Tatapan mereka bertemu.
Deggg... Deeegg... Deeeeeggg...
Detak jantung keduanya sama kencangnya berdetak saat ini. Mereka saling memandang dalam waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya Bella mendehem, memutus tatapan saling terpesona itu.
"Aku memang tidak pernah makan banyak. Kau benar, aku harus menjaga berat badanku" Bella mengambil botol wine yang ada di atas meja, dan menuangkannya sedikit ke dalam gelas.
"Aku lebih suka minum." Lanjutnya sambil mengangkat gelas seperti simbol bersulang, lalu meminumnya dalam sekali tegukan.
"Kenapa memangnya dengan berat badanmu?" Tanya Roy yang akhirnya juga menyudahi makannya.
"Mmm... Aku rasa tidak baik untuk mengatakannya di saat kita sedang berdua." Jelas, Bella ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya.
"Tidak apa-apa. Katakan saja." Desak Roy penasaran.
"Kalau kau memaksa, maka aku bisa apa?" Jawab Bella pasrah.
"Lalu jelaskan padaku." Tutur Roy lagi.
"Seb
Besok adalah hari pernikahan Nathan dan Celline. Semua orang sedang sibuk dengan persiapan. Tidak terkecuali Rachel. Karena dia yang bertanggung jawab atas furniture yang akan menghias kamar pengantin mereka. Di tengah rasa sakit dan kecewa yang masih dia rasakan, Rachel berusaha agar tetap profesional. Ia tidak ingin mencampur adukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Proses pemindahan furniture itu berjalan dengan aman dan lancar. Kini Rachel sedang berada di sebuah kamar. Kamar pengantin lebih tepatnya. Di kamar inilah semua furniture itu akan di tempatkan. Roy dengan senang hati membantu Rachel sejak tiba di rumah besar ini. "Roy, sepertinya meja rias ini tidak cocok di tempatkan di sebelah sini. Sebaiknya di sebelah lemari itu saja, agar kemewahannya lebih terlihat." Saran Rachel. "Baik, Nona. Kalau begitu saya akan memanggil para kuli angkat yang tadi, mereka sedang membantu membereskan kamar sebelah." Jawab Roy. "Oh ya, dimana box bayi tad
Seketika pintu yang tadinya tertutup rapat, terbuka tapi tidak terlalu lebar. Sekilas ia bisa melihat Roy melintas lagi di depan pintu itu. Nathan menanggalkan alat kecil bewarna hitam yang dari tadi menempel pada telinganya. Tentu saja ia melepaskannya agar pembicaraannya dengan Rachel nanti tidak terdengar oleh Roy. "Terima kasih. Dan, maafkan aku." Ucap Nathan pelan, nyaris tak terdengar. "Untuk apa?" Tanya Rachel tanpa melihat ke arahnya. "Terima kasih untuk pelukan tadi. Itu memberikanku energi positif yang akan membantuku untuk kuat melewati semua ini. Dan maaf, untuk dia yang seharusnya tidak hadir di antara kita." Nathan menjelaskan dengan raut wajah penyesalan. "Aku menunggumu untuk menjelaskan segalanya. Aku kira kau akan menemuiku dan meminta maaf padaku. Meski akhirnya kita tidak bisa bersama, mungkin aku tidak akan membencimu sebanyak ini." Rachel mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh tertumpah. Dia tidak ingin terlihat lem
Rachel sudah bersiap akan pergi bekerja, saat tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponselnya. Sambil berjalan ke arah garasi tempat sepeda motornya terparkir, Rachel membaca pesan singkat itu. Mungkin lebih tepatnya sebuah pesan ancaman. "Jika kau tidak ingin nama perusahaan tempatmu bekerja menjadi rusak dan hancur, hari ini kau harus menghadiri resepsi pernikahanku dan Celline. Aku menunggumu." Begitu lah isi pesan yang masuk. Tertulis di sana nama pengirim pesan adalah Nathan. Rachel merasa tubuhnya lemah seketika. Kakinya goyah. Hampir saja ia terjatuh, Jihan dengan cepat memegang tangannya. Menuntunnya kembali ke ruang keluarga dan duduk di kursi. "Ada apa kak? Apa hari ini kakak kurang enak badan?" Terlihat Jihan sangat mengkhawatirkan keadaan Rachel. "Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing tadi. Mungkin karena semalam aku kurang tidur." Jawab Rachel berbohong pada Jihan. "Apa tidak sebaiknya kakak hari ini minta lib
