Saat Bu Maya menjelaskan semuanya padaku, aku mencatat dengan teliti semua informasi penting. Kami sudah mulai menemukan ritme kerja yang nyaman dan tanpa terasa. Sore itu berlalu dengan cepat. Dia memberitahuku bahwa dia perlu menelepon untuk urusan pribadi dan meninggalkan ruangan, sambil berkata seseorang dari Departemen IT akan datang untuk serahkan HP kantor yang harus selalu dalam keadaan aktif.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi, kurus, dan berpenampilan agak kutu buku masuk ke ruangan dan tampak terkejut saat melihatku."Wow! Maaf, kamu siapa?”Aku langsung berdiri menyambutnya.“Citra Lestari, asisten baru Pak Aditya.” Dia menatapku dari ujung kepala sampai kaki, seperti sedang menilai penampilanku."Nona Citra Lestari ?"Aku mengangguk dengan senyum profesional. Dia menyeringai dan berkata, “Sebenarnya ini untuk kamu.” Dia mengulurkan tangan, memberikan sebuah HP baru dan tablet. “Ini HP kantor kamu. Bos sudah punya nomormu, dan nomornya juga sudah tersimpan di kontak. E
Sepulang kerja, Minda sudah menungguku di depan pintu, dengan Panji yang sudah duduk manis di kursi mobilnya di belakang. Kami memang berencana pergi ke mal untuk beli perlengkapan Panji sebelum masuk ke tempat penitipan anak."Hai! Gimana hari pertamamu? Ceritain semua dong!” katanya ceria dengan senyum lebar.“Min, kayaknya aku harus telepon om kamu dan minta kerjaanku balik,” kataku agak sedih. Dia langsung menatapku dengan ekspresi kaget. “Tapi sebelumnya, kamu cerita dulu gimana wawancara kamu.”"Nggak mungkin, Citra! Kamu dipecat di hari pertama? Serius? Cerita dulu dong, baru nanti aku cerita tentang wawancaraku.”Aku tersenyum lalu mulai bercerita dari awal. Saat dia mematikan mesin mobil di parkiran mal, dia sudah tertawa ngakak mendengar kisahku.“Cit, cuma kamu yang bisa-bisanya ribut sama bos di hari pertama. Kamu tahu kan, dia itu masih muda banget?!”Aku menatapnya dengan sangat terkejut dan bertanya, “Apa maksudmu masih muda?”“Iya, Cit, kamu nggak cari info soal bosmu d
"Selamat pagi, Citra. Apa kabar?" Maya masuk ke kantor dengan senyum lebar, menaruh tasnya sebelum menatapku.“Selamat pagi, Bu Maya. Baik-baik saja, gimana dengan Anda?” Aku sedang berdiri, merapikan beberapa dokumen. Ketika aku berbalik, ekspresi wajahnya sama persis seperti Minda dan pegawai toko waktu itu. Aku sedang mengenakan gaun baruku, sepatu hak tinggi yang baru, dan tentu saja, pakaian dalam super menggoda pemberian Minda.“Citra Lestari, kamu kelihatan seperti baru keluar dari majalah! Ya ampun, kamu cantik banget pakai gaun itu.”“Terima kasih, Bu,” jawabku sambil tersipu malu dan mulai bertanya-tanya apakah penampilanku terlalu berlebihan. Tapi dia dengan cepat menghapus keraguanku.“Kamu tahu nggak, kamu pasti bakal bikin si bos terkesan. Dia datang hari ini, lho. Sebenarnya aku kaget juga, soalnya mereka rencananya baru balik hari Jumat. Tapi kelihatannya Aditya putuskan untuk selesaikan semua urusan dari sini. Oh ya, tolong jangan panggil aku ‘Bu’ lagi, ya.” Aku membal
