Tidak seperti yang diharapkan oleh Nikita, William tidak datang sore itu. Apa lelaki itu lupa? Apa mengubah jawabannya? Tetapi William bukan lelaki seperti itu. Dia akan menepati janjinya seperti yang sudah sudah.Namun, yang membuat Nikita cemas adalah William tidak ada kabar sampai malam itu. Hingga membuatnya ketiduran. Padahal William berjanji akan membawanya pulang ke rumah.Hingga keesokan harinya, William datang. Nikita terlihat agak kecewa, dia tak bisa menyembunyikan rauat wajahnya yang sedikit kesal pada William.“Maaf, tadi malam aku ada urusan,” kata William.“Ya, aku juga udah berpiikir begitu,” sahut Nikita tidak menatap wajah William.“Alexandra… tadi malam… “ William tidak melanjutkan ucapannya.“Dia udah sadar?”William menggeleng pelan. “Aku ditelpon oleh dokter, tiba tiba Alexandra mengalami kejang. Jadi aku ke sana sampai malam.”Tak mungkin jika Nikita tidak kecewa, dia merasakan kekecewaan itu. Namun, dia tak bisa memaksakan perasaan William bukan? Bahwa satu sat
Satu minggu kemudian Nikita dan William sudah pindah ke rumah baru mereka. Mereka memutuskan untuk tidak pindah ke rumah Nikita, melainkan membeli rumah baru dekat dengan kantor mereka.Kamar Abraham dan Fiona terpisah, itu sudah keputusan Nikita dan William karena amar di rumah itu ada cukup banyak untuk bisa ditempati.Ada dua babysitter untuk mengasuh Fiona dan Abraham. Dua pembantu untuk memasak dan tiga pembantu untuk mengurus rumah mereka.Satu tukang kebun dan satu supir William.Nikita sengaja mempekerjakan banyak pembantu di rumahnya agar rumah besar itu tidak terlalu sepi. Apalagi sebentar lagi dia akan bekerja lagi. Orangtua Nikita sama sekali belum mengunjunginya setelah melahirkan. Dia sendiri tidak terkejut karena ayah dan ibunya sudah tidak peduli dengan hidupnya. Setelah dia memutuskan untuk menikah dengan lelaki pilihannya sendiri.Namun, hari itu Nikita kedatangan tamu yang membuatnya tak pernah dia duga.“Bu, ada tamu. Wanita dan pria paruh baya, sekarang masih ada
Enam tahun kemudian …William dan Nikita masih hidup bersama karena kesepatakan yang mereka buat enam tahun yang lalu.Fiona terbiasa memanggil mama, dan Nikita pun tidak menolak dengan panggilan itu. Fiona memanggil mama karena Abraham memanggilnya mama.Dan William dipanggil oleh mereka berdua dengan panggilan papa. Keduanya tumbuh tanpa dibeda-bedakan. Meski pada awalnya orangtua Nikita tidak setuju dengan keputusannya merawat anak dari keponakan William. Tapi lambat laun karena Fiona yang lucu dan menggemaskan membuat mereka luluh juga.“Fiona! Abraham! Bus jemputan kalian mau datang! Lekaslah turun!”Keduanya turun didampingi oleh pengasuh mereka berdua. Fiona dengan rambut dikuncir dua sementara Abraham mengenakan seragam sekolahnya di hari pertama.William tersenyum ketika mendapati anak anaknya sudah tumbuh secepat ini.“Pa, katanya mau ke kebun binatang? Kapan Pa? Jangan bohong lagi lho,” rengek Abraham.“Iya, akhir minggu ini ya.”“Papa bohong terus,” sahut Fiona.“Nggak, pa
Ketika hendak pulang dari kantor, tiba tiba saja William mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit.Biasanya William mendapatkan telepon dari rumah sakit mengabarkan keadaan Alexandra. Terakhir kali dia menerima kabar jika Alexandra mengalami kejang hebat.Lalu kali ini apa lagi?“Apa?” William bertanya seakan tak percaya.“Saya akan ke sana sekarang.”William pun bergegas menuju rumah sakit begitu diberitahu bahwa Alexandra sudah dapat menggerakkan tangannya.Hal yang sangat William nantikan karena setiaknya Alexandra memiliki kesempatan untuk mau melanjutkan hidupnya.Begitu sampai di rumah sakit, di dalam kamar Alexandra, dokter sedang memeriksa Alexandra. Mereka terlihat senang atas apa yang dialami oleh Alexandra. Hingga punggung salah satu dokter yang menutupi bayangan Alexandra menyingkir lalu terlihat Alexandra membuka matanya.William menyeruak masuk, dia melihat Alexandra tengah menatap ke atas langit langit kamarnya.“Bagaimana dokter?” tanya William.“Karena sudah lebih d
