“Me-menikah?” Ayda mengulang kalimat yang membuat syok pikiranya. Lelaki yang sama kembali datang, dengan perkataan yang mengubah keadaan. “Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda, Pak,” imbuhnya sambil bangun dari posisinya.
“Saya tidak bercanda. Pikirkanlah keadaan ayah kamu dan jangan membuang waktu hanya untuk menangisi lelaki tidak berguna seperti dia,” ujarnya sambil menunjuk ke arah belakang Ayda.
Sosok lelaki yang sudah sangat mengecewakan terlihat jelas, Ayda meremas tangannya dan kembali membalikkan badan ke arah lelaki yang sudah memberikan tawaran dadakan padanya. “Baiklah, saya terima.” Dengan gemetar Ayda meraih uluran tangan yang diberikan.
Lelaki yang berdiri tegak dengan tawaran dadakan itu adalah Arya pemilik perusahaan ternama. “Pilihan yang bagus, ikutlah dengan saya,” titahnya dan menatap tajam ke arah Zayn yang berdiri tidak jauh di hadapannya.
Dengan penuh keyakinan, Ayda melangkahkan kakinya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menoleh ke arah belakang. Hubungannya bersama Zayn sudah benar-benar berakhir.
Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan. Tangan yang ia genggam pun terus membawanya pergi menjauh dari taman. Setelah beberapa menit berjalan, Ayda pun menghentikan langkahnya di sebuah kafe pinggir jalan.
“Tunggu di sini, saya akan segera kembali,” ucap Arya yang langsung memasuki kafe dan membiarkan Ayda berdiri di luar.
“Dasar lelaki mesum. Dia itu sebenarnya bos atau pengintai sih, kenapa dia bisa tau kalau gue lagi ketemu sama Zayn. Terus tiba-tiba dia datang dan ngajak gue buat nikah. Bodohnya lagi gue terima lagi karena saking kesalnya liat muka Zayn di sana,” gerutu Ayda sambil terus menendang batu yang ada di tepi jalan.
“Jangan memarahi batu itu,” sergah Arya yang sudah keluar dari kafe sambil membawa selembar kertas di tangannya.
Ayda yang menatap aneh ke arah Arya pun langsung diam dan tak banyak bicara. Akan tetapi, keadaan sudah sangat di luar dugaan. Bagaimana pun juga Ayda harus menanyakan perihal kesepakatan yang sudah dibuat saat berada di situasi menegangkan.
“Tanyakan saja! Saya bukan orang kejam yang akan melarang seseorang untuk bicara.” Arya berdiri tegak menghadap Ayda sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Hingga akhirnya, Ayda pun memberanikan diri untuk bertanya meskipun kakinya gemetar saat ditatap tajam oleh bosnya. “kenapa tiba-tiba Bapak mengajak saya untuk menikah? Kita bahkan baru kenal … apa bapak masih dendam karena kejadian di lift?” tanya Ayda dengan ragu.
Arya yang terlihat sangat tenang pun tersenyum dan memberikan selembar kertas yang ia bawa pada Ayda. “Bacalah ini dan pahami,” titahnya.
Tanpa ragu Ayda pun meraih kertas itu dan membacanya. Bola mata Ayda pun sontak membulat saat melihat jumlah uang kesepakatan yang ditawarkann. “Li-lima ratus juta?” ucapnya dengan terbata-bata.
“Iya. Uang itu akan saya berikan kepada kamu sebagai mawar pernikahan. Selain itu, saya juga akan membayar semua biaya pengobatan ayah kamu. Lalu apa yang akan saya dapatkan sebagai imbalan? Apa kamu setuju dengan permintaan saya di surat kesepakatan itu?” tanya Arya untuk memastikan.
Ayda menganggukkan kepala paham dengan kesepakatan yang Arya ajukan. “Pernikahan atas dasar kesepakatan? Saya nggak nyangka kalau itu benar adanya. Bapak datang bak seorang penyelamat dan menawarkan kesepakatan untuk saya. Apa boleh saya tau apa yang sebenarnya Bapak inginkan?”
“Seorang istri,” sahut Arya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ayda bahkan merasa bingung dengan apa yang ia rasakan. Bahagia atau bersedih saat ada seorang bos yang melamar dirinya dengan cara tak terduga. “Bapak mencintai saya?” Ayda pun kembali bertanya untuk memastikan landasan apa yang membuat bosnya itu memilih dirinya.
