"Kita sampai." Dita berteriak sambil berjalan menggandeng tanganku tanpa memedulikan suaminya yang masih kepayahan mengangkut barang bawaan mereka yang tak biasa jumlahnya--di tempat penyimpanan barang-- di dalam gerbong kereta api yang mereka tumpangi.
Aku masih tak percaya. Kakiku telah menginjak kota baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Kota yang begitu megah, asri dan indah. Kota yang akan menjadi kota baru untukku menyimpan asa dan memikul harapan baru.Kota Bandung tak jauh berbeda dengan gemerlap kota Yogyakarta di malam hari. Di antara hiruk pikuk dan bingar kota. Setelah enam jam empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya aku berada di sini. Kulirik arloji tua pemberian Bapak di hari kelulusan SD-ku yang telah berganti tali untuk kesekian kalinya. Waktu telah menunjukan pukul 17.45 wib. Aku melirik Dita, dan dia tersenyum seakan tahu apa yang hendak kukatakan."Kita shalat di mushalla stasiun aja, Mba," katanya ramah.Aku hanya mengangguk dan semakin mengagumi wanita cantik ini. Allah mengirimkan bidadari untuk malaikat seperti Mas Arman. Aku bersyukur mengenal keduanya, nuraniku terusik akan bisikan hati yang salah. Dari kejauhan aku melihat Mas Arman berjalan tergopoh mendekati kami dengan barang yang sudah tertata rapi di jinjingan tangannya. Takada kemarahan, kekesalan atau kerisihan di mata itu, meskipun di bahunya terselip tas jinjing perempuan. Wajahnya masih saja teduh, dan senyumnya tetap merekah untuk istrinya. Lagi-lagi, aku dibuat cemburu oleh ketulusan cintanya pada Dita. Andai saja tatapan itu milikku. Tuhan, maafkan hatiku yang masih mendamba yang bukan milikku."Mas sudah menghubungi Kang Rahmad. Insya Allah, beliau akan tiba beberapa saat lagi. Kita salat dulu supaya afdhal," katanya lembut pada Dita tanpa melihatku."Iya, Mas. Ini kita juga mau salat, kok," kata Dita manja dan mencuil pinggal suaminya hingga Mas Arman melonjak kaget."Ya ampun, sayang. Malu sama mba Shima." Mas Arman bergumam di telinga Dita, tapi masih sangat jelas terdengar di telingaku.Allah ... ujian terberatku dimulai. Aku mencemburui sesuatu yang tak patut kucemburui. Aku mendamba sesuatu yang tak patut kudamba. Aku mengharapkan sesuatu yang jelas-jelas milik wanita lain. Aku tak boleh benar-benar gila. Dita dan Mas Arman adalah saudaraku sekarang. Aku harus bertahan dan berusaha mencintai mereka sebagai saudara. Akankah aku sanggup jika sedari awal alasan aku ikut ke Bandung bukan karena Dita, tapi demi bisa melihat cahaya dan teduhnya mata lelaki di depanku ini. Aku meringis menahan kegalauan hatiku yang semakin memuncak. Maafkan, Mba, Dita, keluhku dari hati yang terluka karena rasa. Bismillah ... aku bisa. Teriakku dalam batin, tapi benarkah aku bisa mengalahkan rasa cinta at the first sight ini?Bayangan Bapak masih menari indah di pelupuk mata hingga membuat netraku memanas dan hatiku tercekat. Tak dapat kuuraikan betapa ragaku remuk.Tiga tahun lalu, aku menetap di kota kembang ini. Membawa segala laraku yang tak pernah berujung. Tentang sesal yang tiada berakhir meski payung payoda kota ini sungguh menenangkan. Bapak ... aku ingin bercerita seperti ketika aku terjatuh saat mencoba mendayung sepeda butut pertama dan terakhirku darimu. Lalu,rengkuhmu setelahnya menguatkanku kembali untuk tidak menyerah meski terjatuh.Aku tak mampu menahan sesegukanku hingga memecah kesunyian dari jejak yang telah ditinggal malam. Saat sarayu mencumbu pipiku perlahan, dingin menjalar seluruh tubuhku dan bergetarlah perih yang masih bernanah di sanubari. Sedang embun masih berdermaga di sana tanpa mengusik meski menetap.Bayangan kejadian dua jam yang lalu masih menghantuiku. Selama aku di sini, tak pernah sekalipun aku mendengar Mas
