~Jika kita berniat membantu seseorang, maka jalan kita akan dimudahkan~
Yoga menganggap ini sebuah kemajuan. Apalagi saat ia beranjak pergi ke balik tembok pembatas kompleks itu. Jelas ada jejak seseorang yang berjalan ke arah sana. Yoga memperhatikan dari rumput-rumpu yang tampak habis terinjak-injak. Walau sudah lama, namun rumput itu membekas. Yoga lalu memaparkan analisisnya. "Bisa dipastikan jika orang itu lewat dari sini. Dan dia tidak sengaja menyenggol pot bunga dan menjatuhkannya. Siapapun orang itu, hampir bisa dipastikan dia laki-laki dan masih muda.""Kakak tahu darimana?" Cika mulai penasaran dengan semua perkataan Yoga."Tembok pagar ini cukup tinggi Cika. Susah kalau cewek yang naik. Apalagi sebelahnya langsung parit. Kakak saja yang cowok harus pakai tangga. Ini pasti cowok yang jago manjat. Dan kenapa masih muda? Karena butuh tenaga untuk bisa memanjat dan melewati paret itu. Kalau sudah tua yang ada o~Terkadang lebih sulit meminta manusia untuk diam daripada meminta mereka untuk berbicara~Jidan sudah tahu semuanya dari Yoga. Sore itu juga Yoga dan Cika pamit pulang. Mereka sangat berterima kasih atas bantuan Doni dan Dino. Duo kembar itu sudah banyak membantu misi Yoga dalam mencari petunjuk.Jidan mengepalkan tangannya. Ia tidak menyangka jika Danar terlibat dalam semuanya. Cepat Jidan mengetahui situasi yang ada. Danar memang ingin menghancurkan rencana pernikahannya dengan Sagita."Oh, ini semua ulah Danar rupanya. Kita lihat saja, dia tidak akan berhasil menggertakku. Dia tidak akan berhasil membuat pernikahan ini gagal. Justru Danar akan menyesal. Menyesal telah melakukan ini semua." Jidan berkata dengan tegas.Saat itu mereka tengah ada di ruangan kerja yang ada di tengah kebun. Dalam ruangan itu hanya ada Cika, Yoga dan Jidan. Jidan sengaja tidak melibatkan yang lainnya. Ia tidak ingin menimbulkan kepanikan.
~Tidak mau berbicara terkadang bukan karena sakit~"Cik, sini! Ikut bantu kasih makan ikan." Risa melambaikan tangan ke arah Cika. Cika nyengir dan mendekat ke arah mereka. Ia lalu mengambil segenggam pakan ikan lalu menyaburkannya ke kolam. Ikan-ikan itu tampak menyerbu ke pakan yang disebar oleh Cika."Gimana tadi? Aku denger dari Kak Jidan, kamu bantu Kak Yoga cari fakta di luar. Ada ketemu petunjuk siapa pelakunya?" Anis bertanya pada Cika dengan wajah penasaran. Cika menarik napas dalam-dalam, ia tidak menyangka jika hal itulah yang langsung dibahas oleh Anis."Eh, lihat itu, ikan lelenya lucu!" Cika menunjuk ke salah satu ikan yang berenang ke permukaan. Ia seolah berusaha untuk membelokkan pertanyaan Anis. Namun, bukan Anis namanya kalau menyerah begitu saja."Heh, aku nanya kamu. Kamu jawab dulu. Nggak sopan ih, ditanya kok malah gak jawab."Risa mengangguk atas perkataan Anis, ia merasa sutuju jika Cika h
~Cinta akan menemukan jalan ceritanya sendiri~Jidan menepuk jidatnya begitu Sagita menceritakan tentang keanehan Cika selama di rumah. Sagita khawatir jika ada hal buruk yang menimpah Cika. Wajar, Cika tidak pernah seperti ini sebelumnya."Kamu tenang saja. Cika pasti baik-baik aja kok. Jangan terlalu khawatir." Jiran mencoba meyakinkan Sagita. Sagita hanya mengangguk dan setelahnya segera Jidan menemui Cika."Cik." Jidan memanggil ke Cika sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tidak mau ada yang mendengar obrolan mereka. Saat ini mereka tengah berada di bagian kebun paling ujung. Cukup aman untuk berbicara."Cik.""Hmmm.""Cik.""Eummm.""Astaga! Kamu kakak panggil loh Cik.""Iya.""Dijawab Cik.""Kan udah.""Masa cuman Iya. Kakak minta kamu buat tutup mulut sama masalah Danar, masalah tanaman yang mati di kebun ini. Bukan berart
~Malam dan wanita terkadang tidak bersahabat, sebab terkadang di luar sana, malam menawarkan bahaya~Malam itu Sagita harus bergegas menuju ke sebuah apotek. Cika yang diam saja seharian sekarang malah mulai demam. Sagita dan Risa tidak tahu penyebabnya kenapa. Namun, jelas hal itu tidak bisa dibiarkan. Tadinya Sagita memaksa Cika untuk pergi berobat ke dokter. Namun, Cika menolak, ia mengatakan jika dirinya hanya butuh obat penurun demam."Biar Risa saja yang ke apotek Kak." Risa menawarkan diri."Tidak. Kamu di sini saja temani Cika. Biar kakak aja yang beli. Kebetulan sekalian ada yang kakak mau beli juga di warung. Kamu jaga Cika baik-baik ya, kalau ada apa-apa, cepat panggil taksi, bawa Cika ke rumah sakit.""Iya Kak. Ini Cika demam pasti karena dia cuman diem melulu. Ya gitu emang orang biasanya, kalau biasanya cerewet terus enggak cerewet lagi, eh malah demam.""Hush! Kakak mikirnya malah sebaliknya, mungki