Arya yang semula terlihat tenang pun mulai menampilkan ekspresi dinginnya. “Tidak semua pernikahan dilakukan atas dasar cinta. Apa kamu pikir kita hidup di dunia dongeng cinderella? Jangan bodoh. Saya memilih kamu untuk menjadi istri saya karena keadaan yang memaksa saya.”
“Lagi pula kamu seharusnya membaca pasal yang sudah saya jelaskan, bukan hanya melihat angka lima ratus juta yang membuat kamu melupakan segalanya,” sambung Arya dengan ketusnya.
Dalam hati Ayda pun merutuki dirinya sendiri karena mengira bos mesumnya itu menyukai dirinya. Dengan perlahan Ayda membaca pasal demi pasal yang tertulis di selembar kertas.
Pasal 1: Pihak satu (Arya Adhitama) akan memberikan apa pun yang dibutuhkan oleh pihak dua (Ayda Karisma), kecuali perasaan.
Ayda berdecak kesal.
Pasal 2: Pihak satu berhak memutus kontrak sebelum waktu kontrak berakhir.
“Tidak adil,” gumam Ayda dalam hati.
Pasal 3: Pihak dua tidak wajib melayani semua keperluan pihak satu, kecuali saat berada di kantor. Sikap pihak dua harus seperti layaknya seorang sekretaris.
“Hah, terus saya masih berstatus sebagai sekretaris Bapak di kantor?” pekik Ayda sambil menatap Arya yang langsung menganggukkan kepala. “Kalau gini bukan pernikahan namanya, tapi jalan menuju penderitaan,” gumamnya dalam hati.
Pasal 4: Pihak dua harus menyembunyikan perihal pernikahan pada semua orang, kecuali keluarga terdekat. Jika melanggar maka akan dikenakan denda uang sebanyak lima ratus juta.
Ayda meneguk salivanya dalam-dalam. “Apa saya boleh tau alasan Bapak memilih saya sebagai seorang istri secara tiba-tiba?” tanyanya yang merasa janggal.
“Sudah saya bilang ini semua karena keadaan yang memaksa saya. Lagi pula saya sudah mengenal betul kamu perempuan yang seperti apa. Jadi, tidak perlu banyak bertanya dan segera tandatangani berkasnya,” titah Arya yang tidak suka berbasa-basi saat sedang berbicara.
“Baiklah,” sahut Ayda yang langsung lanjut membaca dua pasal terlahir dalam kesepakatanya.
Pasal 5: Pihak dua harus menjaga privasi pihak satu dan harus bersandiwara di depan keluarga bahwa pernikahan ini atas dasar cinta.
Pasal 6: Pihak dua tidak boleh memiliki perasaan pada pihak satu sampai kontrak ini selesai.
“Deal,” ujar Ayda sambil mengulurkan tangannya ke arah Arya.
“Deal.” Dengan senyum penuh kemenangan, Arya langsung menyambut uluran tangan Ayda.
Di depan kafe segalanya pun berubah. Kesepakatan sudah ditandatangani kedua belah pihak tanpa ada unsur pemaksaan.
Ayda terus menatap punggung Arya yang berjalan lebih dulu di depannya. Dalam hati ia terus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya menjadi alasan Arya memilih Ayda sebagai istri kontraknya. Di antara ribuan wanita di dunia, kenapa harus dirinya? Hanya waktu yang akan menjawab. Hidup Ayda akan berubah, demi sang ayah yang sedang berjuang untuk tetap hidup.
Sesampainya di rumah sakit, Ayda pun hanya diam dan menuruti perintah yang Arya berikan untuknya. Langkahnya bahkan terus mengikuti bayangan Arya yang berhenti di meja resepsionis rumah sakit. Sebuah kartu ATM pun Arya berikan pada perempuan yang mengatur administrasi pasien. Hanya dengan sekali gesekan, satu masalah Ayda pun selesai.
“Semua biaya pengobatan ayah kamu sudah saya bayarkan. Uang lima ratus jutanya akan saya berikan setelah kita menikah besok,” ujar Arya sambil memasukkan kembali kartu ATM-nya ke dalam dompet.
“Be-besok?” Ayda membelalakkan mata tak percaya.
