Seminggu sudah waktu berlalu. Nathan tidak pernah menemui Rachel, bahkan dia juga tidak menghubungi Rachel lewat telepon atau pesan.
Hal ini tentu membuat Rachel menjadi lebih mengerti akan posisinya saat ini. Dia menjadi sangat membenci Nathan. Namun ia tidak dapat berbuat banyak. Rachel hanya mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
Furniture set kamar pengantin yang di pesan Celline sedang dalam tahap pengerjaan. Itu sudah mencapai 90%. Karena Rachel meminta para pekerja untuk menyelesaikan itu terlebih dahulu.
Dalam ruangannya, Rachel memutar-mutar ponselnya. Awalnya ia ingin menelpon Nathan. Tapi entah mengapa, jarinya seakan tidak mampu untuk menekan nama dalam layar ponselnya itu.
Setelah berusaha beberapa menit, Rachel memberanikan diri untuk melakukan panggilan ke nomor Nathan.
Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada jawaban. Rachel mengulang sampai 3x. Saat panggilan terakhir hampir saja di putuskan, tiba-tiba terdengar suara
Rachel hanya terdiam sebelum mengatakan yang belum sempat ia katakan tadi. "Dia sengaja menghindariku. Bahkan dia menolak menerima panggilan telepon dariku. Dia menyuruh asistennya menjawab panggilan, agar bisa menghindar dariku. Kenapa dia tega melakukan ini padaku? Setidaknya jelaskan padaku. Berikan aku kesempatan untuk memaki-makinya agar hatiku puas." Rachel kembali meneteskan air matanya. "Sudah lah, Ra, lupakan dia. Mungkin dia bukan jodoh yang terbaik untukmu. Pengecut sepertinya tak layak untuk kau tangisi. Simpan air matamu yang berharga itu. Jangan lemah karena pria brengsek seperti dia. Dia bahkan tak becus menjadi ayah untuk Key, sekarang malah menambah anak lagi bersama wanita lain." Ucap Bella. "Kau benar. Aku tidak boleh lemah dan aku harus kuat. Hidupku masih panjang. Tanpa dia aku pasti bisa bahagia. Aku menyesal telah bertemu dengannya lagi. Aku menyesal telah memberikannya kesempatan kedua." Akhirnya Rachel berhasil menormalkan suasana hat
Pagi ini, Rachel sedang menunggu kedatangan Nathan atau mungkin yang akan datang adalah utusannya, Roy. Dia bersantai sambil meneguk teh hangat yang telah di siapkan oleh cleaning service . Sambil menunggu ia membuka ponselnya. Menggulir laman akun media sosialnya. Tanpa sengaja ia jarinya berhenti di sebuah berita yang melintas. Jantungnya seakan-akan hampir berhenti berdetak. "PENERUS PERUSAHAAN PT.KEMILAU BERLIAN ,NATHAN DARKE, AKAN MENIKAH DENGAN SATU-SATUNYA PENERUS KELUARGA ADAMSHON ,CELLINE ADAMSHON AKHIR PEKAN INI." Begitu lah judul besar yang Rachel baca di layar ponselnya itu. Dia tidak ingin kembali mengingat kesedihan kemarin. Dia lalu menggeser-geserkan lagi jarinya di layar. Dia melihat banyak sekali teman-temannya yang sudah update status di pagi ini. Termasuk Bella. "Selamat pagi pria idaman. Akankah kau menemuiku hari ini?" Tulis Bella pada beranda sosial medianya. Rachel pun langsung memberi komentarnya. "