~Selama ada teman di sampingmu, maka semuanya aman~Malam itu menjadi malam yang menyibukkan bagi Jidan. Ia sibuk mencari Sagita di tempat penjualan toko obat yang lainnya. Namun nihil, Sagita tidak ada di manapun dan bahkan handphonenya tetap tidak aktif. Jidan bahkan kembali lagi ke rumah Sagita memastikan jika Sagita sudah pulang atau belum, dan nyatanya belum. Jidan mencoba menghubungi Risa apakah Sagita menyusulnya ke rumah sakit, jawaban Risa justru tambah panik. Panik karena tahu Sagita tidak ditemukan."Kamu serius Risa? Sagita enggak nyusul ke sana?" Jidan bertanya dengan nada cemas."Enggak Kak. Enggak ada Kak Sagita di sini. Ini Risa juga bingung harus gimana. Soalnya dokter bilang Cika kena gejala tifus dan harus di rawat inap.""Apa?" Jidan kaget dengan pernyataan Risa barusan. Bagaimana bisa Cika terkena tipus. Ia bingung harus apa sekarang."Yasudah. Kamu jangan panik Risa. Kamu urus saja Cika
~Orang jahat bisa dari siapa saja, termasuk dari mantan suami~Cukup lama Danar mengemudi, hal ini membuat Sagita khawatir. Ia yang tidak bisa melihat sama sekali karena matanya tertutup merasa was-was. Semakin jauh jarak yang diambil Danar, maka semakin jauh pula Sagita dibawa entah kemana."Hentikan mobil ini Mas! Kamu mau apa Mas? Kamu mau bunuh saya? Silakan! Kalau kamu bunuh saya juga tidak akan ada yang peduli."Danar memang hanya menutup mata Sagita. Ia tidak menutup mulut Sagita. Ia seolah membiarkan Sagita berkata apapun yang ia mau. Sagita ketakutan. Ia bahkan sangat ketakutan sekali. Namun Sagita mencoba untuk tetap tenang dan tidak panik. Walau memang sulit untuk tidak panik dalam situasi seperti ini."Mas Danar! Hati kamu itu terbuat dari apa sebenarnya?"Diam. Danar masih diam. Ia seolah senang saja mendengar suara Sagita. Seolah tidak terganggu."Apa yang kamu inginkan Mas? Kalau kamu mau
~Kita bisa memilih mau makan apa, memilih mau jadi apa, memilih mau pergi kemana, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta~"Kamu tidur saja Risa. Semua sudah aman. Kita akan tenang di sini. Ada banyak penjaga. Papa sudah menyediakannya untuk hal seperti ini. Urusan Cika, kamu jangan khawatir, ada perawat yang akan menjaga. Oh iya, tadi dokter bilang jika Cika bisa jadi bukan hanya tifus biasa, katanya ia juga keracunan makanan. Sebaiknya kalian jangan jajan sembarangan lagi. Kondisi yang buruk bisa semakin membuat tubuh kalian jadi sakit. Ayo tidur saja.""Risa tidak bisa tidur Kak Delia. Risa memikirkan Kak Sagita. Dimana Kak Sagita sekarang. Jika benar ia diculik oleh Kak Danar, kemana Kak Danar membawanya? Kenapa Kak Danar tega sekali pada Kak Sagita?""Danar itu sudah tidak waras, udah gak ada otaknya. Otaknya udah gak bisa berpikir normal lagi. Semoga Sagita bisa meloloskan diri dari Danar.""Kenapa K
~Yang hilang akan ditemukan, cepat atau lambat, asal percaya dan yakin saat mencarinya. Mencari sepenuh hati, mencari segenap janji~Malam itu berjalan lambat sekali. Jidan bahkan sama sekali tidak bisa memejamkan matanya untui tidur. Hal itu berbeda dengan Yoga yang sudah terlelap di kursi belakang mobil. Jam sudah pukul 3 pagi. Sudah 3 jam Yoga dan Jidan mencari Sagita, namun tidak ada hasil apa-apa. Tubuh mereka terlalu lelah dan Yoga memutuskan agar mereka tidur di mobil malam itu.Jidan mengusap wajahnya. Ia ngeri memikirkan apa yang akan dilakukan Danar pada Sagita. Apa Danar akan membunuhnya? Menjatuhkannya ke jurang? Atau Danar akan melecehkan Sagita? Apapun bisa dilakukan Danar pada Sagita malam itu. Hal itulah yang membuat Jidan merasa tidak bisa tidur. Ia terlampau khawatir.Plak! Plak!Yoga menendang Jidan, matanya pejam tapi kakinya masih bisa menendang. Tidur meringkuk di mobil seperti itu memang sulit. Ia tidak bisa
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi