[“Assalamualaikum.” ]Terdengar suara Bu Suminah dari ponsel Uki. Dia sengaja mengeraskan suara panggilan dari ibunya agar Asma bisa mendengarkan.Mata Asma berkaca-kaca mendengar suara sang ibu yang sudah sangat dirindukannya.[“Waalaikumsalam, Bu,”] jawab Uki dengan tersenyum walaupun tidak akan terlihat oleh sang ibu karena mereka melakukan panggilan biasa.[“Mengapa kamu tidak pulang, Nak? Laila baik-baik saja kan?"] tanya Bu Suminah karena Uki lupa menghubungi untuk meminta izin tidak pulang ke rumah.[“Maafkan Uki, Bu! Uki lupa menghubungi Ibu. Laila baik-baik saja. Uki tadi harus membantu teman satu kontrakan Laila yang ternyata sedang mengadakan walimatul aqiqah.”] Uki menjelaskan alasannya seraya menatap Asma yang duduk di depannya.Ibu Suminah terdiam sesaat ketika mendengar penjelasan Uki hingga tidak mendengar panggilannya.[“Oh maaf, Nak. Tiba-tiba Ibu teringat dengan adikmu. Kalau dihitung-hitung usia kandungan adikmu, pasti dia juga sudah melahirkan,”] ujar Bu Suminah d
“Hai, Asma!” sapa Endang yang sudah berada di depan Asma yang berada di samping kasir. Asma menatap Endang dengan sorotan tajam. Pancaran matanya tidak bisa menyembunyikan rasa benci pada wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya. Dia berusaha menahan emosi terhadap apa yang akan terucap dari mulut Endang. Endang tersenyum sinis melihat Asma yang terdiam di tempatnya berdiri. Dia melirik perut Asma yang sudah mengempis. “Oh, ternyata kamu sudah melahirkan. Selamat ya! Semoga anak itu tidak dikucilkan karena tidak mempunyai ayah,” ucap Endang yang terkandung ejekan untuk Asma. Bagian kasir yang terletak di depan pintu masuk, untungnya tidak terlihat pembeli yang mengantre. Hanya ada Anisa dan Asma yang sedang mengobrol sebelum kedatangan Endang di hadapan mereka. “Siapa dia, Mbak?” bisik Anisa yang berada di dekat Asma. Walaupun Anisa bertanya dengan suara lirih, tetapi masih terdengar oleh Endang. “Kenalkan, saya istri dari mantan suaminya,” sahut Endang dengan tersenyum
“Perkenalkan! Saya Arya, saya adalah pemilik toserba ini dan juga calon suami Asma,” jawab Arya tanpa mengulurkan tangannya.Asma langsung menatap Arya ketika mendengar ucapannya. Tatapan mereka bertemu sesaat sebelum Arya berhadapan kembali dengan Endang yang terkejut dengan ucapan Arya.“Jika Anda hanya ingin membuat malu calon istri saya, silakan Anda meninggalkan tempat ini. Tetapi, jika masih ada barang yang ingin di beli, silakan lanjutkan kegiatan Anda. Apa yang Anda lakukan secara tidak langsung mengganggu pelanggan saya yang lain,” lanjut Arya dengan tegas.Wajah Endang memerah mendengar ucapan Arya yang secara tidak langsung sudah mengusirnya dengan halus. Apalagi, orang-orang yang berada di dekatnya memperhatikan dirinya.Endang belum sempat menjawab ucapan Arya, temannya sudah memberi kode untuk meninggalkan tempat itu.“Maafkan teman saya, Pak. Kami sudah selesai belanja. Maaf jika kami mengganggu ketenteraman pelanggan di sini,” ucap teman Endang.Endang menatap temannya
"Menikah dengan Mas Arya saja, Mbak!” Intan mengulangi ucapannya yang semula berupa pertanyaan, kini terdengar seperti permintaan.Asma menatap lekat mata Intan. Dia ingin mencari keseriusan dari ucapan yang dilontarkannya.“Tidak salah kamu memintaku untuk menikah dengan Arya. Kenapa kalian tidak meminta Mbak Khansa menikah dengan Arya saja?” tanya Asma yang merasa heran dengan permintaan Intan.Selama ini Arya dan Khansa mengelola panti bersama-sama. Bahkan, mereka sudah dianggap sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak panti. Mengapa mereka tidak meminta Arya menikah dengan Khansa saja. Kini, Intan sebagai salah satu penghuni panti malah memintanya untuk menikah dengannya.Intan menghela nafas. Dia menatap ke arah jalanan melalui jendela mobil bagian depan. Dia teringat dengan permintaan anak-anak panti kepada Arya maupun Khansa. Mereka meminta Arya dan Khansa menikah saja, tetapi keduanya menolak. Tidak hanya sekali mereka meminta, tetapi berkali-kali dan berulang-ulang. Akan tetapi, j
