Aku berjalan perlahan menyusuri trotoar panjang menuju halte bis, sendirian.Sore itu, setelah bel pulang berbunyi semua temanku memiliki kesibukan masing - masing. Amanda pergi ngdate sama kak Alif, Eka di ajak kumpul anggota genk, sementara Nia sudah lebih dulu pulang bersama teman sekelasnya karna ada tugas kelompok, begitu pun dengan Zendra. Akhirnya hari ini aku benar - benar harus pulang sendirian saja.Aku duduk di bangku panjang menunggui kedatangan bis yang akan mengantarku pulang. Berteduh di bawah pohon ketapang rindang yang berdiri kokoh menjadi peneduh halte tanpa atap ini.Mataku tertuju pada sebuah motor yang berhenti di pinggir trotoar tersebut. Memperhatikan seorang pengendaranya yang kini berjalan ke arahku."Ayo Din, gue anter pulang" Ajak Umay begitu sampai didekatku.Aku memberinya tatapan bingung."Tadi Zendra pesan sama gue buat anter loe pulang, soalnya hari ini dia ada tugas kelompok jadi gak bisa bareng sama loe" Ucapnya seolah mengerti akan kebingungan yang
Mobil berhenti tepat di depan rumah Tante Dewi. Hunian mewah yang bertengger diantara rumah lain yang nampak sederhana itu nampak mencolok didominasi warna putih dengan pilar emas di kedua sisinya.Beberapa kendaraan terparkir memenuhi garasinya, mulai dari sepeda, motor, dan juga mobil, lengkap semua ada. Itu bukan hanya milik Tante Dewi, tapi milik beberapa tamu yang sudah menunggunya didalam.Aku masuk membuntuti Tante Diah, bersamaan dengan rombongan tadi. Lalu, kami saling bersalaman satu sama lain. Setelah sedikit berbasa - basi, Gin menarikku untuk pergi dari kumpulan orang dewasa tersebut."Mba Dindaaa" Caca meninggalkan kentang - kentang yang sedang dikupasnya, menghambur ke pelukanku begitu dia melihatku berdiri di ruang keluarga rumahnya.Aku menyambut pelukannya "apa kabar Ca? Udah lama kok kamu gak pernah ke rumah nenek lagi."Caca banyak tugas Mba, Caca kangen deh sama mba Dinda!" Ucapnya seraya melepas pelukan."Iya Ca sama, Mba juga kangen" Balasku."Udah bagus kamu ga
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Tante Dewi pikiranku masih berputar - putar dengan masalah yang sama. Aku sampai gak mengerti apa tujuan Papa sebenarnya. Apa Mama juga dibohongi oleh Papa sama sepertiku atau malah Mama juga berkomplot dengan Papa untuk membohongiku?Aku terus bergumam dalam hatiku dengan seribu pertanyaan yang gak bisa di jawab oleh siapapun yang ada di mobil ini.Tak terasa mobil sudah menepi di halaman rumah yang nampak luas dengan banyak pepohonan disana. Langit kemerahaan menyambut, ketika rombongan kami turun dari mobil Om Budiono.Aku yang saat itu duduk dikursi paling belakang mendapat giliran turun paling terakhir, hampir bersamaan dengan Kakek yang duduk di depan tapi menunda diri untuk membuka pintu mobil lebih cepat."Tolong dipikirkan lagi ya, Pah" Ucap Om Budiono dengan nada yang lebih terdengar memaksa saat Kakek akan berangsur turun."Hati - hati mengendarai mobilnya, Bud" Kata Kakek mengalihkan pembahasan dan gak mengabaikan ucapan Om Budiono, l
POV : ZENDRAAh sialan! Gara - gara ban motor kempes jadi telat masuk. Baru kemarin kena hukum Pak Yusdi. Masa sekarang harus kena hukum lagi, lama - lama bisa kena kartu merah nih. Aku bergumam kesal begitu melihat gerbang setinggi cita - citaku itu sudah tertutup rapat dengan manekin hidup berbentuk doraemon mematung di depan pos.Doraemon gak ada guna, giliran jaga gerbang aja dia ada, sementara kemarin, di saat genting si Dinda sampai ke kunci di ruang lab, ini manusia kemana? Aku masih bergumam sendiri, melirik kesal pria tua berkumis tebal dengan seragam biru tua tersebut."Pak, ayo atuh bukain gerbangnya. Baru juga telat 15 menit. Masa gak di maklumin. Tar Zen beliin kopi deh!" Aku merayu Pak Abdul agar hatinya tergerak membuka gerbangnya untukku."Tar dibukanya nunggu perintah Pak Yusdi" Jawabannya makin membuatku sebal."Itu mah sama aja bohong atuh pak"Pak Abdul hanya melirik sekilas dan tetap berdiri tegak bak tentara perang yang sedang menjaga perbatasan wilayah.Mau gak