Aku menatap kosong jendela kamar yang mengarah ke taman belakang rumah indah ini. Rumah asri yang dengan dua lantai dan lima kamar yang luasnya masing-masing seluas rumahku di kampung.Dari pertama tiba di sini, aku selalu berdecak kagum melihat sekitar rumah. Megah tapi tak berlebihan. Letak rumahnya bisa dikatakan berada di pusat kota Bandung. Entahlah, meski sudah tiga tahun di kota ini, aku belum begitu hafal tata letak kota ini. Bagaimanapun, aku hanya berlalu lalang di sekitar komplek perumahan asri ini dan palingan hanya ke pasar Kiaracondong untuk belanja kebutuhan dapur.Aku takpernah berjalan mengintari kota Bandung, kecuali Mba Dita mengajakku untuk menemaninya berbelanja agak jauhan. Itu pun jarang sekali terjadi. Mba Dita lebih senang pergi dengan Mas Arman atau temannya yang modis. Apalagi setelah kehadiran Diva, tentu aku tak bisa leluasa ke mana pun.Tetiba nyeri itu kembali menusuk lebih dalam dari yang
Langkah kaki itu terdengar begitu nyaring. Memekakkan telinga yang dihuni kesunyian malam yang tenang. Bulu romaku bergidik ngeri, mungkinkah ada maling di rumah ini?Aku hendak berbalik dan bersembunyi di kamarku yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kuberdiri terpaku, ketika aku bisa mengendus harum tubuh yang sangat kukenal.Mas Arman,hatiku berucap syukur. Ketakutan yang sebelumnya menghantui, seketika sirna.Mas Arman berjalan dengan berat dan kepayahan. Kakinya telah ditopang oleh sebuah balutan gips dengan satu tongkat penyangga."Ya Allah, Mas. Kenapa ini?" pekikku terkejut dan cemas.Lelaki yang sampai sekarang masih bertahta di hatiku meski telah tiga tahun berlalu dan waktu tak jua menyembuhkan harapku yang gila ini, terlihat kuyu dan redup.Dia hanya berjalan melewatiku tanpa melihat betapa parasku begitu pucat dan khawatir. Dibukanya pintu kamar dengan
"Mas, aku mencintaimu tapi aku tak bisa melepasnya!"Aku berteriak pada Arman dan kulihat duka di matanya, sama seperti di mataku yang mungkin tak bisa dia baca.Mungkin Mas Arman pikir, ini mudah bagiku, tapi dia salah. Aku juga berjuang untuk jujur padanya. Ini bukan perihal mudah. Tidak baginya, pun bagiku. Dia bahkan tidak bertanya siapa lelaki itu? Apa sebegitu tak pentingnya keberadaanku di hatinya? Aku hanya bisa menenggelamkan kepalaku di bawah bantal guling ini menahan hati yang tak baik-baik saja.Mas Arman pergi sebelum sempat kujelaskan kenapa aku menyalahkannya atas pilihanku. Awalnya aku hanya ingin dia mengerti, dan bertanya siapa lelaki itu. Aku ingin dia peduli padaku dan memintaku kembali dengan tulus seperti dulu. Aku ingin merasakan kembali cinta menggelora untukku di matanya. Kenyataannya, Mas Arman berlalu dengan membawa kemarahannya yang tersulut bagai api di netranya. Aku kehilangan cinta Mas Arman, dan semua harap