Bella hanya diam mendengarkan. Ia mulai kagum pada sosok pria di depannya ini. "Seperti itu lah Tuan Muda saat ini. Meski Nona Rachel terluka, sesungguhnya saat ini dia lah yang lebih banyak menanggung luka. Dia ingin berkorban demi kebahagiaan Nona Rachel dan Key. Namun tetap saja hal itu akan memberikan luka dan kecewa." Lanjutnya lagi. "Entah apa sekarang yang sedang terjadi diantara mereka, biar lah nanti takdir yang akan bicara." "Saat ini Tuan Muda tidak punya pilihan lain." Sambung Roy prihatin pada kisah cinta Tuan-nya. "Jika memang dia pria yang baik, ku harap dia mampu menemui Rachel secara jantan. Dia harus menjelaskan semua kekacauan ini." Sindir Bella tak mau kalah. "Kita tunggu saja. Tuan Muda bukan orang yang suka menyakiti hati orang lain, apalagi seorang wanita yang dia cintai. Dia pasti akan kembali menjemput cintanya." Roy masih terus membela Nathan di depan Bella. "So sweet sekali kau ini. Sepertinya kau sangat ahli
Di sebuah restoran jepang. Terlihat dua orang yang sedang di mabuk cinta sedang duduk berhadap-hadapan. Keduanya tampak sama-sama malu. Tidak biasanya Bella bersikap diam dan sedikit bicara. Dia berusaha menjaga image agar tidak terlihat sembrono di depan Roy. Setelah sekian puluh kali berganti pacar seumur hidupnya, baru kali ini Bella merasa ada debaran-debaran aneh di dadanya. Bahkan untuk bersuara pun lidahnya terasa kelu. Setelah cukup lama berdiam-diaman, Roy mencoba mencairkan suasana. "Kenapa kau hanya diam saja?" Tanya Roy pada Bella. "Hmm.. Itu karena kau juga diam." Jawab Bella asal bicara. "Jadi, jika aku diam selama dua jam. Kau juga akan diam selama itu?" Tanya Roy lagi. "Kenapa kau akan diam selama itu? Sungguh tidak masuk akal." Bella merengut kesal. "Karena itu, bersikap lah seperti dirimu biasanya saat berada di dekatku. Aku lebih menyukai itu." Roy berkata agak pelan, lalu meminum air mineral yang ada di atas mejanya.
Tatapan mereka bertemu. Deggg... Deeegg... Deeeeeggg... Detak jantung keduanya sama kencangnya berdetak saat ini. Mereka saling memandang dalam waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya Bella mendehem, memutus tatapan saling terpesona itu. "Aku memang tidak pernah makan banyak. Kau benar, aku harus menjaga berat badanku" Bella mengambil botol wine yang ada di atas meja, dan menuangkannya sedikit ke dalam gelas. "Aku lebih suka minum." Lanjutnya sambil mengangkat gelas seperti simbol bersulang, lalu meminumnya dalam sekali tegukan. "Kenapa memangnya dengan berat badanmu?" Tanya Roy yang akhirnya juga menyudahi makannya. "Mmm... Aku rasa tidak baik untuk mengatakannya di saat kita sedang berdua." Jelas, Bella ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya. "Tidak apa-apa. Katakan saja." Desak Roy penasaran. "Kalau kau memaksa, maka aku bisa apa?" Jawab Bella pasrah. "Lalu jelaskan padaku." Tutur Roy lagi. "Seb
Besok adalah hari pernikahan Nathan dan Celline. Semua orang sedang sibuk dengan persiapan. Tidak terkecuali Rachel. Karena dia yang bertanggung jawab atas furniture yang akan menghias kamar pengantin mereka. Di tengah rasa sakit dan kecewa yang masih dia rasakan, Rachel berusaha agar tetap profesional. Ia tidak ingin mencampur adukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Proses pemindahan furniture itu berjalan dengan aman dan lancar. Kini Rachel sedang berada di sebuah kamar. Kamar pengantin lebih tepatnya. Di kamar inilah semua furniture itu akan di tempatkan. Roy dengan senang hati membantu Rachel sejak tiba di rumah besar ini. "Roy, sepertinya meja rias ini tidak cocok di tempatkan di sebelah sini. Sebaiknya di sebelah lemari itu saja, agar kemewahannya lebih terlihat." Saran Rachel. "Baik, Nona. Kalau begitu saya akan memanggil para kuli angkat yang tadi, mereka sedang membantu membereskan kamar sebelah." Jawab Roy. "Oh ya, dimana box bayi tad
