Setelah mengetahui bahwa William menaruh simpati pada Thea, membuat Alexandra tidak bisa tidur tenang malam itu. Banyak hal yang membuatnya bertanya-tanya hal apa yang membuat William hingga memikirkan Thea seperti itu.Alexandra melihat bayangan dirinya di dalam cermin. Dia mencoba membandingkan dirinya dengan Thea.“Oke, aku masih kecil. Aku tidak seseksi Thea. Aku juga tidak semontok Thea. Tapi, om William nggak mungkin menyukai Thea gara gara hal itu kan?”Semakin memikirkan, semakin Thea dibuat pusing karenanya. “Jangan jangan Thea pakai guna-guna. Om William selama ini nggak pernah nyebut nama pacarnya meskipun mabuk. Tapi sekarang… “**Sampai pagi, Alexandra tidak bisa tidur dengan nyenyak. Hingga mengakibatkan ada tanda hitam di bawah matanya seperti panda.“Semua ini gara gara Thea,” geram Alexandra.“Lex! Sarapan sudah siap!” ujar William dari luar.“Ya! Aku datang!” sahut Alexandra. Kali ini dia tak akan memulai perang dinginnya pada William, karena hal itu hanya akan mer
William tak lantas percaya dengan ucapan Alexandra jika dia tak marah padanya. Jadi, saat jam istirahat William mencoba untuk menghubunginya. Dan beruntung Alexandra mengangkat telepon dari William.“Kenapa?” tanya Alexandra.“Nggak apa-apa, kamu sudah makan?”“Ini mau ke kantin. Kenapa Om?”“Ya sudah kalau begitu.” William ingin menanyakan hal lain tapi dia ragu. “Nanti sepulang sekolah langsung pulang.”“Iya.”Terdengar suara ramai dan berisik dari dalam ponsel Alexandra. Bahkan William mendengar suara anak lelaki memanggil nama ALexandra dengan tak biasa.“Kalau begitu, sampai nanti,” kata William.“Iya.”Usai menutup teleponnya, Thea masuk membawa beberapa berkas yang diminta oleh William saat di telepon tadi.“Hari ini jadwalku kosong kan?” tanya William sambil menandatangi berkas berkas yang ada di depannya.“Iya pak, kosong.”William mendongak dan melihat tanda biru keunguan di leher Thea. Dan dia masih bisa melihatnya dengan jelas.“Kamu pulang dengan selamat tadi malam?”“Iya
Tanpa sadar kemarahan dan kekesalannya membawanya sampai ke rumah lamanya yang masih sama kondisinya seperti beberapa tahun yang lalu.Rumah yang dulunya berdiri dengan megah dan indah, kini hanya terlihat seperti seonggok reruntuhan bangunan yang sudah ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman liar.Alexandra berdiri di sana cukup lama untuk kembali mengingat kejadian masa kecil yang membuatnya bahagia.Sejak bersama dengan William dia merasakan kebahagiaan itu. Akan tetapi, ketika percikan rasa itu muncul, membuat Alexandra menjadi seperti sekarang. Bahkan dia tidak bisa menyebut dirinya seorang keponakan.“Kalau saja aku nggak hidup bareng sama om William,” gumam Alexandra.Dia duduk di sebuah batu berlumut. Dia pandangi rumah itu seakan akan bisa berubah jika dia melihatnya sampai besok pagi.“Alexandra?” seseorang memanggil namanya.Alexandra menoleh dan terkejut mendapati siapa yang datang.“Kak Ethan? Kak Ethan ngapain di sini?” Alexandra tak kalah terkejut melihat sepupunya itu ada
Hampir jam sembilan dan tak ada tanda tanda jika Alexandra pulang ke rumah. William sontak makin khawatir jika terjadi sesuatu pada keponakannya itu.Ia mencoba untuk menghubungi Alexandra, tapi teleponnya masih tak dapat dihubungi.“Kenapa kamu harus begini Alex?” William bertanya dengan frustrasi.Evan masuk dan menggeleng. “Tidak ada kabar,” katanya.“Jadi bagaimana? Apa perlu kita lapor pada polisi?” tanya William.“Masih belum satu hari, lagipula Alexandra bukan anak kecil. Pasti kita diminta menunggu.”“Mana mungkin aku bisa menunggu kalau sampai sekarang dia tak ada kabar!” William berdiri dari sofa kemudian mengambil jaketnya.“Anda mau mencari ke mana?”“Ke mana saja, kemungkinan ada Alexandra di sana.”**Sementara itu, ALexandra sudah berada di rumah Ethan. Dia baru saja mandi, dan Ethan baru saja selesai memasak nasi goreng.“Aku sudah belajar memasak nasi goreng. Jadi kamu tak perlu khawatir rasanya tidak enak,” kata Ethan sambil mengulurkan piringnya.“Aku udah lapar ban