“Saya tidak suka membuang waktu. Operasi akan dilakukan satu jam lagi, setelah kondisi ayah kamu stabil. Besok pagi saya akan menjemput kamu untuk datang ke rumah dan bertemu dengan keluarga saya. Bersiaplah,” ungkapnya dan berlalu pergi meninggalkan Ayda sendiri.
“Ya ampun, bos mesum satu ini kenapa buru-buru banget sih. Apes banget sih gue harus jadi istrinya,” keluh Ayda sambil menghentakkan kakinya dan berjalan menuju ruang operasi ayahnya.
Tubuhnya terasa sangat lelah, tetapi Ayda tidak akan meninggalkan sang ayah. Terlebih Ayda tidak mungkin menyuruh adiknya untuk bergantian berjaga di sini. Hingga akhirnya, Ayda harus menahan rasa lelahnya dan tetap terjaga.
Satu jam sudah berlalu, tetapi lampu di depan ruang operasi masih menyala. Ayda mengembuskan napasnya dan melihat ke arah jam tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
“Permisi,” ucap dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.
Ayda yang menyadari kehadiran dokter pun langsung bangkit dari duduknya. “I-iya dok, saya anak dari pasien yang berada di dalam.”Dokter yang terlihat berumuran sama dnegan ayah Ayda pun menganggukkan kepala. “Operasi pasien berjalan dengan lancar, tapi sepertinya akan membutuhkan waktu lama untuk pasien bisa sadar. Jadi, Mbak sekarang tidak perlu khawatir. Keputusan Mbak untuk segera melakukan operasi ini sudah benar. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat ayah Mbak segera pulih.”Ayda mengulum senyumnya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih banyak dokter,” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.Perasaan yang semua diliputi rasa khawatir pun akhirnya bisa merasa tenang. Ayda terus mengucap syukur dalam hati. Dokter yang sudah menyelesaikan tugasnya pun berlalu pergi.“Sepertinya harus ada satu orang lagi yang harus kamu beri ucapan terima kasih.”Ayda mengalihkan pandangan dan menatap seseorang yang berdiri tidak jauh dari posisinya. Senyuman yang terl
“Ini kamar kamu dan Arya. Nenek sudah menyiapkan segalanya. Kamu bisa mandi dan bersiap untuk malam pertama kalian,” ucap Darma, nenek Arya yang terlihat sangat menyukai Ayda.“Ma-malam pertama?” Ayda tersenyum gugup saat mendengar dua kata yang membuat jantungnya langsung berdegup kencang.Darma pun ikut tersenyum dan memahami kegugupan yang Ayda rasakan. “Jangan khawatir, Arya adalah lelaki yang lembut. Nenek yakin dia pasti akan memperlakukan kamu dengan baik. Selama ini nenek tidak mengira kalau dia bisa mendapatkan istri yang baik seperti kamu. Selama ini dia selalu menghabiskan waktu untuk bekerja dan bekerja,” urainya yang berusaha untuk membuat Ayda merasa nyaman.Memiliki keluarga yang penuh kehangatan memang menjadi impian dari setiap orang. Ayda bersyukur karena nenek Darma bisa memahami dirinya meskipun belum mengenal lama. “Terima kasih Nek. Ayda senang bisa diterima dengan baik di keluarga ini,” sahutnya dengan senyum bahagia.Tanpa berlama-lama, Ayda pun langsung masuk
“Duhh … sakit banget sih ini badan gue,” keluh Ayda saat merasa sakit di seluruh tubuhnya. Alarm yang berbunyi membangunkan Ayda dari tidurnya. Dengan perlahan ia mengerjapkan mata dan merasa kesulitan untuk bergerak. Sampai akhirnya, setelah sepenuhnya sadar Ayda langsung membelalakkan mata ketika melihat Arya yang tidur tepat di hadapannya. “Aaaa!” teriak Ayda sambil mendorong tubuh Arya dengan sangat kencang.Brukkk!Tubuh yang masih belum mendapatkan kesadaran sepenuhnya pun langsung terjatuh ke lantai setelah mendapatkan serangan dadakan. “Aydaaa!” pekik Arya yang merasa sangat terkejut sekaligus sakit pada tubuhnya.Ayda yang merasa bersalah pun langsung bangkit dari posisi tidurnya dan membantu Arya untuk bangun. Akan tetapi, dengan kasar Arya menolaknya.“Kamu itu bisa ngga sih ngga bikin saya kesal sekali aja! Baru juga nikah sehari sama kamu, tapi badan saya udah remuk semua,” keluh Arya sambil memegang pinggangnya.Sedangkan Ayda yang merasa tidak enak pada Arya pun langsun