Seketika pintu yang tadinya tertutup rapat, terbuka tapi tidak terlalu lebar. Sekilas ia bisa melihat Roy melintas lagi di depan pintu itu. Nathan menanggalkan alat kecil bewarna hitam yang dari tadi menempel pada telinganya. Tentu saja ia melepaskannya agar pembicaraannya dengan Rachel nanti tidak terdengar oleh Roy. "Terima kasih. Dan, maafkan aku." Ucap Nathan pelan, nyaris tak terdengar. "Untuk apa?" Tanya Rachel tanpa melihat ke arahnya. "Terima kasih untuk pelukan tadi. Itu memberikanku energi positif yang akan membantuku untuk kuat melewati semua ini. Dan maaf, untuk dia yang seharusnya tidak hadir di antara kita." Nathan menjelaskan dengan raut wajah penyesalan. "Aku menunggumu untuk menjelaskan segalanya. Aku kira kau akan menemuiku dan meminta maaf padaku. Meski akhirnya kita tidak bisa bersama, mungkin aku tidak akan membencimu sebanyak ini." Rachel mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh tertumpah. Dia tidak ingin terlihat lem
Rachel sudah bersiap akan pergi bekerja, saat tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponselnya. Sambil berjalan ke arah garasi tempat sepeda motornya terparkir, Rachel membaca pesan singkat itu. Mungkin lebih tepatnya sebuah pesan ancaman. "Jika kau tidak ingin nama perusahaan tempatmu bekerja menjadi rusak dan hancur, hari ini kau harus menghadiri resepsi pernikahanku dan Celline. Aku menunggumu." Begitu lah isi pesan yang masuk. Tertulis di sana nama pengirim pesan adalah Nathan. Rachel merasa tubuhnya lemah seketika. Kakinya goyah. Hampir saja ia terjatuh, Jihan dengan cepat memegang tangannya. Menuntunnya kembali ke ruang keluarga dan duduk di kursi. "Ada apa kak? Apa hari ini kakak kurang enak badan?" Terlihat Jihan sangat mengkhawatirkan keadaan Rachel. "Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing tadi. Mungkin karena semalam aku kurang tidur." Jawab Rachel berbohong pada Jihan. "Apa tidak sebaiknya kakak hari ini minta lib
Nathan telah selesai menghidangkan sarapan, yang mungkin lebih tepatnya ini makan siang. Karena, jarum jam sudah di angka sebelas. Rachel turun ke ruang makan, setelah selesai membersihkan diri dan berdandan dengan cantik dan rapi. Aroma tubuhnya membuat Nathan yang sedang asik membuatkan jus stroberi melirik dan tersenyum. Rachel mendatangi Nathan, dan memeluk tubuh kokoh itu dari belakang. "Terima Kasih, Sayang. Kau selalu menuruti apa kataku. Haruskah aku merasa bersalah karena sudah memintamu sibuk di dapur seperti ini?" Ucap Rachel sungguh-sungguh. "Tidak masalah, Sayang. Selagi aku mampu, akan kulakukan semuanya untukmu. Bahkan, jika aku sanggup akan kupindahkan Gunung Fuji ke depan mansion ini." Sahut Nathan dan membalikkan badan. "Konyol. Bagaimana itu bisa? Jangan membodohiku." Ucap Rachel menjewer telinga Nathan. "Aaaa... Sayang, kau ini laki-laki atau perempuan? Kenapa kau selalu menyiksa suamimu yang polos ini?" Nathan berdrama ria.