William menatap mata Ethan dengan tajam, tak menyangka jika lelaki itu sudah berani mengatakan hal itu terhadapnya. “Pukul aku, biar ALexa tau kalau om belum bisa bersikap dewasa,” tantang Ethan.Urat di tangan William terlihat, pun di lehernya, seakan apa yang diucapkan oleh Ethan benar benar berhasil menyulut amarahnya.“Berani menyentuh Alexandra, maka aku gak akan diam saja,” William mengancam balik Ethan. Dia melepaskan cengkeramannya lalu mendorongnya pergi.“Kita lihat saja nanti.” Kemudian Ethan pergi meninggalkan William yang masih melihatnya dengan tatapan seakan ingin membunuhnya.Masuk ke dalam apartemen, Alexandra terlihat sudah berada di dalam kamarnya. William datang menghampiri Alexandra yang berada di kamar dan memandang punggung gadis itu.“Kenapa harus pergi ke rumahnya?” tanya William.“Mau pergi ke mana itu urusanku, Om,” jawab Alexandra.“Kamu marah masalah apa?”Kali ini Alexandra berbalik, lalu tersenyum sarkas menatap William.“Gak, aku gak marah. Aku cuma r
William pikir setelah bergantinya hari, semuanya akan kembali ke dalam keadaan yang semula. Karena ia yakin bahwa Alexandra yang masih belum dewasa dapat melupakan perasaannya dengan mudah.Namun, keyakinannya itu salah. Karena pagi itu, ketika dia hendak membangunkan Alexandra untuk sarapan, gadis itu sudah tidak ada di dalam kamarnya.Di depan pintu tertulis jika dia sudah berangkat pagi pagi sekali, meski itu terlihat seperti Alexandra berusaha menghindarinya.“Padahal aku ingin sarapan bersama,” kata William pelan.Mungkin saja dengan sarapan bersama bisa membuat Alexandra dan dirinya menjadi dekat seperti dulu tanpa rasa canggung. Seperti halnya hubungan antara keponakan dan om.William berniat mengirimkan pesan pada Alexandra tapi diurungkannya. Karena dia melihat story di aplikasi chat Alexandra sedang menunjukkan bahwa dia sedang naik motor bersama dengan seorang pria.Mengusap wajahnya dengan frustrasi, William tahu jika Alexandra akan membangkang kepadanya mulai hari ini.**
“Alex awas!”Alexandra menoleh tapi tubuhnya ambruk ke belakang karena bola basket yang mengenai keningnya.“Alexa! Alexa!” Suara gemuruh itu terdengar begitu berisik hingga kemudian perlahan menjadi samar lalu Alexandra tidak mendengar apa apa lagi.**Jam 10 pagi di UKS.Alexandra merasa pusing, kepalanya masih sakit, benturan bola basket tadi masih terasa sampai sekarang.“Lex, gimana? Masih sakit?” tanya Emily, dia sudah mengenakan seragam sekolahnya.“Pusing,” jawabnya jujur. “Siapa sih yang main bola tadi.”“Andreas. Kenal, kan?” bisik Emily seakan dia sedang menyebut nama Voldemort. “Cowok yang populer itu lho.”“Oh, dia,” katanya tanpa minat. “Andreas bilang, nanti mau ketemu sama kamu.”“Mau ngapain?”Emily menaikkan kedua bahunya. “Naksir kamu kalik.”Alexandra mencoba untuk duduk dan menyunggingkan senyum. “Kalau dia suka sama aku, aku bakal jadiin dia pacarku.”Mata Emily membulat tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Alexandra barusan. Padahal Emily tahu jika Alexan
William melihat Thea mengenakan gaun putih panjang dengan rambut yang dia gerai. Thea terlihat begitu cantik dengan wajah dan kulit yang bersinar hingga William ingin menggapainya.Thea berdiri dengan satu buket bunga di tangan dan tersenyum pada William. Dia melambai ke arah William seakan memintanya untuk segera datang kepadanya.Tanpa ragu William berjalan dengan langkah ringan. Mendatangi Thea kemudian memeluk pinggang mungil itu dengan erat. Ia cium bibir Thea dengan lembut dan mengulumnya lidahnya.“Aku mencintaimu,” kata Thea ketika ciuman itu terlepas.“Aku juga,” sahut William seakan kata kata itu bukan terlontar dari mulutnya.“Om!” panggil gadis kecil seperti masih TK dengan rambut kuncir dua. “Kenapa om ciuman di depanku? Kenapa om nikah sama dia bukan sama aku?”“Om!”Kali ini William tersentak. Keringat mengucur di keningnya dan dia baru menyadari jika dirinya ternyata hanya bermimpi.Langit sudah gelap dan lampu di kamarnya belum menyala.Hari ini dia pulang lebih cepat