Sudut Pandang Aditya.Saat aku berhenti di ambang pintu dan melihat wanita itu membungkuk di depan lemari arsip dengan punggung menghadap pintu, mataku langsung tertuju pada kakinya dan sepatu seksi yang dia kenakan.Dan sepatu itu… luar biasa menggoda! Hak tinggi seperti itu harusnya kularang masuk kantor. Lalu aku mendengar Peter bersiul. Wanita itu langsung berdiri, dan barulah terlihat jelas tubuhnya yang memikat! Rambut hitam panjangnya yang terurai sampai pinggang sebagian diikat ke belakang, berkilau indah di bawah cahaya. Tentu saja Peter langsung terpana. Lelaki itu memang tukang gombal sejati. Aku menatapnya tajam, tapi bukannya sadar, dia malah semakin lebar tersenyum saat menyadari ekspresi tak senangku.Tapi saat wanita itu berbalik… mata Peter membelalak. Dia luar biasa cantik, dengan mata coklat muda yang menyala seperti permata. Saat itu juga aku ingin menarik Peter menjauh dan melarangnya menatap wanita itu lagi. Aku tahu pasti, dia adalah asisten baruku. Dan aku tidak
Sudut Pandang Aditya.Tiba-tiba, si cerewet yang menyebalkan itu, Lastri yang menyaksikan seluruh kejadian tepat di depan mata kami, mulai berteriak hampir seperti menjerit, “Apa yang kamu lakukan, dasar perempuan murahan?! Lepaskan tanganmu dari Adit, dasar tukang cari kesempatan!”Tanpa melepaskan pelukanku dari pinggang asistenku, aku berbisik di telinganya, "Awas kalau kamu berani menjauh!" Tentu saja, dia pasti bisa merasakan gairahku, tapi tak seorang pun perlu melihatnya. Aku menatap si cerewet itu dengan tatapan tajam penuh amarah dan berkata, “Kecilkan suaramu, Lastri. Lalu minta maaf pada Nona Citra sekarang juga.”"Apa-apaan ini, Adit! Aku bilang kenyataannya. Dia terang-terangan goda kamu. Lagian dia tadi halangi pintu dan nggak biarkan aku masuk menemuimu, dia suruh aku tunggu dipanggil. Konyol sekali! Sejak kapan aku perlu dipanggil dulu? Kasih tahu dia siapa aku, biar dia sadar diri. Menurutku, mending kamu pecat dia saja, Adit.” Mata Lastri menyala penuh kebencian.“La
Aku terjatuh di kursiku di kantor, kakiku terasa lemas seperti jeli. Aku sendiri tak tahu gimana aku bisa tetap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Wanita bernama Lastri itu benar-benar menyebalkan. Tapi aku sama sekali nggak menyangka semuanya akan berjalan seperti tadi. Ya Tuhan… Saat dia merangkul pinggangku agar aku tidak jatuh dan menarikku ke dadanya, aku benar-benar nggak siap. Tentu saja aku merasakan sesuatu yang keras menekan punggungku, dan itu cukup membuatku terbangun dari lamunan. Tapi ketika dia berbisik di telingaku agar aku tidak menjauh, ada kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku basah dan merasa panas di bagian itu, sesuatu yang sudah lama sekali tidak kurasakan, sejak acara itu. Dan bosku… Dia benar-benar sangat terangsang dan menempel di punggungku. 'Ya Tuhan, aku nggak tahu apa aku bisa bertahan lama di pekerjaan ini.'“Citra, kamu dalam masalah besar!” gumamku pada diri sendiri.Aku meraih HP dan langsung mengirim pesan ke Minda. Aku harus cerita
Setelah bosku selesai menceritakan semua tentang perjalanannya, Maya dan aku kembali ke kantor untuk lanjut kerja. Hari itu pun berlalu tanpa kejadian berarti. Hari terasa cepat sekali, dan kami sedang bersiap mengambil tas untuk pulang ketika pintu ruangan bos terbuka, bertepatan dengan kemunculan Peter di ruanganku."Waktunya istirahat, nona-nona cantik!" Peter berkata dengan senyum lebarnya yang seolah permanen tertempel di wajahnya. "Aditya dan aku mau makan malam di Miramar. Jadi aku mau undang dua wanita tercantik di perusahaan ini untuk ikut bareng kami."Miramar adalah restoran dalam negeri yang sangat mahal di kota ini. Minda dan aku sudah rencana pergi ke sana malam minggu nanti setelah mendengar mereka menyajikan nasi padang terenak dan anggur buatan sendiri yang katanya luar biasa. Minda meyakinkanku bahwa aku harus mulai terbiasa dengan tempat-tempat seperti itu, karena kemungkinan besar aku akan menghadiri makan siang atau makan malam bisnis di masa depan."Aduh, sayang s
