Adrian membujuk dan merayu Emery supaya mantan tunangannya itu bisa kembali padanya. Dia masih berharap penuh pada Emery. Meski pun berkali-kali ditolak oleh Emery, pria itu tidak pernah menyerah atau patah semangat.
“Aku tidak ingin membahas tentang hal ini lagi, Adrian,” keluh Emery.
“Oke, baiklah. Kita makan saja dulu. Setelah itu, kamu pergi tidur,” saran Adrian. Emery pun meresponnya dengan menganggukkan kepala.
“Bagaimana dengan keadaan bayimu?” Adrian mengalihkan pembicaraan. Dia merasa harus melakukannya untuk menghindari ketidaknyamanannya pada Emery.
“Dokter Adelina bilang keadaannya sangat baik dan perkembangannya juga bagus,” sahut Emery.
“Benarkah? Kuharap kamu bisa melahirkannya lancar tanpa hambatan apa pun nantinya,” harap dan doa dari Adrian.
“Terima kasih, Adrian. Kamu sudah sangat baik padaku,” ucap Emery.
“Makanlah yang banyak! Nanti jika
“Apa? Suaminya?” Perawat yang berdiri di samping Adelina membelalak kaget dan nyaris histeris mendengar Ruben adalah suami Emery.“Pria tampan itu suaminya dokter Emery?” bisik perawat itu agak pelan di telinga Adelina.Adelina mencubit tangan perawat itu. Setelah Ruben menoleh ke arah mereka sebentar untuk mengalihkan perhatian.“Anda membutuhkan sesuatu Dokter ….” Adelina agak kikuk di depan Ruben.“Ruben. Panggil aku Dokter Ruben saja,” kata Ruben memperkenalkan diri.Emery melirik Ruben agak sebal. Dia mengira kalau suaminya itu sedang menarik perhatian pegawai di rumah sakit dan memberitahu semua orang bahwa dia ada hubungan keluarga dengannya.“Baiklah, Dokter Ruben. Jika Anda membutuhkan sesuatu dari kami, beritahukan saja!” kata Adelina menawarkan.“Saya membutuhkan ruang inap VIP untuk istri saya. Tolong disiapkan segera!” perintah Ruben.Perawat itu lekas mempersiapkannya. Dia melaksanakan perintah Ruben setelah mendapatkan persetujuan dari Adelina.Sementara itu, Emery terl
“Apa kamu tidak akan bercerai dengan Emery?” Adrian memastikan.Sebelum menjawab pertanyaan Adrian, Ruben menoleh ke arah Emery. Wanita itu diam saja seperti menunggu jawaban dari Ruben.“Dia yang menginginkannya. Bukan aku,” sahut Ruben.‘Apa?’ Emery tersenyum agak sinis mendengar jawaban Ruben. Bisa-bisanya Ruben melempar kesalahan dan menyudutkan istrinya saat ini di depan Adrian.“Emery yang ingin bercerai darimu?” Adrian mengerutkan kening. Dia agak bingung mencerna perkataan Ruben.“Ya. Dia yang mengajukan perceraian itu dan memprosesnya sendiri tanpa menanyakan pendapatku terlebih dahulu. Katanya aku hanya menunggu pemanggilan dari pengadilan nanti,” kata Ruben memojokkan Emery.“Benarkah begitu?” Adrian meragukan pernyataan Ruben.“Menurutmu, apa dia layak menjadi pasanganmu? Kurasa tidak.” Ruben sengaja memprovokasi Adrian supaya pria itu berubah pikiran dan meninggalkan Emery.Emery diam saja. Meski dia merasa agak kesal sekali dengan sikap Ruben. Sementara, Adrian menunggu
Kondisi tubuh Emery mulai merasakan ketidaknyamanan. Perutnya juga sudah bulat membesar. Dia melihatnya langsung di cermin. Dia begitu bahagia menunggu kelahiran bayinya. Wajahnya terlihat berseri-seri, senyumnya pun cantik mempesona. Dia jadi tidak sabar ingin segera mengetahui jenis kelamin bayinya.Emery pergi memeriksakan kandungannya. Adelina akan melihat jenis kelamin bayinya itu melalui alat USG.“Gimana menurutmu?” Emery tak sabaran.“Kandunganmu baik-baik saja. Tidak ada masalah. Perkembangan bayimu juga bagus sesuai dengan prediksiku. Hanya saja kamu harus berhati-hati. Bayimu sangat aktif sekali dan bisa sungsang,” kata Adelina menasihatinya.“Benarkah dia aktif sekali?” Emery pun antusias mendengarnya.Adelina mengangguk mantap. Dia juga menceritakannya dengan sangat menggebu-gebu. Hal itu membuat Emery tambah semangat menantikan hari kelahiran bayinya.“Sepertinya bayimu berjenis kelamin