POV ARMAN Kubanting pintu kamar dengan keras hingga bunyinya menggelegar bagai petir di siang bolong. Aku benar-benar tak menyangka dan tertipu dengan keceriaannya. Lima tahun mengarungi biduk ini bersama, ternyata aku tidak pernah benar-benar mengenalinya. Meskipun pernikahanku karena pertemuan tanpa disengaja, aku kira, aku mengenalnya. Aku kira cinta bisa datang dengan sendirinya dan mengalahkankan perbedaan yang ada. Nyatanya, bullshit. Takada yang benar-benar tulus. Sakit ... sungguh perih yang menghujam durja, saat kau mempercayainya, tapi dibalas pengkhianatan. Saat kau merasa istimewa, tapi dia menganggap tiada.Malam ini begitu dingin. Mobilku melaju dengan kencang membelah cahaya malam kota Bandung yang tak pernah sepi. Melewati jalanan padat hingga tiba di penghujung simpang jalan Batununggal melewati pasar kordon kujangsari. Aku ingin melarikan diri, jauh dari tekanan perih yang kautabur hingga tanpa kusadari sebuah cahaya menyilaukan mengusik mataku dan sebuah tabrakan t
Pintu kamar kubuka sangat perlahan, hingga deritnya pun tak disadari dersik yang bertebaran mengantarkan indurasmi dari celah yang jendela balkon lantai dua menghadap kamarku.Ketika pintu terbuka, Aku tersenyum malu atas harapku yang tak patut. Kulihat lelaki bersahaja itu tertidur lelap di atas dipan kamarku yang kupakaikan seprai berwarna hijau lumut dengan lukisan bunga melati kecil bertebaran di sisi kaki tempat tidur. Menawan. Sama seperti Mas Arman yang terlelap sambil mendekap Diva kecil.Tuhan, andai saja mereka milikku, tak kan kusiakan keduanya dengan hal lain. Aku rela. Sungguh ikhlas dada ini, jika saja Mas Arman akan berlari padaku. Sayangnya, ini hanya harapku semata.Kuangkat tubuh mungil Diva, hendak kupindahkan kembali keayunan. Kulepaskan tangan Mas Arman yang mengintar erat gadis kecilnya. Namun, saat kulitnya tersentuh jemariku, aku seperti memegang bara yang membakar cakrawala. Panas. Tubuh Mas Arman sangat panas. Mungkinkah ini diakibatkan luka yang membaluri d
"Mas, Dita mau itu?" seru gadis itu manja tanpa melepaskan tangannya yang melingkar di pinggul lelaki tampan itu.Lelaki itu melirik sekilas ke arah jajanan yang kutawarkan di hadapannya. Matanya sungguh indah dan teduh, membuat setiap mata yang memandang terhipnotis untuk tak berpaling darinya.Beruntung sekali gadis itu, ungkap batinku dalam diam."Mba, saya mau kue lempernya dua," kata lelaki berwajah teduh itu sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.Kubungkus kue tersebut dengan sigap sebagai bentuk pelayanan primaku.Ketika hendak memberikan uang kembalian, lelaki tampan dan gadis cantik itu telah berlalu."Mas, kembaliannya," teriakku.Lelaki itu berbalik dan tersenyum ramah, "Untuk Mba, aja," serunya dari kejauhan.Sempurna. Bukan hanya good looking, tapi akhlaknya juga baik. Aku menganggu
Dua hari berlalu dengan cepat. Dita masih mencoba merayuku agar mau ikut dengannya ke Bandung. Sedangkan, ragaku enggan beranjak dari kota Jogja yang menyisakan kenangan masa lalu bersama Bapak dan Ratih, adikku."Maaf, Mba Dita. Saya tidak bisa." Aku melepaskan tangan Dita yang memohon sambil menggenggam jemari ringkihku."Mba, bantu aku. Kalau bayiku pengen lemper buatan Mba, gimana, dong? Masa Mba tega buat orokku ileran sejak dari kandungan?"Wajah memelasnya sangat cantik, Tuhan. Matanya bundar dengan hidung yang tak bisa dibilang pesek, tak juga terlalu mancung serta bibir sekelas Angelina Jolie yang disapu lipstik pink menambah pesona gadis di depanku ini."Mba .... " panggilnya lagi dengan mimik yang mampu meluruhkan bunga di taman karena malu dengan indahnya.Sebelum aku sempat menjawab, Dita telah berkat kembali."Akan aku penuhi semua harap, Mba."