Setelah melewati malam pengantin yang penuh gairah, pagi ini Nathan masih memandang wajah Rachel yang masih tidur dengan nyenyak. Rachel memimpin permainan dengan sangat agresif dan liar. Nathan tidak pernah melihat Rachel menjadi wanita yang seperti itu selama hidupnya. Tentu saja saat ini dia lelah dan butuh waktu tidur tambahan. Mengingat, mereka melakukannya berulang-ulang kali semalam suntuk. "Kau sangat cantik, bahkan saat sedang tidur tanpa busana sekali pun, Sayang." Nathan bermonolg. Nathan sudah bangun lebih dari dua jam, namun ia tak berniat turun dari ranjang. Karena Rachel tidur dengan tangan mengalung pada tubuhnya. Nathan takut gerakannya akan membangunkan Rachel. Sebesar itu lah cinta yang Nathan punya untuk Rachel. Nathan kembali mengingat dan membayangkan tahun demi tahun yang telah wanita dalam pelukannya ini lalui tanpa dirinya. Sendiri membawa anak dalam kandungan, sendiri berjuang di ruang bersalin, sendiri bekerja keras banting tu
Mereka saling menatap dalam waktu lama. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya, Nathan dengan lembut mencumbu bibir Rachel. Cumbuan itu langsung dibalas oleh Rachel. Mereka saling melepaskan gairah melalui ciuman. Pemanasan yang cukup bagus. Mengingat, sudah lama mereka tidak melakukannya. Tangan Nathan mulai menjelajah bagian atas tubuh Rachel. Gaun yang seksi itu, memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Tangan Nathan bermain disana, tanpa melepaskan lumatan bibirnya. Nathan mengelusnya dengan pelan, sehingga membuat deru napas Rachel tak beraturan. Dadanya naik turun, mengikuti permainan lidah Nathan dan tangannya yang semakin liar menyapu dada montok itu. "Hmmpp.." desahnya di sela-sela ciuman yang menggairahkan itu. "Mendesah lah dengan keras malam ini, sayang. Tidak akan ada yang mendengarnya selain aku." Ucap Nathan seraya berbaring di sebelah Rachel. Lalu ia memiringkan tubuh Rachel, agar bisa lebih leluasa
"Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Tuan? Bukan kah sekarang, aku adalah Mertuamu?" Willy protes. "I-itu.. boleh kah aku memanggilmu Ayah Mertua?" Nathan bertanya dengan ragu. "Tentu saja. Aku Ayah mertuamu mulai saat ini." Willy menepuk bahu Nathan lambat. Frans dan Jeny sangat bersyukur, akhirnya Nathan mendapatkan kebahagiaan yang benar-benar dia harapkan sejak dulu. Jeny menyesal pernah menentangnya. Ternyata menantu yang sangat ia harapkan tak lebih dari wanita berhati iblis. "Nathan, Rachel, Mami dan Papi akan pulang sekarang. Lain kali kami akan berkunjung kembali, atau kalian bisa datang kapan pun ke rumah tua." Ucap Jeny ingin segera memberikan waktu untuk pengantin baru ini. "Mami benar, kami harus segera pergi. Karena kalian harus berusaha keras memberikan kami cucu kedua mulai sekarang." Frans pum tertawa dan beranjak dari kursinya. "Key, ayo ikut Nenek. Biarkan Momy dan Papi berdua saja beberapa hari ini." Ucap Je
Setelah pesta usai, kini hanya tinggal keluarga besar Nathan dan Rachel yang berada di mansion itu. Mereka duduk di satu meja bundar yang besar. Key terlihat sangat akrab duduk di pangkuan Willy. "Jadi, ketika kau baru saja lahir dlu, aku sengaja menitipkanmu pada kaki tangan kepercayaanku. Nana, Ibumu itu awalnya sangat menentang keputusanku. Tapi, setelah ia tau alasannya terpaksa dia menerima keadaan. Harus hidup layaknya sebagai suami isteri dengan Danu, yang notabane-nya adalah pengawal kami dulu." Willy membuka suara saat keadaan telah lama hening. "Apa alasanmu melakukan semua itu? Jadi, Ibu dan Ayahku..maksudku Danu itu tidak memiliki hubungan apa pun selama hidupnya?" Rachel tentu saja memiliki banyak pertanyaan untuk menanti penjelasan dari Nathan. "Ibumu rela melakukan semua itu, demi dirimu. Agar kau tidak kehilangan sosok ayah dalam hidupmu. Aku tidak berdaya saat itu. Aku dulu terlibat dalam satu gank mafia, jika lawan mengetahui keberadaan iste