“Jawab pertanyaanku, Ben! Sebenarnya kamu menginginkan bayi ini atau kamu hanya ingin memilikiku saja?” desak Emery.Ruben bingung setelah Emery menyudutkannya dengan pertanyaan itu. Emery bisa menebak isi hatinya. Sebenarnya Ruben belum siap menjadi seorang ayah. Namun, dia gengsi mengatakannya pada Emery.“Kamu tidak bisa menjawabnya, kan? Aku sudah tahu jawabanmu, Ben. Jadi, aku sudah bisa mengambil keputusan sekarang,” tegas Emery.“Apa keputusanmu?” Ruben penasaran.“Kita bercerai saja,” kata Emery.Deg!Ruben tak berkutik sekarang. Emery sudah mengatakannya di hadapan kedua pengacara yang menjadi saksi mereka melakukan mediasi. Bukannya rujuk kembali setelah mediasi, Emery malah mengambil langkah tegas memutuskan hubungannya dengan Ruben.Emery merasa sudah tidak ada lagi yang harus dijelaskan. Apalagi dipertahankan. Hubungannya dengan Ruben akan segera berakhir di meja hijau. Dia
Setelah bercerai dengan Emery, dunia Ruben sepertinya akan segera hancur. Benteng pertahanannya mulai runtuh. Hatinya bagai dibom bardir hingga berkeping-keping. Semuanya luluh lantah. Dia kehilangan semangat hidup.Raut wajahnya pucat pasi. Ruben membiarkan tubuhnya melemah karena seharian tidak makan dan minum. Penampilannya acak-acakan. Nyaris tidak berbentuk lagi. Kusut seperti benang yang menggulung tak terurus.Dalam perjalanan pulang, Ruben sengaja mampir ke rumah lamanya. Rumah tempat tinggalnya dulu bersama Emery. Dia menatapnya dari kejauhan. Pandangannya berubah sendu seperti menahan tangis. Dalam bayangannya, dia melihat dirinya di masa lalu bersama Emery. Betapa bahagianya mereka diawal-awal pernikahannya.“Semua itu kini tinggal kenangan,” ujar Ruben sambil menyandarkan tubuhnya di jok kemudi. Dia menghela napas panjang sambil menteskan air mata.Ruben merasa harapannya sudah punah. Tidak ada lagi yang bisa dia harapkan dari pern
Dari nada suaranya di telepon, jelas sekali terdengar kalau Emery begitu mengkhawatirkan keadaan Ruben. Sean menanggapinya demikian.“Sean, kenapa kamu diam saja? Kamu tidak menjawab pertanyaanku.” Emery membuyarkan lamunan Sean sesaat.“Maafkan aku Emery. Ruben baik-baik saja sekarang,” kata Sean memberitahunya.“Kamu yakin kalau dia baik-baik saja? Kamu tidak sedang menutupi sesuatu dariku, kan?” Emery jadi curiga. Karena Sean terlalu banyak diam ketika dia sedang menanyakan tentang Ruben.“Emery … sebenarnya … Ruben ….” Kalimat Sean terbata-bata.“Ruben kenapa? Jawab aku dengan jujur!” desak Emery yang langsung panik. Meski dia belum mendengar seluruhnya cerita dari Sean.“Ruben tadi pingsan. Sepertinya dia menelan banyak obat tidur dan obat ….”“Apa? Kenapa dia melakukan hal itu?” Emery memotong pembicaraan. “Apa y
Sean memerhatikan raut wajah Emery yang masih mengkhawatirkan keadaan mantan suaminya. Ada perasaan cemburu yang kini tengah dirasakan oleh Sean.“Kenapa kamu tidak menemuinya saja?” saran Sean. “Bukankah kamu ingin tahu keadaannya sekarang? Untuk memastikannya sendiri. Iya, kan?”“Aku tidak bisa pergi ke sana dalam keadaan hamil besar seperti ini,” Emery beralasan.“Kenapa tidak? Aku bisa mengantarmu jika kamu mau,” Sean menawarkan.“Tidak usah. Aku tidak ingin merepotkanmu,” tolak Emery.“Tidak apa-apa. Aku akan membawamu ke sana untuk menemuinya. Bukankah kamu sangat merindukannya?”Emery menoleh ke arah Sean. ‘Dari mana dia tahu isi hatiku yang sebenarnya?’“Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa aku berhasil menebak isi hatimu?”Emery hanya tersenyum sekilas sambil menundukkan pandangannya. Sean berasil menyindirnya. Hingga Emer
Emery tidak bisa menjawab pertanyaan Sean. Dia memilih diam dibandingkan harus mengatakan yang sebenarnya pada Sean. Dia takut sekali menyakiti perasaan Sean. Meski Sean tahu, pria yang ada di dalam hati Emery hanyalah Ruben seorang.Emery berjalan perlahan-lahan meninggalkan Sean di dalam mobil menuju ke rumahnya. Raut wajahnya terlihat sedih dan dia merasa lelah sekali malam ini.Sesampainya di rumah, Emery duduk terlebih dahulu di sofa di ruang tamu sebelum memasuki kamarnya. Dia menghela napas panjang setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.“Kenapa sulit sekali bagi kami untuk bisa bersama?” keluh Emery.Emery mengelus-elus bagian perutnya yang sudah terlihat membesar. Janinnya sudah bisa menendang perutnya. Terasa sekali di dalam perut Emery.“Apa kamu lapar, Nak?” tanya Emery pada janinnya. Dia tersenyum karena bayinya merespon apa yang ditanyakannya.Emery segera mengambil snack di dalam tasnya. Dia membuk