“Bapak jahat banget sih nyuruh saya minum jamu yang pahit kayak gini. Saya ‘kan harus kerja, Pak. Kalau pas di kantor saya muntah-muntah gimana?” gerutu Ayda yang masih bisa merasakan pahit di lidahnya.Sedangkan Arya yang sudah mendukung keinginan nenek Darma hanya diam dan tertawa saat melihat ekspresi lucu Ayda setelah meminum jamu yang terasa membingungkan. “Memangnya kamu berani nolak nenek? Semalam juga saya minum. Jadi, sekarang gantian dong. Biar adil,” sahutnya tanpa rasa bersalah.Dengan tatapan intens, Ayda menatap Arya. “Dasar suami durhaka!” gumamnya dalam hati yang tak bisa mengatai suami sekaligus bosnya secara langsung.“Kenapa ngeliatin saya kayak gitu? Kamu pasti mengumpat saya dalam hati ‘kan?” cecar Arya yang seakan mengetahui isi hati Ayda.“Ihh nggak, Pak. Curigaan banget sih. Lagi pula kalau mau mengumpat Bapak saya bisa ngelakuinnya secara langsung kali,” elak Ayda sambil mengalihkan wajahnya ke arah jendela mobil.Perjalanan menuju kantor terasa sangat menegan
"Dimana ya gue nyimpen berkas laporannya. Kalau pak Arya nanyain, gimana? Malah gue belum bikin salinannya lagi,” ucap Ayda sambil melihat setumpuk berkas di atas meja kerjanya.Waktu kerja telah selesai, tetapi Ayda masih harus berada di kantor karena tiba-tiba Arya memberikan pekerjaan tambahan untuknya. Setelah mencari berkas penting yang ingin ia berikan ke Arya, Ayda un merasa frustasi karena tak kunjung menemukannya. Ia terlihat sangat lelah dan panik karena takut kena tatapan menakutkan seperti sebelumnya.“Ayda!” panggil Arya yang sudah berdiri tepat di depan meja Ayda.“Iya, Pak,” sahut Ayda yang langsung bangkit dari duduknya dan menatap Arya.“Dimana berkas yang harus saya tanda tangani? Apa kamu sudah mengeceknya?” tanya Arya yang terlihat sangat menyeramkan saat di jam kerja.Dalam kondisi panik, Ayda pun menganggukkan kepala. “Saya sudah mengeceknya, Pak. Sebentar lagi akan saya berikan ke meja Bapak,” jawabnya yang berusaha bersikap tenang.“Tidak perlu. Saya ingin mena
“Kamu dari mana aja sih Ayda?” tanya Arya yang terlihat kesal karena harus menunggu lama di parkiran.Dengan cepat Ayda pun menutup pintu mobil dan mengenakan sabuk pengaman. “Iya maaf, Pak. Tadi saya habis telpon bibi saya dulu,” sahutnya yang menjawab apa adanya.Tanpa mengatakan apa pun lagi, Arya pun langsung melajukan mobilnya. Terlihat jelas ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Hal itu membuat Ayda merasa ragu untuk mengajak Arya datang ke rumah bibinya. Meskipun masih ada harapan Arya akan bersedia, tetapi membayangkan penolakan membuat Ayda mengurungkan niatnya.Dalam perjalanan pulang, Ayda pun hanya diam dan menatap ke arah jendela. Pikirannya bergelut dengan alasan apa yang bisa ia berikan pada sang bibi yang pasti sudah menunggunya datang. Akan tetapi, Ayda sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Arya.Hingga akhirnya, setibanya di rumah. Ayda pun bergegas turun dari mobil. Niatnya untuk menemui bi Sri pun ia urungkan saat melihat raut w