"Alif, ba, ta , tsa..." Kak Alif menunjuk satu per satu huruf hijaiyah yang tertera pada buku iqra kecil di tangannya.Ceritanya, Kak Alif lagi mengajari pacarnya agar bisa mengaji. Supaya jadi ibu yang sholehan untuk anak - anak mereka kelak. Begitulah cita - cita kehidupan mereka di masa depan."Alip... kayak namamu yah. Aku jadi kaya lagi manggil kamu" Ucap Amanda malah mencandai pacarnya yang sedang serius menjadi guru ngajinya tersebut.Mereka sudah hampir satu jam berada di halaman buku yang sama dan Amanda masih belum serius untuk mempelajarinya."Udah ah serius. Ayo coba lagi, alif, ba, ta, tsa" Kak Alif mengulangi lagi entah sudah berapa kali dan aku masih betah saja mendengarkan mereka sambil memandangi dua manusia aneh itu duduk di lantai, dipojokan kelas.Ini jam istirahat, jadi kelas kami sepi dan kedua orang tersebut, hmm... maksudku Amanda seharusnya bisa serius sih menangkap pembelajaran ringan yang Kak Alif ajarkan padanya."Alip, bata, seng, gendeng, batako. Ah gak t
"Ayo Din, gue anter pulang lagi" Ajak Umay yang kali itu bertemu denganku di dekat gerbang."Zendra minta loe lagi buat anter gue?""Iya""Kapan? Katanya tadi loe gak ketemu dia"Umay nyengir, ketahuan berbohong. "Ya udah sih meskipun gak di suruh Zendra emang kenapa balik sama gue. Kan gue sahabatnya""Jangan gitu, tar malah bikin Zendra salah paham sama kita. Udah sana balik, gue juga mau balik bareng sama temen gue""Ya udah kalau gitu gue duluan ya, loe hati - hati" Pesan Umay, lalu dia membawa motornya meninggalkan gerbang sekolah. Sementara aku masih berdiri di depan gerbang menunggu Eka yang masih belum menunjukkan batang hidungnya."Kamu lagi nungguin siapa Dinda?" Tanya Kak Wito"Lagi nungguin teman Kak""Saya antar pulang saja ya" Tawarnya lagi, padahal pagi tadi aku sudah menolak permintaannya."Gak usah Kak, makasih" Aku menolaknya lagi, dengan halus."Kalau gitu, kita tunggu temanmu di sana ya" Katanya sambil menunjuk sebuah warung di bawah pohon ketapang, di ujung jalan.
"Serius banget kayanya ngobrol sama Kak Wito" Ujar Eka begitu aku menghampirinya, lalu kami berjalan bersama menuju halte bis."Dia kan emang orangnya serius gak pernah becanda""Kenapa sih loe gak jadian aja sama dia, kalian bukannya sama - sama saling suka?" Eka melirikku "Sorry bukannya ikut campur tapi rumor yang menyebar sih begitu di sekolah. Bukannya malah lebih nyaman sama yang saling suka ya? Daripada pacar loe sekarang gak jelas, bandel banget lagi" lanjutnya memberi pendapat."Emang dari awal masuk sekolah yang gue taksir dia, tapi kalau di fikir lagi dari dulu kita sama - sama saling suka kok gak pernah bisa bersama. Kan seolah takdir tuh lagi ngasih tahu gue kalau dia bukan jodoh yang tepat"Eka terkekeh "Terus loe berharap anak bandel itu jodoh loe?""Ya nggak gitu juga. Gimana berjalannya waktu aja lah, cuma untuk sekarang sih perasaan gue ke Zendra sepenuhnya. Jadi gue gak mau sia - siakan lagi seperti yang sebelumnya. Tentang perasaan gue sama Kak Wito biar aja jadi p
"Gak bisa. Dinda harus tetap tinggal di sini" Kata Kakek tegas, bersikeras mempertahankanku. Selama ini beliau juga acuh, giliran aku hendak pergi dilarang - larang. "Saya akan tetap membawa Dinda, Pak, bu. Meskipun kalian melarang saya tetap akan membawanya" Mama juga teguh dengan pendiriannya memperjuangkanku untuk pergi dari rumah keluarga Papa. "Ya sudahlah biarkan saja Pak kalau memang dia ngeyel begitu" Ucap Nenek dengan nada kesal. Beliau memang gak suka dengan mamaku. Dulu, mama menikah dengan papa sebenarnya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Saat itu keduanya masih sama - sama kaya raya. Tumbuh dari keluarga yang terpandang dan terhormat dengan latar pendidikan yang gak main - main. Namun, dunia gak selalu sempurna dan gak bisa di prediksi sebelumnya. Harapan sukses di masa mendatang dari perjodohan kedua keluarga kaya raya itu sirna tak sesuai yang diinginkan, hingga berujung nenekku yang malah membenci menantu pilihannya sendiri. "Asal mbak tau ya, selama ini