Sampai di rumah William menunjukkan wajahnya yang mencemaskan Alexandra. Nikita yang melihat raut wajah William yang tak biasa pun bertanya kepada lelaki itu. Namun, William yang sedang kalut tidak mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya.“Will.” Nikita menyentuh bahu William, memijatnya membuat lelaki itu lebih sedikit rileks.“Ya? Kamu bilang apa tadi, maaf aku nggak denger.”“Kamu lagi ada masalah?”William mengenggam tangan Nikita, menarik tubuh wanita itu hingga berdiri di depannya.“Alexandra sudah sadar,” kata William.Nikita terkejut. Wajahnya seketika menegang.“La… lu?”William menggelengkan kepalanya.Nikita lalu memeluk William. Memeluknya sangat erat seolah tak mau kehilangan lelaki itu.Perjanjian tetaplah perjanjian, dan semuanya akan berakhir begitu Alexandra sadar. Nikita tak bisa mengubahnya sewaktu-waktu atau mengingkarinya.“Kalau kamu mau memberikan Fiona pada Alexandra, kamu harus kenalkan dia dulu. Biarkan Fiona dekat dengan Alexandra,” kata Nikita pelan.“Ma
“Kita pertahankan bayi itu.” Ucapan dari William membuat Nikita tidak dapat berkonsentrasi saat ini.Kalimat yang keluar dari mulut William membuatnya terus memikirkannya.“Lalu aku harus bagaimana? Jika aku lahirkan anak ini sementara kamu akan pergi?” gumam Nikita.“Bu?” Sekertaris Nikita memutus pikiran Nikita. “Meeting akan segera dimulai,” ucapnya.“Oh ya, aku akan segera ke sana.”Nikita pun membereskan mejanya. Buru buru ke ruang rapat meninggalkan pikirannya tentang William sebentar.Sementara itu, siang itu ketika istirahat makan siang. William memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Alexandra.Begitu masuk ke ruangan yang baru Alexandra, keponakannya itu sedang makan disuapi oleh pengasuh yang disiapkan oleh William tadi pagi.Karena Nikita belum bisa mengerjakan apapun sendiri, jadi William akan memberikan pengasuh pada Alexandra sampai gadis itu bisa mandiri.“Om!” serunya dengan senang. Wajahnya sudah lebih ceria dan cerah. Meski tubuhnya masih kurus.
“Will! Kamu nggak sarapan!” tanya Nikita ketika melihat William pergi begitu saja pagi itu.“Nanti saja, ada masalah di rumah sakit!” jawab William, dia berjalan dengan tergesa-gesa sambil mengenakan jasnya.Pagi itu dia dikejutkan dengan telpon dari pengasuh Alexandra.“Pak, nona Alexandra tidak ada di kamarnya,” katanya tadi sesaat William mengangkat teleponnya.“Nona Alexandra sepertinya kabur saat saya menyiapkan sarapan untuknya.”Sontak setelah mendengar hal itu William langsung bergegas menuju ke rumah sakit.“Aku akan ke sana sekarang.”William tahu apa yang ada di dalam pikiran Alexandra saat ini. Gadis itu pasti merasa terbuang setelah tahu jika William masih mempertahankan pernikahannya dengan Nikita. Padahal sudah hampir enam tahun berlalu.William juga tau jika Alexandra akan pergi lagi jika dia tidak dapat mencegahnya. Dan kemungkinan untuk Alexandra mau kembali padanya sangatlah tidak mungkin.Sesampainya di rumah sakit kamar Alexandra terlihat kosong. Pengasuh Alexand
“Turunlah,” bujuk William.“Om pergi saja. Aku udah nggak mau liat Om Will lagi.”“Alex… aku tau kamu mendengar semuanya, kan? Pembicaraanku dengan Evan beberapa hari yang lalu?”Alexandra tidak menjawab. Kakinya bergerak mundur membuat William ketakutan.“Alexa, jangan melakukan hal bodoh lagi!”“Aku udah nggak peduli lagi …”Kaki Alexandra kehabisan pijakan. Tubuh gadis itu limbung ke belakang, membuat William sontak maju ke depan untuk menangkap tangan Alexandra. Akan tetapi, dia tidak dapat meraih tangan ibu dari Fiona itu.“Alexa!” teriak William.Orang orang di belakangnya pun ikut berteriak karena terkejut. William melihat keadaan di bawah, tapi dia bisa bernapas lega karena pihak rumah sakit sudah memberikan alas pelindung sebelum Alexandra melompat ke bawah.Tanpa menunggu lama, William pun menuruni tangga lagi untuk melihat keadaan Alexandra.Alexandra yang pingsan langsung dibawa ke UGD. Meski tidak cidera tapi William tetap saja khawatir dengan kondisi keponakannya itu sa
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in