“Fahri,” ucap Ayda sambil perlahan berjalan mendekati adiknya. Dengan lembut ia mengelus pucuk kepala Fahri dan mengecupnya. “Sudah ya takutnya. Om ini bukan orang jahat ko, kakak juga mengenalnya. Jadi, kamu tidak perlu ketakutan seperti ini ya,” urainya dengan penuh kasih sayang.Arya yang sejak tadi memperhatikan Fahri pun mengernyitkan dahinya. “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya sambil menatap Ayda.“Hmm, saya akan jelaskan masalah itu nanti,” balas Ayda sambil memeluk Fahri dan berusaha menenangkannya. Menjadi seorang kakak sekaligus ibu bagi seorang adk bukanlah hal yang mudah. Saat Fahri baru berusia lima tahun, Ayda harus menerima kenyataan pahit kalau kaki kanan Fahri harus diamputasi karena kecelakaan yang dialami.Meskipun berat untuk menerima kenyataan, tetapi Ayda harus terlihat kuat di hadapan malaikat kecil dalam hidupnya. Dengan sepenuh hati Ayda menyayangi Fahri yang membutuhkan perhatian khusus darinya. Terlebih hingga saat ini, Fahri terkadang selalu merasa takut
Rasanya seperti mimpi saat mendengar kalimat indah yang terucap dari mulut Arya. Bahkan sulit rasanya menerima kenyataan bahwa semua ini hanyalah pura-pura. Seharusnya Ayda tidak membawa perasaannya dari permainan yang tak akan bertahan lama. Akan tetapi, dalamnya makna yang Arya katakan membuat Ayda merasa begitu nyata dengan rasa cinta yang ada.“Kamu sangat beruntung mendapatkan suami seperti Arya. Dia terlihat sangat mencintai kamu, Ayda. Dari caranya bicara, bibi bisa melihat ketulusan dari matanya. Bersama Arya, bibi yakin kamu akan merasa bahagia,” ucap Sri yang sedang merapikan meja makan setelah makan malam bersama selesai.Ayda yang sedang mengupas buah mangga pun terenyuh dengan perkataan Sri padanya tentang Arya. Dalam hati ia berharap kebahagiaan yang dikatakan bibinya adalah benar, tetapi nyatanya ia pun mengetahui semua itu hanya sebuah kebohongan. Tanpa mengatakan apa pun, Ayda pu hanya tersenyum saat Sri mengatakan banyak hal padanya tentang ketulusan Arya.Setelah s
*** “Aydaaaaa!” teriak seseorang sambil merentangkan tangannya. Begitu juga dengan Ayda yang ikut merentangkan tangan sambil berlari menghampiri sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. “Ayda kangen banget sama Nenek,” lirihnya dalam pelukan hangat yang sudah lama tak ia rasakan. “Nenek juga sangat merindukan kamu, Ayda. Setelah sekian lama, akhirnya nenek bisa bernapas lega saat melihat kehadiran kamu kembali di rumah ini,” sahut Darma yang sudah setia menanti. Ayda yang merasa terharu pun meneteskan bulir air mata dan langsung menghapusnya. “Maafkan Ayda ya, Nek. Selama ini Ayda pasti sudah membuat hati Nenek sangat terluka,” ungkapnya merasa menyesal. Saat teringat dengan kehadiran Darma secara berulang kali untuk membujuk dirinya yang hanya menyisakan luka. “Sudahlah. Nenek sudah mengetahui alasan dibalik sikap dingin kamu. Sekarang kita lupakan semua masa lalu dan mulai lembaran baru,” sergah Darma yang tak ingin merusak suasana. Tanpa mengingat kenangan pahit dalam hidup,
“Kejarlah. Kalian memang ditakdirkan untuk bersama.” Kalimat yang terdengar menenangkan membuat senyum mengembang sempurna di wajah Ayda. Setelah perjuangan panjang kini akhirnya, ia bisa bernapas lega. Merangkai kisah yang terhenti dengan hati yang telah pulih. “Terima kasih … Ibu,” urai Ayda dengan tatapan penuh kasih sayang. Marisa yang tak menyangka Ayda akan memanggilnya ibu pun langsung meneteskan air mata. Menantu yang selama ini sangat ia benci ternyata memiliki hati yang tulus dan kuat. “Pesawatnya akan pergi dalam waktu satu jam dari sekarang. Cepatlah kejar Arya!” titah Marisa memberitahu Ayda. Tanpa berpikir lama, Ayda pun langsung menganggukkan kepala. saat hendak melangkah pergi, tak lupa Ayda bersalaman dengan Marisa dan mengecup sekilas pipinya. “Ayda tidak akan melupakan kebaikan ibu,” ujarnya dan langsung berlari ke tepi jalan. Mencari kendaraan yang bisa membawanya pada Arya. Dengan penuh semangat, Ayda menunggu taksi yang lewat. Hingga akhirnya, setelah menunggu
