngopi? Atau mau numpang sarapan? Emang ibunya kamu enggak masak?" Jidan bertanya sambil tetap menggunting beberapa daun tanaman."Ini gawat
~Bersyukurlah jika saat masalah datang Tuhan memberimu banyak bantuan dan banyak teman untuk menghadapinya. Karena setiap musibah selalu ada kemudahan untuk melaluinya, selama kita tidak berputus asa~Tanaman-tanaman yang ada di depan Jidan, mati semua. Tanaman itu lanas. Beberapa tanaman yang lanas adalah tanaman-tanaman yang harganya cukup mahal. Jidan mengerutkan dahinya. Tangannya sigap memerika semua tanaman-tanaman itu, daunnya, layu dan batangnya menghitam.Jidan bahkan memeriksa baunya, keningnya tambah berkerut, ia bahkan mendengus kesal sambil mengepalkan tangannya. Semua ini benar-benar masalah yang tak terduga bagi Jidan. Jelas dia mengalami kerugian."Ada apa dengan tanaman-tanaman ini Kak?" Cika bertanya sambil tetap menutup mulutnya."Ada yang meracun tanaman-tanamam ini. Semua tanaman ini langsung mati."Jawaban Jidan membuat semuanya kaget. Sagita juga tidak mau kalah. Ia cepat memeriksa sem
~Teman yang baik, tidak akan membiarkan temannya sendirian dalam melalui kesulitan~Di istirahat makan siang, Yoga buru-buru ke tempat Jidan. Ia ingin memastikan kabar dari Cika yang mengatakan jika kebun Jidan diserang oleh ninja tadi malam. Ninja itu menebarkan racun ke banyak pot sehingga banyak tanaman yang mati.Yoga awalnya mengira jika Cika main-main. Hari gini mana ada ninja. Cika pasti mengarang, namun Yoga tidak punya pilihan lain selain percaya pada ucapan Cika setelah menghubungi Jiran. Jidan tidak menyangkal perkataan Cika."Serius ninja? Emang ini tahun kapan masih ada ninja? Ninja apa? Ninja hatori?" tanya Yoga dengan wajah penasaran. Namun wajah penasarannya berubah menjadi cemas begitu melihat wajah kusut Jidan."Nih, lihat aja video ini. Kamu silakan simpulkan sendiri."Jidan menyerahkan laptopnya. Anis yang mendapatkan video itu dari CCTV yang ia cari tadi pagi. Di laptop itu terputar sebuah vid
~Menjadi orang yang tidak bisa diandalkan itu terkadang penting ~"Aku bantu kakak jadi detektif ya. Aku ahli loh dalam memecahkan kasus. Detektif Conan itu, dulunya belajarnya bareng sama aku." Cika berkata pada Yoga. Sementara yang diajak berbicara, menolehpun tidak."Ya Kak, ya kak, ya kak. Iya deh pokoknya. Oke?" Cika menyerocos lagi. Yoga masih takzim dengan video yang ada di laptop."Gini aja deh, kalau kita bagi tugas gimana? Kakak periksa di sayap sebelah kiri. Cika periksa di sayap sebelah kanan."Yoga masih diam. Maskud Cika sayap sebelah kiri dan sayap sebelah kanan itu adalah bagian kompleks, ada bagian kompleks sebelah kiri dan ada kompleks sebelah kanan. Kenapa Cika memilih kompleks sebelah kanan? Sederhana, karena ada Doni dan Dino di sana.Sayangnya Yoga sudah memiliki sebuah ilmu tenaga dalam khusus. Ilmu yang dia asah sejak berkenalan dengan Cika. Ilmu itu bernama ilmu masa bodo atau ilmu bodo am
~Jika kita berniat membantu seseorang, maka jalan kita akan dimudahkan~Yoga menganggap ini sebuah kemajuan. Apalagi saat ia beranjak pergi ke balik tembok pembatas kompleks itu. Jelas ada jejak seseorang yang berjalan ke arah sana. Yoga memperhatikan dari rumput-rumpu yang tampak habis terinjak-injak. Walau sudah lama, namun rumput itu membekas. Yoga lalu memaparkan analisisnya."Bisa dipastikan jika orang itu lewat dari sini. Dan dia tidak sengaja menyenggol pot bunga dan menjatuhkannya. Siapapun orang itu, hampir bisa dipastikan dia laki-laki dan masih muda.""Kakak tahu darimana?" Cika mulai penasaran dengan semua perkataan Yoga."Tembok pagar ini cukup tinggi Cika. Susah kalau cewek yang naik. Apalagi sebelahnya langsung parit. Kakak saja yang cowok harus pakai tangga. Ini pasti cowok yang jago manjat. Dan kenapa masih muda? Karena butuh tenaga untuk bisa memanjat dan melewati paret itu. Kalau sudah tua yang ada o
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi