“Kenapa kamu lama sekali?” tanya Anna ketika dia melihat anaknya itu baru datang ke kediaman rumah orangtua Lisa.“Cuma telat setengah jam. Di jalan macet.”“Kenapa nggak angkat telepon ibu?”“Ponsel tadi ada di jok belakang jadi nggak tau kalau ibu telpon.”“Ya sudah kalau begitu, cepat masuk mereka sudah menunggu.”William berjalan dengan Anna masuk ke dalam rumah orangtua Lisa. William yang berdandan ala kadarnya membuat Anna sedikit kesal karena anak itu seakan tidak ada niat untuk menemui orangtua Lisa.Mereka pun makan malam bersama sambil membahas masalah perusahaan masing masih. William lebih banyak ditanya daripada bertanya karena dia sama sekali tidak tertarik dengan Lisa.Sampai akhirnya topik mengenai pernikahan pun dibahas dan William mulai malas untuk menanggapi.“Mungkin sebaiknya pertunangan dipercepat. Lagi pula kabar kemarin sudah dijelaskan jika mantan tunangan William memang bukan wanita baik baik,” kata Anna.“Kami sih setuju, tapi bagaimana dengan kamu Lisa?”Lis
William terbangun ketika merasakan udara dingin menyentuh kulit tubuhnya. Dia merasa seperti tak mengenakan pakaian pada waktu itu hingga harus menarik selimut.Namun, ketika dia menarik selimutnya, ia terkejut saat mendapati bayangan seorang gadis ada di sampingnya sedang meringkuk memunggunginya.William menajamkan penglihatannya, memastikannya berkali-kali jika apa yang dia lihat adalah salah. Namun, ketika dia menyentuh bahu gadis itu, William yakin jika gadis itu adalah Alexandra.William terkejut setengah mati, kemudian dia melihat dirinya sendiri yang tidak mengenakan pakaian apapun, demikian pula Alexandra. Kesadaran William langsung terkumpul begitu mengetahui kenyataan bahwa tadi malam dia tidur dengan Alexandra. Saat dia menyelimuti keponakannya itu, dia melihat bercak merah di spreinya yang berwarna putih.Seketika William mencoba mengingat apa yang tengah terjadi tadi malam. Dia kesulitan mengingatnya, apalagi semalam dia banyak minum hingga membuatnya mabuk.“Tunggu dul
“Kenapa om jahat padaku,” kata Alexandra dengan airmata yang berurai.William terkejut melihat Alexandra tiba tiba menangis di depannya. Gadis itu menangis sampai bahunya berguncang, william tak pernah melihat hal itu sebelumnya.“Alex, kamu kenapa?” tanya William. Dia memeluk Alexandra, tapi didorongnya dada William sampai lelaki itu kaget.“Alex?”“Om.. om mau menikah? Om serius mau menikah?”William menggeleng. “Kamu salah dengar Alex, siapa yang mau menikah. Kamu tau sendiri nenek kamu memang suka menjodohkan aku dengan wanita.”“Tadi malam, om ingat kan? Pasti om tahu kan om Will sudah melakukan apa padaku?”William menelan ludah keringnya. Tentu saja dia tahu, sampai sprei bekas Alexandra pun menjadi bukti betapa bejatnya dia karena meniduri Alexandra.“Aku tau, aku tau Alex.”“Lalu? Om melakukannya karena mabuk, kan? Karena om.. karena om menganggapku sebagai pelampiasan.”Mata William membulat sempurna. Tak menyangka kalimat itu keluar dari mulut Alexandra.“Daripada aku mengg
William terkejut ketika mendapati bayangan Lisa muncul bersama dengan ayahnya siang itu. Ia tidak menyangka jika pemilik saham yang berpengaruh adalah Lisa.Ketegangan pun terjadi di antara keduanya. Lisa dengan percaya diri mengatakan bahwa dia akan menanam saham di perusahaan kembali jika William mau bertanggungjawab padanya.“Tunggu dulu, bertanggungjawab atas apa?” tanya William tak mengerti. Pun dengan seluruh orang yang ada di dalam ruangan rapat tersebut.Hingga Lisa pun meminta asistennya untuk menyalakan layar yang ada di belakangnya kemudian muncul foto yang memperlihatkan bahwa William hendak melakukan hal tidak senonoh padanya.Seluruh orang yang ada di sana saling berbisik dan penuh tanda tanya. Mereka juga mulai meragukan kepemimpinan William yang akhir akhir ini membuat skandal yang merugikan perusahaan.“Ini bisa menjadi pengaruh buruk, dan jalan satu satunya adalah pernikahan,” kata Lisa.“Mana mungkin aku menikah denganmu?” William bertanya frustrasi. Ternyata undang
Lima tahun kemudian …“Panggil suamiku sekarang juga, aku mau dia yang membawaku pulang.” Lisa meletakkan gelas kosong di atas meja, tak sampai lima detik kepalanya sudah terjatuh menimbulkan suara DUG yang lumayan keras.Bartender yang di depan Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya seolah sudah terbiasa dengan sikap pelanggan di depannya malam itu.Setelah setengah jam menunggu seorang lelaki dengan kemeja biru pucat menghampiri meja Lisa. Dia memapah Lisa membantunya untuk pergi dari sana.“William?”“William nggak akan datang, Lisa. Sadarlah,” katanya sambil memapah Lisa menuju mobilnya.“Kenapa kamu yang datang? Bukan William?”“Karena William nggak akan datang. Dia berada di luar kota sekarang.”Lisa mendecakkan lidahnya. “Luar kota lagi, aku benci dengan kata kata keluar kota. Dia pergi ke luar kota hanya untuk menghindariku.”Lisa dimasukkan ke dalam mobil, sementara lelaki itu di kursi kemudi dan bersiap meninggalkan area parkir.“Kenapa tiap malam harus minum? Aku tahu kamu sed
Malam itu Rafael mengantarkan Alexandra sampai depan hotel, setelahnya ia kembali ke rumah dengan perasaan yang hampa.Dia berpikir apakah dirinya terlalu cepat menyatakan perasaannya pada Alexandra? Namun, dirinya sudah menunggu kesempatan itu sejak Alexandra masih duduk di kelas tiga SMA. Lima tahun berlalu, dan perasaan itu masih ada apalagi ketika dia bertemu lagi dengan gadis itu.Alexandra sudah berubah. Dia lebih dewasa dan tidak banyak bicara seperti dulu. Wajahnya yang remaja perlahan berubah menjadi wanita dewasa, caranya bersikap dan bicara, membuat perasaan di dalam hatinya membuncah.Namun, perasaannya ditolak oleh Alexandra malam itu. Rafael tak tahu, apakah Alexandra masih berharap pada William, atau memang gadis itu tak pernah menyimpan perasaan padanya hingga sekarang.Di sisi lain, Alexandra yang sejak bertemu Rafael selalu menampakkan senyumnya yang manis. Saat Rafael sudah tak ada di sisinya, raut wajah itu berubah menjadi beku. Dia tak memiliki alasan untuk tersen
Seperti biasa Lisa pergi ke bar dan minum minum sendirian. Dia bertekad akan melakukan hal itu sampai William mau memperhatikannya. Meski sudah dilarang oleh Brian tapi wanita itu tak mendengarkan apa kata asistennya.“Sebaiknya kita pulang,” kata Brian.Lisa menyingkirkan tangan Brian yang memegang tangan Lisa.“Jangan menyentuhku.”“Kalau begitu kita pulang sekarang. Bagaimana kalau ayahmu tau jika ternyata kamu setiap malam terus begini.”Lisa berpura-pura tidak mendengarkan ucapan Brian. Dia malah menambahkan wine ke dalam gelasnya lagi.Hingga sebuah bayangan muncul dan berdiri di samping Lisa.“Mau sampai kapan kamu begini?” tanya William, dia merebut gelas yang hendak diminum oleh Lisa.Lisa tersenyum seperti orang bodoh. Memandangi William seolah sosok itu hanyalah manusia bayangan.“Kamu William?” tangan Lisa menangkup sisi wajah Lisa. “Mana mungkin kamu William. William nggak pernah peduli padaku,” katanya dengan sedih.William mengambil tangan Lisa, lalu diletakkannya di at
Sudah seperti yang dibayangkan oleh William, jika makan malam di rumah mertuanya membuatnya tak nyaman. Dia tak berharap makan malam yang mewah dengan segala masakan ada di atas meja, hanya saja dia berharap jika mertuanya tidak “menghakiminya” di meja makan.“Kalian sudah menikah selama lima tahun, tapi belum memiliki seorang anak? Apa ada masalah dengan kalian?” tanya ayah Lisa.“Nggak ada, Yah. Lisa memang belum mau punya anak, merepotkan,” jawabnya. Padahal jelas bukan itu yang ingin dikatakan oleh Lisa. Dia tentu ingin memiliki seorang anak dari William. Dia bahkan tak akan mengatakan bahwa itu merepotkan karna dia diam diam ingin menjadi seorang ibu yang baik untuk anaknya.“Tapi ini sudah lima tahun, Lisa? Teman teman kamu sudah menikah semua dan memiliki anak. Dan cuma kamu yang belum,” tambah ibunya.“Pernikahan dan memiliki anak kan bukan ajang kompetisi, Bu. Bisa saja tahun depan aku berubah pikiran dan mau punya anak. Ya kan, William?” Lisa melirik ke arah William yang rau