“Tidak Ayah. Ayda sudah tidak memiliki hak atas hubungan ini.”Dengan tatapan penuh keyakinan, Rahman berusaha menggapai tangan Ayda yang terkepal kuat. “Kamu selalu memiliki hak atas hubungan ini, Ayda. Ego yang membuat kamu membatasi sesuatu yang tak terbatas. Selama ini kalian terpisah dengan jarak yang diciptakan oleh Marisa, tapi sekarang Tuhan telah memberikan jalan.” Rahman menjeda kalimatnya.Tatapan terus tertuju pada Ayda yang terlihat kehilangan arah. “Sampai kapan Ayda? kamu akan berbohong pada diri kamu sendiri? Apalagi yang harus kamu pikirkan. Saat ini Arya sudah menyerah. Lalu apa kamu akan melakukan hal yang sama?” sambungnya penuh dengan tanya.Sementara itu, pikiran yang kembali berkecamuk membuat Ayda merasa tertekan. Kenyataan dan perasaan berjalan tak beriringan. Ingin rasanya Ayda berlari ke tempat jauh tanpa masalah dan kembimbangan hati yang mengikutinya. Setelah berpikir keras, Ayda pun mendongakkan wajah menatap ke arah Rahman yang berdiri di hadapannya.Ber
“Sudah tidak ada yang harus dipertahankan. Hubungan ini hanya akan saling menyakiti. Saya sudah cukup banyak belajar dari kisah ini. Terima kasih Mas … atas kenangan indah yang telah kamu berikan beserta kehadiran Amara di dalamnya.”Dengan raut penuh luka, Arya mengulum senyuman. “Tidak saya sangka hubungan kita akan berakhir dengan cara ini Ayda. cinta dibalik kesepakatan harus berakhir di atas sebuah keputusan yang sangat menyakitkan. Saya sadar hubungan ini berawal dari sisi egois saya. Namun, satu hal yang saya yakini. Saya tidak akan pernah menyesal.”Tanpa mengatakan apapun, Ayda hanya mengepal kuat kedua tangannya.“Terima kasih untuk kehadiran kamu dan Amara dalam hidup saya. titip putri kecil saya. Saya berikan kebebasan sepenuhnya pada kamu untuk mengurus perceraian kita. Saya tidak akan menghalangi kebahagiaan kamu yang sudah tidak memiliki tempat untuk saya di dalamnya,” sambung Arya yang lebih terlihat pasrah.Sementara itu, Ayda yang merasakan hatinya semakin hancur han
[“Apa yang kamu bicarakan Ayda? Mana mungkin ibu kamu melakukan hal seburuk itu.”]Ayda mengernyitkan dahinya saat Rahman mengelak dari pembicaraan yang mengarah pada masa lalu. Ia bahkan tak kunjung mendapatkan jawaban pasti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Hanya ada pertanyaan yang terus terlontar sebagai bahan untuk menghindar.Rasa curiga yang sudah ada pun semakin berkembang nyata. Ayda hanya bisa meratapi nasib yang kini terasa kembali memburuk. Namun, kehadiran sang buah hati di dunia ini seakan memberikan semangat baru dalam hidup Ayda. Ia tak akan pernah menyerah. Masa lalu tak akan mempengaruhi apa yang saat ini sedang ia alami.“Baiklah. Ayda tunggu kehadiran ayah,” ucap Ayda pasrah saat Rahman masih belum siap untuk terbuka padanya.Setelah menutup panggilan telepon, Ayda pun hendak beristirahat sejenak. Menenangkan pikiran sambil menatap sendu ke arah bayi mungil yang tertidur sangat lelap. Situasi yang sulit ditebak membuat Ayda bahkan belum sempat memikirkan nama ya