Aku menceritakan pada Maya tentang apa yang terjadi dengan ayah dari anakku, gimana pengalaman itu sungguh luar biasa dan mengubah hidupku, dan gimana setelah itu aku putuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan siapa pun. Dia menatapku sambil tersenyum, tapi tiba-tiba teringat sesuatu yang membuat senyumannya memudar, lalu berkata, "Kamu terdengar persis seperti Aditya. Dia juga menutup diri dari cinta. Dulu dia pernah bertemu seorang gadis. Saat sedang bersamanya, dia dapat kabar kedua orang tuanya meninggal. Dia sangat terpukul. Waktu mau cari gadis itu lagi, gadis itu seperti lenyap ditelan bumi. Dia terus mencarinya tapi nggak ketemu, hingga kini dia belum bisa lupakan wanita itu." "May, gimana orang tuanya meninggal?" tanyaku penasaran."Mereka meninggal dalam kecelakaan helikopter saat pulang dari sebuah pesta. Ayah Aditya dapat kabar penting soal perusahaannya, jadi harus segera pulang. Sementara Aditya tetap di pesta bersama gadis itu. Orang tuanya nggak ketemu dia, ja
Aku memandang sekeliling ruangan itu, nggak mengerti apa-apa. Selain aku dan bosku, Pak Guntur, ada juga Minda, Heru, Aditya, Peter, Robin, Maya, dan Alex.‘Apa maksudnya semua ini?’ Aku menatap Minda, dan dia mengangkat bahu, sama bingungnya denganku. Heru menarik sebuah kursi dan memberi isyarat agar aku duduk di sebelah Aditya. Dia bercanda?'Aku mulai curiga kalau ini hanyalah trik Aditya lagi supaya bisa bicara denganku. Tentu saja dia nggak sungguh-sungguh mau beli sistem itu. Tapi aku akan tetap profesional dan lakukan yang terbaik, setidaknya bosku bisa menilai kinerjaku.“Citra, tolonglah, aku tahu kamu profesional hebat dan bisa atasi ini.” Heru berkata seolah-olah membaca pikiranku. “Aku minta kamu datang karena kamu pernah kerja di Grup Mahadi dan paham dengan masalah yang sedang mereka hadapi.”“Baik, Pak. Saya akan bantu sebisa mungkin.” Aku pun duduk dan menjaga sikap profesional.Pak Guntur mulai mempresentasikan aplikasinya, dan aku menambahkan beberapa pandangan dan o
Aku benar-benar capek. Minggu ini terasa kacau dan aku nggak bisa tidur dengan nyenyak, setiap malam menangis hingga tertidur. Bicara dengan Aditya kemarin juga nggak membantu, justru buat aku semakin hancur.“Selamat pagi, Citra! Apa kabar?” Minda masuk ke dapur dan memegang wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dengan seksama.“Aku benar-benar berantakan, Min. Riasan ini cuma tutupin lingkaran hitam di bawah mata. Aku capek banget!”Saat ini kami mendengar bel rumah berbunyi, dan Minda pergi menjawabnya sementara aku menyuapi Panji sarapan. Aku teralihkan memperhatikan si kecil, dia adalah cinta terbesarku, dan hanya dengan menatapnya saja, hatiku bisa tenang. Aku tahu aku akan kuat dan terus maju karena dia. Dia menatapku dengan senyum lebar serta mata hitam kecokelatan itu, membuat hatiku meleleh oleh cinta.“Kamu anak tercinta ibu, Nak!” Aku berkata padanya dan dia bertepuk tangan sambil mengirim ciuman. Senyumku semakin lebar.“Cit, ini untukmu.” Minda datang dari pintu memba