"Apa maksudmu, Pak Tua? Siapa yang kau sebut sebagai putrimu? Katakan dengan jelas, dan jangan berbelit-belit." Tuntut Rachel tak sabar. "Kau... Putriku satu-satunya." Jawab Pak Tua itu. "Berikan aku bukti, agar aku bisa percaya." Pinta Rachel lagi. Rachel tidak terlalu terkejut, karena ia mengingat pesan dari mendiang neneknya. Sebelum meninggal, neneknya sempat berkata bahwa ayah kandung Rachel sebenarnya masih hidup. Apa pun alasannya meninggalkan Rachel, jangan pernah membencinya. Karena ia melakukan semua itu demi keselamatan hidup Rachel. Sebab itu Rachel bisa bersikap tetap tenang saat ini. "Siapa nama belakangmu?" Tanya Pak Tua itu. "Willona." Jawab Rachel. "Apa kau tau siapa namaku?" Tanya Pak Tua itu lagi. "Tidak, aku tidak pernah tau siapa namamu." Jawab Rachel. Pak Tua itu menyerahkan sebuah dokumen bukti kelahiran Rachel. Tertulis nama ayah kandung, Willy Horizon yang sama sekali bukan nama ayah yang membes
Setelah delapan tahu berlalu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh Rachel dan Nathan sudah ada didepan mata. Saat ini keduanta tengah bersiap di kamar rias masing-masing. Mereka memilih mengadakan pernikahan di mansion mewah itu. Dengan bujuk rayu Rachel, tentu saja Nathan merelakan mansion itu di datangi ratusan umat Para rekan bisnis hadir semua. Bahkan tak sedikit dari mereka yang jauh-jauh datang dari luar negeri. Karena ingin menyaksikan langsung pernikahan mewah yang akan di gelar oleh keluarga Darke. Mungkin, lebih tepatnya oleh Nathan. Meski sebelumnya Nathan pernah menikah dengan Celline, namun tidak banyak orang yang tau dan menghadiri pernikahan tersebut. "Sayang, apa kau sudah siap?" Tanya Nathan saat membuka pintu kamar tempat Rachel dan Key sedang di make over. "Hampir selesai, hanya tinggal memakai sepatu kacaku." Jawab Rachel sambil berdiri. Rachel terlihat sangat cantik meski hanya dibalut gaun putih sederhana
Waktu terlalu cepat berlalu. Tak terasa, besok adalah hari pernikahan Nathan dan Rachel. Saat ini Rachel hanya duduk di atas ranjang kamarnya. Ada Bella dan Key juga bersamanya. Sementara Jihan tengah sibuk membuatkan persiapan makan siang untuk menjamu orang tua Nathan yang akan datang ke mansion ini untuk pertama kalinya. "Aku sungguh tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya hari bahagia ini datang juga dalam hidupku." Ucap Rachel dengan mata berkaca-kaca. Bella menatap sahabatnya dengan sendu. Dia tau, tidak mudah bagi Rachel untuk akhirnya sampai di titik ini. Dia bahkan melewati berbagai tindakan kriminal belum lama ini, kekerasan dan ancaman tak luput dari hari-harinya bersama Key. Melihat Rachel berjuang dan bertahan sejauh itu, hati Bella seakan ikut merasakan sakit. Saat ini, hari bahagia yang telah tertunda selama delapan tahun akhirnya akan tiba. Bella adalah orang pertama yang bersorak bahagia mendengar kabar ini. Dialah saksi perjuangan cinta Rache
Hari ini Rachel sudah kembali sehat dan bugar. Setelah dua hari dia tak pernah meninggalkan kamarnya. Pagi ini Rachel sangat sibuk menyiapkan diri. Nathan yang sudah menunggu lebih dari satu jam tidak sabar lagi dan mencoba bertanya. "Sayang, sebenarnya apa yang ingin kau pakai? Dari tadi kau hanya memegang semua pakaian itu tanpa mencobanya langsung." "Aku bingung, harus memakai pakaian yang mana. Aku ingin terlihat sebagai wanita yang cantik dan elegant di depan orang tuamu. Tapi aku juga harus memakai pakaian yang sopan." Rachel menjelaskan kegundahan hati yang sejak tadi menderanya. "Sayang... Apa pun yang kau kenakan, kau selalu terlihat canti dan berkelas." Nathan memegang kedua sisi bahu Rachel. "Semua laki-laki akan berkata seperti itu, karena mereka malas menunggu wanitanya berdandan." Rengut Rachel, lalu kembali dengan aktifitas pilih memilih pakaiannya. "Honey.. percaya lah padaku. Aku rela menunggumu berjam-jam asal kau tau.