“Tetapi bagaimana kalau dia benar-benar tidak mengakui Randi, Mbak?” tanya Asma ketika Khansa sudah duduk di sampingnya.“Itu baru dugaanmu dan mungkin hanya ketakutanmu. Kalau tidak mencoba menemuinya, kamu tidak akan pernah mengetahui reaksinya saat bertemu dengan Randi.”Asma terdiam menatap Randi yang terlelap di pangkuannya. Apa yang dikatakan Khansa memang benar. Dia belum mencobanya dan dia hanya mendengar dari Endang, bukan dari ucapan Tanto sendiri.“Walaupun anakmu laki-laki tetap harus memperhatikan nasabnya. Bagaimanapun juga dia akan bernasab pada ayahnya dan mantan suamimu tidak bisa menolaknya,” ucap Khansa karena melihat Asma yang hanya diam.Asma menghela nafas. “Terima kasih, Mbak. Secepatnya aku akan menemui orang tuaku terlebih dahulu. Aku ingin meminta maaf kepada mereka. Tadi Endang juga menyampaikan kalau Mas Tanto segera mengurus perceraian kami.”“Bagus itu. Perceraian kalian harus segera diurus agar statusmu jelas. Jadi, kalau ada laki-laki yang ingin menjadi
[“Bapak sakit apa, Mas?”] tanya Asma dengan nada khawatir.Asma menghentikan kegiatannya membungkus kue. Perasaan bersalah semakin bercokol di dalam hatinya. Dia sudah mengecewakan sang ayah dan sekarang menyebabkannya sakit pula.[“Sebenarnya sakit bapak tidak parah, penyakit orang tua. Tetapi, bapak sering melamun. Setiap ditanya, jawabnya kangen kamu. Kalau menurut Mas, sudah saatnya kamu menemui bapak dan ibu, Asma. Mereka sudah sangat merindukanmu dan juga mengkhawatirkanmu. Mereka pasti bahagia jika tahu kalau cucunya sudah lahir,”] ucap Uki panjang lebar lewat sambungan telepon.Terdengar helaan nafas dari Asma. Dia terdiam mendengar ucapan Uki.[“Apa kamu tidak ingin mengurus perceraianmu? Selesaikan semuanya agar laki-laki yang akan mendekatimu bisa melangkah lebih mantap,”] lanjut Uki karena melihat Asma yang terdiam.Asma menatap ke arah Uki melalui layar ponsel milik Laila.[“Mas, sebenarnya tadi siang aku bertemu dengan istri Mas Tanto yang sekarang. Kami tidak sengaja be
“Bayi itu anak siapa, Ki?” tanya Ibu Suminah pada Uki yang sudah berdiri di depannya.“Yang tadi digendong Laila?” tanya Uki yang diangguki ibunya. “Dia anak dari wanita yang satu kos dengan Laila. Namanya Randi. Memangnya kenapa, Bu?”Uki berusaha terlihat biasa saja saat menjawab pertanyaan sang ibu. Dia tidak mau membuat sang ibu curiga dan berujung kekecewaan karena sudah menyembunyikan Asma dan anaknya.“Kamu sedang tidak membohongi maupun menyembunyikan sesuatu dari ibu kan?” ibu Suminah mencoba menelisik sang putra. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh Uki.Uki menetralisir kegugupannya dengan tersenyum pada sang ibu. Dia pun mendekatinya dan merangkul sang ibu.“Apa yang Uki sembunyikan dari ibu?”“Barangkali kamu menyembunyikan jika bayi itu adalah anakmu. Kamu sudah menghamili seorang perempuan tanpa sepengetahuan kami dan menyembunyikannya,” jawab sang ibu dan membuat Uki tergelak.“Astagfirullah, Bu. Uki bukan laki-laki seperti itu. Pemikiran ibu aneh-aneh saja,” ucap Uk
“Bapak, Ibu, sebenarnya...”Uki belum menyelesaikan ucapannya, terdengar suara salam dari arah pintu depan.“Siapa malam-malam begini bertamu, Bu?” tanya Pak Saryo seraya menatap sang istri.Mereka tidak pernah kedatangan tamu pada waktu malam hari. Jika keluarga terdekat pasti sudah ada pemberitahuan sebelumnya dengan kedatangan mereka.“Tidak tahu, Pak. Ki, tidak ada saudara yang menghubungimu kan?” Ibu Suminah bertanya pada Uki.Uki melihat ponselnya dan tidak ada pesan masuk dari saudaranya. “Tidak ada, Bu.”“Biar Uki saja yang membukakan pintu, Bu,” ucap Uki seraya beranjak dari tempat duduknya.Ibu Suminah pun duduk kembali di samping suaminya.Jam masih menunjukkan jam setengah sembilan malam, tetapi di desa sudah terlihat sepi, jarang yang berkeliaran di luar rumah.Uki membuka pintu rumahnya. Di balik pintu berdiri sepasang suami istri yang sudah dikenal oleh Uki.“Silakan masuk Pak Jatmiko, Bu Lastri.” Uki mempersilakan tamu yang datang tanpa di duga. Mereka adalah orang tua