~Tidak mau berbicara terkadang bukan karena sakit~"Cik, sini! Ikut bantu kasih makan ikan." Risa melambaikan tangan ke arah Cika. Cika nyengir dan mendekat ke arah mereka. Ia lalu mengambil segenggam pakan ikan lalu menyaburkannya ke kolam. Ikan-ikan itu tampak menyerbu ke pakan yang disebar oleh Cika."Gimana tadi? Aku denger dari Kak Jidan, kamu bantu Kak Yoga cari fakta di luar. Ada ketemu petunjuk siapa pelakunya?" Anis bertanya pada Cika dengan wajah penasaran. Cika menarik napas dalam-dalam, ia tidak menyangka jika hal itulah yang langsung dibahas oleh Anis."Eh, lihat itu, ikan lelenya lucu!" Cika menunjuk ke salah satu ikan yang berenang ke permukaan. Ia seolah berusaha untuk membelokkan pertanyaan Anis. Namun, bukan Anis namanya kalau menyerah begitu saja."Heh, aku nanya kamu. Kamu jawab dulu. Nggak sopan ih, ditanya kok malah gak jawab."Risa mengangguk atas perkataan Anis, ia merasa sutuju jika Cika h
~Cinta akan menemukan jalan ceritanya sendiri~Jidan menepuk jidatnya begitu Sagita menceritakan tentang keanehan Cika selama di rumah. Sagita khawatir jika ada hal buruk yang menimpah Cika. Wajar, Cika tidak pernah seperti ini sebelumnya."Kamu tenang saja. Cika pasti baik-baik aja kok. Jangan terlalu khawatir." Jiran mencoba meyakinkan Sagita. Sagita hanya mengangguk dan setelahnya segera Jidan menemui Cika."Cik." Jidan memanggil ke Cika sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tidak mau ada yang mendengar obrolan mereka. Saat ini mereka tengah berada di bagian kebun paling ujung. Cukup aman untuk berbicara."Cik.""Hmmm.""Cik.""Eummm.""Astaga! Kamu kakak panggil loh Cik.""Iya.""Dijawab Cik.""Kan udah.""Masa cuman Iya. Kakak minta kamu buat tutup mulut sama masalah Danar, masalah tanaman yang mati di kebun ini. Bukan berart
~Malam dan wanita terkadang tidak bersahabat, sebab terkadang di luar sana, malam menawarkan bahaya~Malam itu Sagita harus bergegas menuju ke sebuah apotek. Cika yang diam saja seharian sekarang malah mulai demam. Sagita dan Risa tidak tahu penyebabnya kenapa. Namun, jelas hal itu tidak bisa dibiarkan. Tadinya Sagita memaksa Cika untuk pergi berobat ke dokter. Namun, Cika menolak, ia mengatakan jika dirinya hanya butuh obat penurun demam."Biar Risa saja yang ke apotek Kak." Risa menawarkan diri."Tidak. Kamu di sini saja temani Cika. Biar kakak aja yang beli. Kebetulan sekalian ada yang kakak mau beli juga di warung. Kamu jaga Cika baik-baik ya, kalau ada apa-apa, cepat panggil taksi, bawa Cika ke rumah sakit.""Iya Kak. Ini Cika demam pasti karena dia cuman diem melulu. Ya gitu emang orang biasanya, kalau biasanya cerewet terus enggak cerewet lagi, eh malah demam.""Hush! Kakak mikirnya malah sebaliknya, mungki
~Selama ada teman di sampingmu, maka semuanya aman~Malam itu menjadi malam yang menyibukkan bagi Jidan. Ia sibuk mencari Sagita di tempat penjualan toko obat yang lainnya. Namun nihil, Sagita tidak ada di manapun dan bahkan handphonenya tetap tidak aktif. Jidan bahkan kembali lagi ke rumah Sagita memastikan jika Sagita sudah pulang atau belum, dan nyatanya belum. Jidan mencoba menghubungi Risa apakah Sagita menyusulnya ke rumah sakit, jawaban Risa justru tambah panik. Panik karena tahu Sagita tidak ditemukan."Kamu serius Risa? Sagita enggak nyusul ke sana?" Jidan bertanya dengan nada cemas."Enggak Kak. Enggak ada Kak Sagita di sini. Ini Risa juga bingung harus gimana. Soalnya dokter bilang Cika kena gejala tifus dan harus di rawat inap.""Apa?" Jidan kaget dengan pernyataan Risa barusan. Bagaimana bisa Cika terkena tipus. Ia bingung harus apa sekarang."Yasudah. Kamu jangan panik Risa. Kamu urus saja Cika