Pintu kamar kubuka sangat perlahan, hingga deritnya pun tak disadari dersik yang bertebaran mengantarkan indurasmi dari celah yang jendela balkon lantai dua menghadap kamarku.Ketika pintu terbuka, Aku tersenyum malu atas harapku yang tak patut. Kulihat lelaki bersahaja itu tertidur lelap di atas dipan kamarku yang kupakaikan seprai berwarna hijau lumut dengan lukisan bunga melati kecil bertebaran di sisi kaki tempat tidur. Menawan. Sama seperti Mas Arman yang terlelap sambil mendekap Diva kecil.Tuhan, andai saja mereka milikku, tak kan kusiakan keduanya dengan hal lain. Aku rela. Sungguh ikhlas dada ini, jika saja Mas Arman akan berlari padaku. Sayangnya, ini hanya harapku semata.Kuangkat tubuh mungil Diva, hendak kupindahkan kembali keayunan. Kulepaskan tangan Mas Arman yang mengintar erat gadis kecilnya. Namun, saat kulitnya tersentuh jemariku, aku seperti memegang bara yang membakar cakrawala. Panas. Tubuh Mas Arman sangat panas. Mungkinkah ini diakibatkan luka yang membaluri d
POV ARMAN Kubanting pintu kamar dengan keras hingga bunyinya menggelegar bagai petir di siang bolong. Aku benar-benar tak menyangka dan tertipu dengan keceriaannya. Lima tahun mengarungi biduk ini bersama, ternyata aku tidak pernah benar-benar mengenalinya. Meskipun pernikahanku karena pertemuan tanpa disengaja, aku kira, aku mengenalnya. Aku kira cinta bisa datang dengan sendirinya dan mengalahkankan perbedaan yang ada. Nyatanya, bullshit. Takada yang benar-benar tulus. Sakit ... sungguh perih yang menghujam durja, saat kau mempercayainya, tapi dibalas pengkhianatan. Saat kau merasa istimewa, tapi dia menganggap tiada.Malam ini begitu dingin. Mobilku melaju dengan kencang membelah cahaya malam kota Bandung yang tak pernah sepi. Melewati jalanan padat hingga tiba di penghujung simpang jalan Batununggal melewati pasar kordon kujangsari. Aku ingin melarikan diri, jauh dari tekanan perih yang kautabur hingga tanpa kusadari sebuah cahaya menyilaukan mengusik mataku dan sebuah tabrakan t
"Mas, aku mencintaimu tapi aku tak bisa melepasnya!"Aku berteriak pada Arman dan kulihat duka di matanya, sama seperti di mataku yang mungkin tak bisa dia baca.Mungkin Mas Arman pikir, ini mudah bagiku, tapi dia salah. Aku juga berjuang untuk jujur padanya. Ini bukan perihal mudah. Tidak baginya, pun bagiku. Dia bahkan tidak bertanya siapa lelaki itu? Apa sebegitu tak pentingnya keberadaanku di hatinya? Aku hanya bisa menenggelamkan kepalaku di bawah bantal guling ini menahan hati yang tak baik-baik saja.Mas Arman pergi sebelum sempat kujelaskan kenapa aku menyalahkannya atas pilihanku. Awalnya aku hanya ingin dia mengerti, dan bertanya siapa lelaki itu. Aku ingin dia peduli padaku dan memintaku kembali dengan tulus seperti dulu. Aku ingin merasakan kembali cinta menggelora untukku di matanya. Kenyataannya, Mas Arman berlalu dengan membawa kemarahannya yang tersulut bagai api di netranya. Aku kehilangan cinta Mas Arman, dan semua harap
Langkah kaki itu terdengar begitu nyaring. Memekakkan telinga yang dihuni kesunyian malam yang tenang. Bulu romaku bergidik ngeri, mungkinkah ada maling di rumah ini?Aku hendak berbalik dan bersembunyi di kamarku yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kuberdiri terpaku, ketika aku bisa mengendus harum tubuh yang sangat kukenal.Mas Arman,hatiku berucap syukur. Ketakutan yang sebelumnya menghantui, seketika sirna.Mas Arman berjalan dengan berat dan kepayahan. Kakinya telah ditopang oleh sebuah balutan gips dengan satu tongkat penyangga."Ya Allah, Mas. Kenapa ini?" pekikku terkejut dan cemas.Lelaki yang sampai sekarang masih bertahta di hatiku meski telah tiga tahun berlalu dan waktu tak jua menyembuhkan harapku yang gila ini, terlihat kuyu dan redup.Dia hanya berjalan melewatiku tanpa melihat betapa parasku begitu pucat dan khawatir. Dibukanya pintu kamar dengan