Sudut Pandang Aditya.Aku benar-benar kaget ketika Heru kasih aku segelas bir.“Minum ini, bisa buat kamu tenang. Setelah kamu tenang, kamu bisa cerita ke aku apa yang terjadi,” kata Heru dengan nada serius sambil mengambil telepon. “Guntur, aku kasih Citra libur untuk sisa hari ini. Terima kasih ya.”Heru menutup telepon, duduk di depanku, dan minum bersamaku. Setelah tiga kali tegukan, akhirnya aku bisa berkata, “Aku kacaukan semuanya, Heru, aku ngerusak satu-satunya kesempatan yang aku punya untuk bahagia. Aku cinta Citra tapi aku malah kacaukan semuanya. Sekarang dia benci aku.”Heru menyesap birnya lagi dan berbicara dengan lembut, “Sejak kapan kamu jadi pengecut yang nyerah hanya karena satu pintu tertutup?”Aku memandangnya seolah-olah mendadak dia jadi aneh. Dia benar-benar nggak mengerti kalau Citra membenciku.“Nanti aku akan telepon Peter dan kita bertiga akan minum sampai mabuk di rumahku,” katanya sambil berdiri. “Mana kunci mobilmu?”Sambil menyerahkan kunci mobilku, Heru
“Citra, Pak Heru mau kamu segera ke kantornya,” kata bos baruku yang muncul di bilik kerja tempatku duduk. “Kamu bisa pergi sekarang. Tugas yang aku kasih sudah selesai?”Aku memandang pria bertubuh pendek dan berisi itu, dengan kacamata bulat bergagang motif kura-kura, lalu tersenyum. Dia memang sedikit nyentrik, tapi sangat baik dan sering bersenandung seharian di kantor.Aku ditempatkan di departemen pemasaran, di mana seluruh lantainya terbuka dengan bilik kerja yang diatur berkelompok berisi empat orang. Satu-satunya ruangan tertutup hanya milik atasanku. Suasananya sibuk dan penuh warna, dipenuhi dengan suara, semua orang sibuk berbicara, entah lewat telepon atau satu sama lain. Aku merasa lingkungan ini santai dan menarik, sepertinya aku akan bisa beradaptasi dengan baik. Bahkan aku sudah punya satu teman. Tapi sekarang, setelah dipanggil oleh Pak Heru, aku mulai khawatir kalau dia berubah pikiran dan nyesal mempekerjakanku.Aku mendongak dan menyerahkan beberapa folder kepada b
Sudut Pandang Aditya.Aku kembali ke kantor dengan perasaan terluka seperti binatang yang terkurung. Aku benar-benar putus asa. Aku pengen banget kejar Citra dan mohon agar dia maafin aku. Tapi aku nggak bisa begitu saja melakukannya. Dia sedang kerja di perusahaan Heru dan aku nggak bisa sembarangan masuk ke sana. Itu nggak sopan dan dia akan makin benci aku.Tapi aku juga nggak sanggup tunggu sampai jam kerja selesai. Jadi, aku putusin untuk kejar dia. Aku keluar kantor dan kasih tahu Carisa kalau aku nggak akan kembali hari itu. Aku ingin menyeret ular itu keluar dan usir dia dari gedungku, tapi aku nggak bisa lakukan itu juga. Aku harus tunggu... Itu membuatku gila.Aku pergi ke perusahaan Dunia Liantar dengan ribuan pikiran berputar dalam kepalaku. Tapi aku berniat minta bantuan Heru agar bisa bicara dengan Citra tanpa buat dia malu.“Selamat siang, Pak Aditya. Ada yang bisa saya bantu?” Sekretaris Heru selalu bersikap profesional, meski dia kelihatan heran karena aku tiba-tiba da
Sudut Pandang Aditya.Kemarin, aku datang ke kantor dengan kepala pusing akibat mabuk parah dan sama sekali nggak pengen lakuin apa pun. Maya, Alex, Patrick, dan Robin seharian bela Citra. Mereka bilang nggak percaya kalau Citra yang kirim email-email itu dan khianati aku seperti itu. Mereka bahkan tegur aku karena nggak mau dengar dia dulu, dan sekarang semuanya lagi tunggu hasil audit untuk lihat apa yang akan terungkap. Maya pergi ke departemen keuangan untuk ambil dokumen-dokumen yang katanya sedang diverifikasi. Saat dia di sana, Jodi telepon aku marah besar, bicara ngawur di telingaku. Tapi aku terlalu lelah untuk peduli. Aku cuma bilang, serahkan semua pada Maya kalau dia masih mau pertahankan pekerjaannya.Maya bawa dokumen-dokumen itu ke auditor. Aku bilang ke Alex semua ini percuma karena dokumennya memang ada dan Jodi sudah kasih itu semua, artinya Carisa nggak mungkin bocorin informasi. Tapi Alex peringatkan aku kalau dia sudah punya salinan dokumen sebelumnya, lebih baik