Semua mata tertuju padanya. Gadis tinggi dengan body yang sempurna. Memakai gaun merah, terang, dan ketat panjang kaki. Dengan belahan mencapai paha. Kerah berbentuk V dan menampilan belahan dada yang membuat mata lelaki pasti tak mau melepaskan pandangannya. Rambut ikal di gerai kesamping sepanjang dada. Tak lupa anting panjang se bahu berbentuk kepakan sayap burung merak. Di tangannya ia menenteng sebuah tas kecil berwarna gold dengan gliter mewah. Tak menyangka menjadi pusat perhatian, Rachel menjadi salah tingkah. Ia mendehem untuk menghilangkan ke gugupannya. Lalu berjalan menuju salah satu meja yang ternyata disana juga berdiri seorang pria tua yang biasa ia jumpai di restoran di kota S. Nathan menatap tajam pada Rachel. Ia benci karena kecantikan Rachel menjadi tontonan semua orang hari ini. Dia tidak rela berbagi sedikitpun dengan orang lain. Hanya dia yang boleh melihat aura cantik yang ada dalam diri Rachel ini. Dia marah pada Rachel. Nathan b
Di tempat pernikahan itu, Celline tersenyum puas. Ia sangat yakin bahwa orang bayarannya telah berhasil memperkosa Rachel yang sudah di berinya obat perangsang. Tentang ke tidak hadiran Nathan di penutup acara, Celline hanya menganggap Nathan memang sengaja pergi lebih awal mengingat ia yang melakukan pernikahan ini dengan terpaksa. Tidak terfikirkan olehnya bahwa saat ini Nathan telah menggantikan posisi orang bayarannya untuk tidur bersama Rachel. "Sayang, selamat atas pernikahanmu. Mami doakan semoga kalian selalu bahagia." Sapa Jeny saat menghampiri Celline. Celline memasang senyum palsu pada mertuanya itu. "Tentu saja. Terima kasih Mam." Mereka berpelukan dan melakukan cipika cipiki ( cium pipi kanan cium pipi kiri ). "Akhirnya Mami punya menantu yang cantik dan sempurna sepertimu. Pasti Nathan akan sangat bahagia, iya kan Pi?" Lanjut Jeny lagi dan membawa Frans ke dalam pembicaraannya. Frans yang awalnya diam, hanya berkata "Ya, semoga kalian ba
"Sayang, sepertinya kau sangat agresif malam ini. Beruntung tadi aku menemukanmu tepat waktu." Nathan membelai lembut pipi Rachel. Rachel di bawah pengaruh alkohol dari anggur yang di minumnya saat di pesta dan ternyata sudah di campur obat perangsang dosis tinggi, tidak lagi mengingat semua permasalahannya dengan Nathan. Bahkan mungkin dia tidak sadar apa yang dilakukannya saat ini. Rachel mempimpin permainan. Dia mencium leher Nathan dengan sangat bergairah. Kecupan dan jilatan bergantian, semakin turun hingga ke dada Nathan yang sangat kekar dan penuh dengan bulu. Lama Rachel memainkan bibir dan lidahnya disana. Nathan memejamkan mata menikmati sentuhan Rachel. "Oh shit, kau sangat mahir." Nathan terus mendesah hingga ciuman Rachel sampai pada perutnya. "Ooohh... sayang. Cepat lakukan itu. Aku menginginkannya." Pinta Nathan. Rachel perlahan membuka gesper, kancing dan resleting celana yang di kenakan Nathan. Dia meluncurkan celana itu ke ba
Pagi harinya, saat Rachel terbangun dan sadar dari sisa mabuknya semalam. Betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benangpun. Dan, dimana dia saat ini? Siapa yang telah menidurinya? Apa yang terjadi pada dirinya? Bermacam pertanyaan muncul di benak Rachel. Karena saat terbangun, ia hanya seorang diri di kamar ini. Rachel mengamati ruangan itu sampai ia melihat pakaiannya yang berserak di lantai kamar. Saat ia meraihnya, dia sangat kaget melihat betapa buruknya robekan pada pakaian itu. Lalu bagaimana dia sekarang? Bagaimana dia akan keluar dari sini jika pakaiannya sudah tidak bisa di pakai lagi? Rachel kembali frustasi memikirkan semua itu. Tanpa pikir panjang, Rachel membalut tubuhnya dengan selimut putih itu menuju kamar mandi. Lalu Rachel mandi dan membersihkan dirinya. Dia menangis sesenggukan di bawah guyuran air sower. Dia merasa sangat kotor saat ini, karena tidak tau siapa yang telah menyetubuhinya tadi malam. Bahkan dia tidak m
Setelah dua jam perjalanan, Rachel merasakan lambungnya sudah tidak bisa berkompromi lagi. Bagaimana tidak, dia melewatkan sarapannya pagi ini. Dan saat ini sudah menunjukkan jam setengah satu siang. Tentu saja perutnya sudah merasa tidak nyaman. "Roy, tolong cari tempat makan yang tidak terlalu mewah dan berhenti. Kita akan makan siang di sana." Perintah Rachel. "Baik, Nona. Di depan ada restoran cepat saja yang sederhana, tapi rasa makanannya kualitas bintang lima." Roy dengan bangga memberitahu pada Rachel. "Ternyata kau cukup mengenal daerah ini." Puji Rachel membuat Roy tersenyum malu. "Tentu saja, Nona. Ini adalah kampung halamanku." Tiba-tiba ada guratan kesedihan di wajah Roy saat mengatakannya. Rachel dapat melihatnya dari kaca yang berada di sisi depan kemudi Roy. "Kau terdengar sangat sedih. Kenapa setiap kampung halaman, menyisakan kesedihan di hati orang-orang." Rachel mampu merasakan kesedihan itu, walau mungkin cerita kesedihan