“Mbak Khansa termasuk wanita yang baik. Dia seperti kakak bagiku walaupun kami tidak ada hubungan darah. Dia belum menikah lagi semenjak suaminya meninggal dua tahunan yang lalu,” ucap Arya menatap ke arah depan.“Jadi, kalau Mas Uki memang tertarik pada Mbak Khansa, aku sangat mendukung sekali. Aku sudah mengenal Mas Uki yang termasuk orang baik,” lanjutnya dengan tersenyum seraya menatap Uki yang duduk di sampingnya.“Apa maksudmu, Ar? Siapa juga yang tertarik padanya. Ucapanmu itu ada-ada saja,” Uki mengelak ucapan Arya.Arya tersenyum mendengar ucapan Uki. Mereka pun terdiam kembali untuk mendengarkan tausiyah yang disampaikan oleh Khansa pada ibu-ibu yang menghadiri acara aqiqah anak Asma.“Mengapa dia tidak menikah lagi padahal suaminya meninggal sudah cukup lama. Apa dia terlalu mencintai almarhum suaminya sehingga enggan untuk berkeluarga kembali?” tanya Uki secara tiba-tiba yang membuat Arya menengok ke arahnya.“Katanya tidak tertarik?” goda Arya pada Uki seraya terkekeh.“P
Ketika melihat Arya yang terdiam, Uki menepuk bahunya. “Aku yakin kamu akan segera melamar adikku jika memang statusnya juga sudah jelas.”Arya menengok ke arah Uki. Selama ini status Asmalah yang membuat dirinya belum melangkah ke arah selanjutnya.“Hal tersebut yang membuatku masih bingung, Mas. Aku belum mengetahui bagaimana status pernikahan Asma dan mantan suaminya. Asma memang sudah ditalak oleh Tanto, tetapi dia juga masih belum tahu status pernikahannya di mata hukum negara.”“Insya Allah aku akan membantu untuk mengurus semuanya. Aku hanya menginginkan adikku bahagia bersama dengan orang yang dicintainya dan juga mencintainya dan juga pasangan yang bisa menjadi imam dan membimbingnya,” ucap Uki pada Arya.Sebagai kakak, Uki tidak mau mengulangi hal yang sama dengan pernikahan pertama adiknya. Dia tidak bisa tegas menolak pilihan sang adik yang menurut keluarga tidak tepat.Tanpa mereka sadari, di balik pintu ruang tamu, Laila mendengar obrolan Uki dan Arya. Laila pun semakin
[“Assalamualaikum.” ]Terdengar suara Bu Suminah dari ponsel Uki. Dia sengaja mengeraskan suara panggilan dari ibunya agar Asma bisa mendengarkan.Mata Asma berkaca-kaca mendengar suara sang ibu yang sudah sangat dirindukannya.[“Waalaikumsalam, Bu,”] jawab Uki dengan tersenyum walaupun tidak akan terlihat oleh sang ibu karena mereka melakukan panggilan biasa.[“Mengapa kamu tidak pulang, Nak? Laila baik-baik saja kan?"] tanya Bu Suminah karena Uki lupa menghubungi untuk meminta izin tidak pulang ke rumah.[“Maafkan Uki, Bu! Uki lupa menghubungi Ibu. Laila baik-baik saja. Uki tadi harus membantu teman satu kontrakan Laila yang ternyata sedang mengadakan walimatul aqiqah.”] Uki menjelaskan alasannya seraya menatap Asma yang duduk di depannya.Ibu Suminah terdiam sesaat ketika mendengar penjelasan Uki hingga tidak mendengar panggilannya.[“Oh maaf, Nak. Tiba-tiba Ibu teringat dengan adikmu. Kalau dihitung-hitung usia kandungan adikmu, pasti dia juga sudah melahirkan,”] ujar Bu Suminah d
“Hai, Asma!” sapa Endang yang sudah berada di depan Asma yang berada di samping kasir. Asma menatap Endang dengan sorotan tajam. Pancaran matanya tidak bisa menyembunyikan rasa benci pada wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya. Dia berusaha menahan emosi terhadap apa yang akan terucap dari mulut Endang. Endang tersenyum sinis melihat Asma yang terdiam di tempatnya berdiri. Dia melirik perut Asma yang sudah mengempis. “Oh, ternyata kamu sudah melahirkan. Selamat ya! Semoga anak itu tidak dikucilkan karena tidak mempunyai ayah,” ucap Endang yang terkandung ejekan untuk Asma. Bagian kasir yang terletak di depan pintu masuk, untungnya tidak terlihat pembeli yang mengantre. Hanya ada Anisa dan Asma yang sedang mengobrol sebelum kedatangan Endang di hadapan mereka. “Siapa dia, Mbak?” bisik Anisa yang berada di dekat Asma. Walaupun Anisa bertanya dengan suara lirih, tetapi masih terdengar oleh Endang. “Kenalkan, saya istri dari mantan suaminya,” sahut Endang dengan tersenyum