“Saya bukan berasal dari keluarga kaya. Saya tidak sepadan dengan keluarga Arya yang bergelimang harta. Dengan latar belakang saya ini, Tante membenci saya dan bahkan menyuruh saya untuk meninggalkan Arya meskipun saya sedang mengandung anaknya,” ungkap Ayda yang tidak ragu untuk mengungkapkan perasaanya.Sudah cukup selama ini dirinya diam. Sekarang tidak lagi, Ayda harus berani menyuarakan isi hati dan pikiran di akhir statusnya sebagai seorang istri. “Benar ‘kan Tante? Itu alasan dibalik rasa benci yang Tante rasakan pada saya.” Ayda mengangkat wajahnya dengan penuh keberanian.Menatap Marisa yang terlihat sangat serius menanggapi perkataannya. Suasana pun mulai terasa menegangkan. Saat yang dinanti akhirnya tiba, Ayda berharap bisa melepaskan semua rasa sesak di dada yang disebabkan oleh sikap ibu mertuanya.“Sudah berani ya kamu sekarang? Baiklah. Saya akan memberitahu kamu alasan dibalik rasa benci yang selama ini saya miliki untuk kamu,” sahut Marisa dengan tatapan yang sulit d
"Tarik napas! Dorong yang kuat Ibu!" ujar dokter yang ikut menarik napas. Sudah hampir satu jam lamanya, Ayda berjuang di dalam sebuah ruangan yang terletak di rumah sakit. Dengan peluh keringat yang membasahi wajah, Ayda berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan sang buah hati. Meski tanpa didampingi orang terkasih, Ayda bertekad untuk bisa menguatkan dirinya sendiri. Telah tiba waktunya bagi Ayda untuk berjuang lebih keras lagi. Hari yang sudah ia persiapkan akhirnya tiba. "Saya yakin Ibu Ayda pasti bisa! Agar lebih semangat, saya akan panggilkan suami ibu yang sedang menunggu di luar," papar dokter Ani yang menangani proses melahirkan Ayda. Disela napas yang mulai tak beraturan, Ayda mengernyitkan dahinya. "Su-suami?" Seingatnya ia tidak datang ke rumah sakit bersama Arya. Dirinya juga melarang Bayu untuk memberitahu Arya bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit. "Iya suami Ibu. Saya akan segera memanggilnya," ujar dokter Ani yang langsung membalikkan badan. Akan tetapi, den
8 bulan kemudian … “Saya tidak akan lupa bahwa saat ini Mas Arya masih berstatus sebagai suami saya. Meski hubungan kita sudah tidak baik-baik saja, tetapi saya bukan wanita yang akan melanggar aturan dalam pernikahan,” tegas Ayda dengan sorot mata lelah. Seiring berjalannya waktu, hari demi hari terasa semakin sulit bagi Ayda. Perjuangan mengandung sambil tetap bekerja untuk mengisi hari demi hari memang tidak mudah. Namun, Ayda tak ingin menjadi wanita yang lemah. Meski sering kali mendapat berbagai masalah yang datang. Ayda berusaha untuk tetap kuat dan berdiri di atas kemampuannya sendiri. Seperti saat ini, Ayda berdiri di atas balkon perusahaan bersama Arya yang menatap intens ke arahnya. “Saya tidak suka melihat kamu terlalu dekat dengan Bayu, terlebih jika sedang berada di kantor. Bagaimana pun juga kita harus menjaga nama baik pernikahan kita di hadapan semua karyawan termasuk Bayu. Saya yakin kamu juga pasti sadar kalau Bayu bukan hanya menganggap kamu sebagai seorang tema
“Bayu.” “Sini!” ajak lelaki yang sudah lebih dulu berada di dalam lift. Tanpa ragu, Ayda pun masuk ke barisan beberapa orang yang tersenyum ke arahnya. Keberadaan Arya yang berada di barisan paling belakag tak menyurutkan semangatnya untuk bekerja. “Pagi,” sapa Ayda kepada semua penghuni lift yang lebih dulu berada di sana. “Pagi, Bu Ayda,” balas semua staff secara bersamaan. Kecuali Arya yang terlihat sibuk dengan ponsel yang berada di tangannya. Sementara itu, Bayu yang terlihat berbinar melihat kedatangan Ayda langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. “Ini untuk Mbak,” ucapnya memberikan satu botol susu rasa cokelat. Ayda yang sangat suka susu cokelat pun langsung meraihnya. “Terima kasih,” balasnya dengan senyuman. “Sama-sama. Senang bisa melihat Mbak Ayda setelah sekian lama.” Bayu ikut mengembangkan senyumnya. “Saya juga senang bisa bertemu dengan kamu lagi, Bayu,” sahut Ayda sambil berjalan keluar lift setelah pintu terbuka. Tanpa mempedulikan pandangan Ar