~Orang jahat bisa dari siapa saja, termasuk dari mantan suami~Cukup lama Danar mengemudi, hal ini membuat Sagita khawatir. Ia yang tidak bisa melihat sama sekali karena matanya tertutup merasa was-was. Semakin jauh jarak yang diambil Danar, maka semakin jauh pula Sagita dibawa entah kemana."Hentikan mobil ini Mas! Kamu mau apa Mas? Kamu mau bunuh saya? Silakan! Kalau kamu bunuh saya juga tidak akan ada yang peduli."Danar memang hanya menutup mata Sagita. Ia tidak menutup mulut Sagita. Ia seolah membiarkan Sagita berkata apapun yang ia mau. Sagita ketakutan. Ia bahkan sangat ketakutan sekali. Namun Sagita mencoba untuk tetap tenang dan tidak panik. Walau memang sulit untuk tidak panik dalam situasi seperti ini."Mas Danar! Hati kamu itu terbuat dari apa sebenarnya?"Diam. Danar masih diam. Ia seolah senang saja mendengar suara Sagita. Seolah tidak terganggu."Apa yang kamu inginkan Mas? Kalau kamu mau
~Kita bisa memilih mau makan apa, memilih mau jadi apa, memilih mau pergi kemana, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta~"Kamu tidur saja Risa. Semua sudah aman. Kita akan tenang di sini. Ada banyak penjaga. Papa sudah menyediakannya untuk hal seperti ini. Urusan Cika, kamu jangan khawatir, ada perawat yang akan menjaga. Oh iya, tadi dokter bilang jika Cika bisa jadi bukan hanya tifus biasa, katanya ia juga keracunan makanan. Sebaiknya kalian jangan jajan sembarangan lagi. Kondisi yang buruk bisa semakin membuat tubuh kalian jadi sakit. Ayo tidur saja.""Risa tidak bisa tidur Kak Delia. Risa memikirkan Kak Sagita. Dimana Kak Sagita sekarang. Jika benar ia diculik oleh Kak Danar, kemana Kak Danar membawanya? Kenapa Kak Danar tega sekali pada Kak Sagita?""Danar itu sudah tidak waras, udah gak ada otaknya. Otaknya udah gak bisa berpikir normal lagi. Semoga Sagita bisa meloloskan diri dari Danar.""Kenapa K
~Yang hilang akan ditemukan, cepat atau lambat, asal percaya dan yakin saat mencarinya. Mencari sepenuh hati, mencari segenap janji~Malam itu berjalan lambat sekali. Jidan bahkan sama sekali tidak bisa memejamkan matanya untui tidur. Hal itu berbeda dengan Yoga yang sudah terlelap di kursi belakang mobil. Jam sudah pukul 3 pagi. Sudah 3 jam Yoga dan Jidan mencari Sagita, namun tidak ada hasil apa-apa. Tubuh mereka terlalu lelah dan Yoga memutuskan agar mereka tidur di mobil malam itu.Jidan mengusap wajahnya. Ia ngeri memikirkan apa yang akan dilakukan Danar pada Sagita. Apa Danar akan membunuhnya? Menjatuhkannya ke jurang? Atau Danar akan melecehkan Sagita? Apapun bisa dilakukan Danar pada Sagita malam itu. Hal itulah yang membuat Jidan merasa tidak bisa tidur. Ia terlampau khawatir.Plak! Plak!Yoga menendang Jidan, matanya pejam tapi kakinya masih bisa menendang. Tidur meringkuk di mobil seperti itu memang sulit. Ia tidak bisa
~Dalam keadaan paling malang, terkadang seseorang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri dan Tuhan~Sagita mulai lapar, bahkan ia mulai haus. Saat ini ia seperti dipaksa berpuasa. Danar benar-benar tidak berperasaan, ia bahkan tidak memberi Sagita minum sama sekali."Sial! Kamu seharusnya datang tadi malam. Bukan malah tidak jadi datang. Aku sudah membawa wanita itu. Memang hanya ada satu, tidak jadi tiga. Tapi satu saja sepertinya cukup untuk sekarang. Aku mau uang DP nya saja juga tidak apa. Tapi kamu malah tidak datang. Masa ia aku jual murah wanita ini." Danar berkata dengan nada kesal dengan orang yang entah ada dimana. Ia berbicara dengan handphone.Danar kesal ia membanting handphonya. Ia merasa sesak ingin buang air kecil. Dan tanpa pikir panjang Danar keluar dari dalam mobil. Ia tidak menutup pintu mobilnya, sengaja membiarkan pintu mobil itu terbuka. Hal itu dimanfaatkan ol