“Perkenalkan! Saya Arya, saya adalah pemilik toserba ini dan juga calon suami Asma,” jawab Arya tanpa mengulurkan tangannya.Asma langsung menatap Arya ketika mendengar ucapannya. Tatapan mereka bertemu sesaat sebelum Arya berhadapan kembali dengan Endang yang terkejut dengan ucapan Arya.“Jika Anda hanya ingin membuat malu calon istri saya, silakan Anda meninggalkan tempat ini. Tetapi, jika masih ada barang yang ingin di beli, silakan lanjutkan kegiatan Anda. Apa yang Anda lakukan secara tidak langsung mengganggu pelanggan saya yang lain,” lanjut Arya dengan tegas.Wajah Endang memerah mendengar ucapan Arya yang secara tidak langsung sudah mengusirnya dengan halus. Apalagi, orang-orang yang berada di dekatnya memperhatikan dirinya.Endang belum sempat menjawab ucapan Arya, temannya sudah memberi kode untuk meninggalkan tempat itu.“Maafkan teman saya, Pak. Kami sudah selesai belanja. Maaf jika kami mengganggu ketenteraman pelanggan di sini,” ucap teman Endang.Endang menatap temannya
"Menikah dengan Mas Arya saja, Mbak!” Intan mengulangi ucapannya yang semula berupa pertanyaan, kini terdengar seperti permintaan.Asma menatap lekat mata Intan. Dia ingin mencari keseriusan dari ucapan yang dilontarkannya.“Tidak salah kamu memintaku untuk menikah dengan Arya. Kenapa kalian tidak meminta Mbak Khansa menikah dengan Arya saja?” tanya Asma yang merasa heran dengan permintaan Intan.Selama ini Arya dan Khansa mengelola panti bersama-sama. Bahkan, mereka sudah dianggap sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak panti. Mengapa mereka tidak meminta Arya menikah dengan Khansa saja. Kini, Intan sebagai salah satu penghuni panti malah memintanya untuk menikah dengannya.Intan menghela nafas. Dia menatap ke arah jalanan melalui jendela mobil bagian depan. Dia teringat dengan permintaan anak-anak panti kepada Arya maupun Khansa. Mereka meminta Arya dan Khansa menikah saja, tetapi keduanya menolak. Tidak hanya sekali mereka meminta, tetapi berkali-kali dan berulang-ulang. Akan tetapi, j
“Tetapi bagaimana kalau dia benar-benar tidak mengakui Randi, Mbak?” tanya Asma ketika Khansa sudah duduk di sampingnya.“Itu baru dugaanmu dan mungkin hanya ketakutanmu. Kalau tidak mencoba menemuinya, kamu tidak akan pernah mengetahui reaksinya saat bertemu dengan Randi.”Asma terdiam menatap Randi yang terlelap di pangkuannya. Apa yang dikatakan Khansa memang benar. Dia belum mencobanya dan dia hanya mendengar dari Endang, bukan dari ucapan Tanto sendiri.“Walaupun anakmu laki-laki tetap harus memperhatikan nasabnya. Bagaimanapun juga dia akan bernasab pada ayahnya dan mantan suamimu tidak bisa menolaknya,” ucap Khansa karena melihat Asma yang hanya diam.Asma menghela nafas. “Terima kasih, Mbak. Secepatnya aku akan menemui orang tuaku terlebih dahulu. Aku ingin meminta maaf kepada mereka. Tadi Endang juga menyampaikan kalau Mas Tanto segera mengurus perceraian kami.”“Bagus itu. Perceraian kalian harus segera diurus agar statusmu jelas. Jadi, kalau ada laki-laki yang ingin menjadi
[“Bapak sakit apa, Mas?”] tanya Asma dengan nada khawatir.Asma menghentikan kegiatannya membungkus kue. Perasaan bersalah semakin bercokol di dalam hatinya. Dia sudah mengecewakan sang ayah dan sekarang menyebabkannya sakit pula.[“Sebenarnya sakit bapak tidak parah, penyakit orang tua. Tetapi, bapak sering melamun. Setiap ditanya, jawabnya kangen kamu. Kalau menurut Mas, sudah saatnya kamu menemui bapak dan ibu, Asma. Mereka sudah sangat merindukanmu dan juga mengkhawatirkanmu. Mereka pasti bahagia jika tahu kalau cucunya sudah lahir,”] ucap Uki panjang lebar lewat sambungan telepon.Terdengar helaan nafas dari Asma. Dia terdiam mendengar ucapan Uki.[“Apa kamu tidak ingin mengurus perceraianmu? Selesaikan semuanya agar laki-laki yang akan mendekatimu bisa melangkah lebih mantap,”] lanjut Uki karena melihat Asma yang terdiam.Asma menatap ke arah Uki melalui layar ponsel milik Laila.[“Mas, sebenarnya tadi siang aku bertemu dengan istri Mas Tanto yang sekarang. Kami tidak sengaja be