Keesokan harinya, kami berangkat pagi-pagi. Saat tiba di kantor, Pak Heru memanggil kami masuk ke ruangannya.“Citra, apa kabar? Aku sudah bicara dengan Peter, dan dia sangat khawatir. Dia cerita sedikit tentang apa yang terjadi, nggak terlalu rinci, tapi sepertinya Aditya memang bertindak bodoh.”“Aku nggak yakin dia bodoh atau nggak, Pak Heru. Tapi yang jelas, aku nggak lakuin hal yang dituduhkan padaku,” jawabku. Aku mulai membayangkan beliau berubah pikiran tentang mempekerjakanku.“Aku yakin kamu nggak lakuin itu, Citra. Aku sudah lama kenal Keluarga Lurdi. Mereka nggak akan bela kamu kalau mereka nggak yakin sepenuhnya dengan kejujuranmu! Dan kalau Omar bilang kamu orang paling jujur di dunia, aku percaya itu.” Heru tersenyum hangat padaku. “Sayangnya, aku nggak bisa kasih posisi sebagus sebelumnya, tapi aku butuh orang tambahan di departemen penjualan. Gajinya cukup baik dan aku yakin kamu bisa tangani pekerjaannya dengan mudah. Jadi kalau kamu mau, pekerjaan ini milikmu.”Aku t
Aku merasa benar-benar kehilangan arah, nggak tahu harus berbuat apa. Minda pergi pagi-pagi, bersikeras untuk antar Panji ke tempat penitipan anak, sementara Lina bersikeras menemaniku seharian. Aku merasa itu ide yang bagus, dia orang yang luar biasa, memberiku banyak nasihat dan berkata bahwa tidak ada kesulitan yang berlangsung selamanya.Minda sempat bilang sebelum pergi kalau aku tak perlu melakukan apa-apa hari ini. Katanya dia akan bicara dengan ayahnya, dan malam ini kami akan putuskan langkah selanjutnya. Tapi entah kenapa, aku merasa nggak nyaman. Rasanya aku sudah terlalu sering ngerepotin Keluarga Lurdi.Aku dan Lina makan siang bersama, dan dia bercerita tentang anak-anak serta cucu-cucunya, yang ternyata nggak tinggal di Kota Pekanida. Semuanya tinggal terlalu jauh, jadi dia nggak bisa bertemu mereka setiap minggu. Makanya dia bilang betapa bahagianya dia bisa merawat Panji.Sore harinya, dia pergi ke pasar dan bilang akan jemput Panji setelah itu. Dia menyuruhku istiraha
Sudut Pandang Jodi. Aku bersandar di ranjang dan menyalakan sebatang rokok, meniupkan asapnya sambil memandangi gimana asap itu menghilang di udara. Aku tersenyum dan berkata pada wanita di sampingku, “Selamat, sayang. Lagi-lagi kamu luar biasa banget. Nanti aku transfer uang ke rekeningmu, beli sesuatu yang kamu suka.” Aku tersenyum geli, membayangkan suaminya yang percaya dia wanita suci. “Aku cuma heran, gimana suami bodohmu itu nggak curiga dari mana asal uangmu?”Aku menatap selingkuhanku yang berbaring telanjang di sampingku. Ini bukan pertama kalinya dia memberiku informasi dan bantuan kecil. Kami sudah jadi kekasih gelap selama bertahun-tahun, dan nggak ada satu pun orang pernah curiga. Dia penuh tipu daya dan aku suka itu. Dia tertawa saat aku sebut suaminya, lalu mengambil rokok dari tanganku, mengisapnya, dan berkata, “Suamiku memang bodoh. Dia pikir semua yang aku beli itu palsu dan dia percaya aku cuma pakai perhiasan imitasi. Dia sebodoh Aditya, yang nggak sadar apa ya