Aku menatap kosong jendela kamar yang mengarah ke taman belakang rumah indah ini. Rumah asri yang dengan dua lantai dan lima kamar yang luasnya masing-masing seluas rumahku di kampung.Dari pertama tiba di sini, aku selalu berdecak kagum melihat sekitar rumah. Megah tapi tak berlebihan. Letak rumahnya bisa dikatakan berada di pusat kota Bandung. Entahlah, meski sudah tiga tahun di kota ini, aku belum begitu hafal tata letak kota ini. Bagaimanapun, aku hanya berlalu lalang di sekitar komplek perumahan asri ini dan palingan hanya ke pasar Kiaracondong untuk belanja kebutuhan dapur.Aku takpernah berjalan mengintari kota Bandung, kecuali Mba Dita mengajakku untuk menemaninya berbelanja agak jauhan. Itu pun jarang sekali terjadi. Mba Dita lebih senang pergi dengan Mas Arman atau temannya yang modis. Apalagi setelah kehadiran Diva, tentu aku tak bisa leluasa ke mana pun.Tetiba nyeri itu kembali menusuk lebih dalam dari yang
Bayangan Bapak masih menari indah di pelupuk mata hingga membuat netraku memanas dan hatiku tercekat. Tak dapat kuuraikan betapa ragaku remuk.Tiga tahun lalu, aku menetap di kota kembang ini. Membawa segala laraku yang tak pernah berujung. Tentang sesal yang tiada berakhir meski payung payoda kota ini sungguh menenangkan. Bapak ... aku ingin bercerita seperti ketika aku terjatuh saat mencoba mendayung sepeda butut pertama dan terakhirku darimu. Lalu,rengkuhmu setelahnya menguatkanku kembali untuk tidak menyerah meski terjatuh.Aku tak mampu menahan sesegukanku hingga memecah kesunyian dari jejak yang telah ditinggal malam. Saat sarayu mencumbu pipiku perlahan, dingin menjalar seluruh tubuhku dan bergetarlah perih yang masih bernanah di sanubari. Sedang embun masih berdermaga di sana tanpa mengusik meski menetap.Bayangan kejadian dua jam yang lalu masih menghantuiku. Selama aku di sini, tak pernah sekalipun aku mendengar Mas
"Kita sampai." Dita berteriak sambil berjalan menggandeng tanganku tanpa memedulikan suaminya yang masih kepayahan mengangkut barang bawaan mereka yang tak biasa jumlahnya--di tempat penyimpanan barang-- di dalam gerbong kereta api yang mereka tumpangi.Aku masih tak percaya. Kakiku telah menginjak kota baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Kota yang begitu megah, asri dan indah. Kota yang akan menjadi kota baru untukku menyimpan asa dan memikul harapan baru.Kota Bandung tak jauh berbeda dengan gemerlap kota Yogyakarta di malam hari. Di antara hiruk pikuk dan bingar kota. Setelah enam jam empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya aku berada di sini. Kulirik arloji tua pemberian Bapak di hari kelulusan SD-ku yang telah berganti tali untuk kesekian kalinya. Waktu telah menunjukan pukul 17.45 wib. Aku melirik Dita, dan dia tersenyum seakan tahu apa yang hendak kukatakan."Kitashalatdi mushall
Namaku Ashima Arina Putri. Nama yang diberikan Bapak sebagai doa agar anaknya menjadi putri yang berkharisma dan cerdas.Sejak umur lima tahun, aku sudah kehilangan ibu tapi bukan figur ibu, sebab Bapak memerankannya lebih baik dari ibu mana pun yang kukenal. Bapak yang tak pernah sedikit pun memperlihatkan kesulitannya pada kami. Yang kerap terbangun tengah malam karena Ratih yang mengompol dan aku yang merintih merindukan Ibu. Bapak adalah sosok ironman sesungguhnya di kehidupan nyata bagiku dan Ratih, yang berjuang demi kedua putrinya setelah ketiadaan belahan jiwa yang dipersunting.Ibu telah meninggalkan kami setelah melahirkan Ratih--gadis egois yang merenggut Bapak dari sisiku--adikku satu-satunya. Hidupku tak bergelimang harta, tapi tak berkekurangan juga. Bapak adalah lelaki bertanggungjawab yang sangat ulet dalam menafkahi kedua putrinya.Setiap kali Bapak melihat aku atau Ratih menginginkan sesuatu, Bapak akan ber
Aku masih bersembunyi di sini. Melihat mereka dari kejauhan dengan perasaan yang tak bisa kumengerti. Haruskah aku muncul di depan mereka? Namun, nuraniku belum bisa mengendalikan pikiranku. Keduanya seakan bersikukuh dengan pendirian masing-masing dan membuatku kesulitan bernapas.Sudah tiga puluh menit berlalu sejak kakiku menapak di stasiun Tugu, dan langkahku masih terasa berat untuk menyongsong pengantin muda itu. Waktu berdetak dengan ramah, tapi tak juga menenangkan gemuruh yang timbul dari dadaku.Kulihat wajah Dita meringis sedih. Dia sandarkan kepalanya di bahu Mas Arman, mencoba mencari kekuatan di sana. Sedangkan, Mata Mas Arman semakin cepat memerhatikan sekitarnya, berharap keajaiban terjadi dan menemukanku di sudut yang mungkin dia lewatkan sebelum jadwal keberangkatan ke Bandung tiba.Tuhan, aku ingin sekali berlari mendekati