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida
“Apa kamu masih meragukan bayi itu?” Sean memastikan lagi.Ruben terdiam cukup lama. Bagaimana tidak, perasaannya yang mudah goyah dan terhasut oleh Sienna dulu menyebabkan dia kehilangan anak dan istrinya. Tidak hanya itu, perasaannya yang terus meragu pada Emery membuatnya merasa menyesal teramat dalam hingga saat ini.Ruben malu bertemu dengan Emery dan bayinya. Dia terus saja beralasan pada Sean. Padahal dia masih sangat gengsi mengakui bayi itu sebagai putranya.“Kamu bodoh sekali dalam cinta, Ruben. Kamu tidak bisa membedakan mana wanita tulus dan mana wanita yang sudah menghasutmu,” kata Sean sambil berlalu pergi.Sean segera bersiap-siap pergi. Lebih baik dia pergi dari pada harus mendengar ocehan sepupunya yang tidak berfaedah. Dia menegaskan kalau Ruben tidak akan ikut dengannya menemui Emery, sebaiknya Ruben pergi saja.Ruben pun pergi meninggalkan rumah Sean tanpa sepengetahuannya. Sepanjang perjalanan pulang, di
Sean lekas menemui Emery. Dia diberitahu oleh perawat di sana bahwa Emery sudah melahirkan putranya. Dia terlihat senang sekali mendengar kabar itu. Tanpa pertimbangan lagi, dia langsung pergi menjenguk Emery.Sesampainya di rumah sakit tempat Emery melahirkan, Sean membawakan banyak hadiah untuk menyambut kelahiran putra Emery. Tadi dia sempat membeli beberapa potong pakaian bayi dan semua perlengkapannya. Khawatir Emery tidak sempat membawanya dari rumah.Benar saja firasat Sean. Perawat yang memberitahunya itu mengatakan kalau proses melahirkannya sangat mendadak. Tidak sesuai dengan prediksi dokter. Jadi, Emery tidak membawa persiapan apa pun saat proses persalinan berlangsung.Sean inisiatif sendiri membawakannya. Dia membelinya secara acak, dibantu oleh pelayan toko perlengkapan bayi itu. Dia tidak tahu apa saja kebutuhannya. Jadi, dia mencari orang yang mengetahuinya.“Emery, bagaimana keadaanmu?” tanya Sean saat menemui Emery di kamar
Adrian segera menemui Emery di ruang persalinan. Dengan raut wajahnya yang panik itu dia berlarian sekuat tenaga sebelum Emery melahirkan bayinya.“Emery!” panggil Adrian.Beruntung, Adrian masih bisa menemui Emery sebelum perawat menutup ruang persalinan. Dia was-was sekali.“Emery, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Adrian.“Sakit sekali,” sahut Emery.“Benarkah? Apa perlu aku mendampingimu?” tawar Adrian.Emery menggeleng, “Tidak usah. Aku akan baik-baik saja nanti.”“Aku mohon … tetaplah bertahan. Aku ingin kamu dan bayimu selamat. Aku akan menunggumu.”“Terima kasih, Adrian,” ucap Emery sambil menahan nyeri akibat kontraksi di perutnya.Perawat akan segera menutup ruang persalinan. Adrian diminta untuk segera meninggalkan ruangan tersebut. Mau tidak mau, akhirnya Adrian pun mengalah. Dia keluar dari ruangan itu dalam keadaan
Dua bulan kemudian. Sejak Ruben dipecat dari rumah sakit, dokter jenius itu menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar lagi tentangnya. Dia menutup semua komunikasi dan tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya.Emery makin gelisah karena tidak menemukan mantan suaminya di mana pun. Sean sudah ikut membantu dan mencari keberadaan Ruben. Namun, mereka tidak berhasil menemukannya.“Di mana dia berada sekarang?” Emery frustrasi sekali.Usia kandungan Emery kini sudah memasuki trimester terakhir. Dokter sudah menyarankannya untuk segera mengambil cuti. Karena kemungkinan hari kelahiran bayinya diperhitungkan bisa lebih cepat dari prediksi dokter Adelina.“Emery, jangan pikirkan apa pun! Kesehatan bayimu lebih penting,” kata dokter Adelina menasihatinya.“Aku masih kepikiran tentang ….” Kalimat Emery terhenti beberapa saat.“Ayahnya, kan?” terka dokter Adelina. Emery mengangguk pelan sambil